Mengejar Khayalan, Mengakali Kemustahilan
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 29 Maret
2016
Perbuatan liar manusia yang tidak mampu dikontrol jenis
institusi kekuasaan apa pun adalah berkhayal. Mimpi liar yang dituntun oleh
hasrat ingin tahu tentang sesuatu dengan permenungan telah menghasilkan
berbagai prestasi manusia yang tidak mungkin dibayangkan sebelumnya.
Misalnya, kemampuan manusia menginjak Bulan beberapa puluh tahun lalu, semula
dirasakan sebagai ilusi serta bahan tertawaan karena dianggap mengakali
kemustahilan. Setelah berhasil, hal itu mendorong manusia melanjutkan
mimpinya untuk bertempat tinggal di sana.
Meski demikian, dalam perspektif kompetisi politik, berkhayal
yang ditawarkan elite politik kepada rakyat kerap kali hanya ilusi untuk
mengejar hasrat kuasa. Menjual mimpi kepada rakyat tanpa disertai rekam jejak
yang nyata hanya akan menjadi bagian dari siasat dan tipu muslihat. Fenomena
ini, meskipun bersifat universal, sebaik-baiknya publik harus ekstra waspada,
terutama menjelang Pilkada 2017 yang digelar di 7 provinsi, 18 kota, dan 76
kabupaten.
Pergelaran pertarungan masif politik lokal yang masih sekitar 11
bulan lagi mulai dirasakan dengan memanasnya suhu politik. Fenomena menonjol
adalah semangat masyarakat mengorganisasi diri mengajukan kandidat dalam
pilkada melalui jalur perseorangan. Beberapa daerah yang merasakan getaran
spirit tersebut antara lain Yogyakarta dengan Joint-Nya (Jogja Independent).
Mereka telah menjaring tokoh-tokoh, seperti Busyro Muqoddas, Butet
Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Garin Nugroho, dan Danang Parikesit. Aceh
dengan AAA-nya (Achenese Australia Association). Calon yang akan maju melalui
jalur perseorangan antara lain Gubernur Aceh Zaini Abdullah, dan mungkin akan
diikuti daerah lainnya.
Gairah pencalonan melalui jalur perseorangan tidak dapat
dilepaskan pemberitaan yang luas dari tekad yang nekat dari Basuki Tjahaja
Purnama, Gubernur DKI Jakarta. Ia ngotot memilih ”partai” Teman Ahok daripada
melalui jalur parpol konvensional.
Tanpa bermaksud menihilkan peran sentral dan vital parpol
sebagai pilar kekuasaan yang demokratis, tampaknya sentimen dan kecerdasan
publik dewasa ini mencari alternatif pilihan di luar keranjang parpol. Tentu
banyak alasan yang dapat diperdebatkan, tetapi argumen yang hampir dapat
dipastikan, merebaknya fenomena tersebut buah dari kinerja dan citra parpol
yang semakin surut.
Persepsi publik tersebut sebaiknya dijadikan momentum bagi
tokoh-tokoh parpol melakukan refleksi, bukan reaksi kalang kabut yang hanya
akan membuat parpol semakin kehilangan gengsi. Inilah saatnya parpol
melakukan agenda mendesak, reformasi parpol, terutama demokratisasi internal.
Jika momentum ini dilewatkan, dikhawatirkan parpol akan semakin
oligarkis dan terperangkap ”hukum besi kekuasaan”, pembusukan politik karena
perilaku korup (merusak). Parpol semakin terasing dengan rakyat. Reformasi
internal akan menyelamatkan parpol dari hukum sejarah, terjebak menjadi
institusi ekstraktif, dinikmati para elitenya. Untuk mengembalikan marwah parpol,
mungkin mantra magisnya kira-kira bunyinya: reformasi atau mati.
Dalam sudut pandang ini, rakyat semakin pintar membedakan antara
kandidat yang hanya menebar siasat dan calon yang mampu bekerja berat demi
rakyat. Muslihat menyebar khayalan dan mengakali kemuskilan untuk memburu
kekuasaan sudah usang. Sekadar menyebut, kemonceran Wali Kota Surabaya, Wali
Kota Bandung, Bupati Bojonegoro, Bupati Bantaeng, adalah hasil kerja ekstra
keras dan berprestasi dalam mengelola kekuasaan pemerintahan mewujudkan kesejahteraan
rakyat.
Masyarakat semakin meyakini dan menikmati ungkapan klasik:
actions speak louder than words. Dalam konteks pilkada, kira-kira maknanya,
gaung kebijakan nyata yang memihak masyarakat lebih bergema dari sekadar
keahlian memelintir kata-kata. Janji sudah menjadi basi, rakyat rindu
prestasi. Dalam bahasa ekonomi, kandidat seperti itu mempunyai nilai pakai
dan nilai tukar tinggi. Pertama, menunjuk pada kepemimpinan yang cocok untuk
daerah tertentu; dan kedua, menunjuk kepada nilai jual tinggi, laris manis
dijual kepada publik dan parpol. Perkawinan silang antara dukungan parpol dan
masyarakat tampaknya akan menjadi fenomena menguat di masa datang.
Kandidat yang mengandalkan modal siasat justru dikhawatirkan
membangun citra sebagai pengidap delusi (waham) kebesaran (delusion of grandiosity). Gejala
kejiwaan yang menunjuk kepada rasa percaya diri berlebihan, merasa yakin
sebagai tokoh penting, berpengaruh, serta menganggap diri berpotensi besar
menjadi pemimpin. Sosok pengkhayal maka secara tidak sadar sering membual.
Oleh karena itu, daripada mengejar khayalan yang hanya akan
menangkap angin, lebih baik menggenggam kenyataan meskipun tidak sempurna.
Pilihan politik hanya menyajikan itu. Pilihan memang tidak sempurna, tetapi
melalui rekam jejak, masyarakat sudah tahu dan telah menyaksikan kelebihan
(prestasi) serta kekurangannya. Ungkapan universalnya adalah bahasa yang agak
sarkastis: better the devil you know
than the devil you don’t know.
Dalam perspektif pilkada, kurang lebih maknanya lebih baik
memilih kandidat yang diketahui ”setan” jenis apa daripada tidak atau belum
mengetahui jenis ”iblis” macam apa kandidat tersebut. Oleh karena itu, dalam
menghadapi setiap kontestasi politik, sebaiknya masyarakat diharapkan tidak
tergoda bujukan untuk memburu khayalan yang hanya mencoba mengakali
kemuskilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar