Menggugat Peran Bulog
Toto Subandriyo ;
Pengamat Sosial-Ekonomi;
Lulusan IPB dan Pascasarjana
Unsoed
|
SUARA MERDEKA, 23
Maret 2016
TIDAKLAH berlebihan jika Presiden Joko Widodo
merasa perlu untuk bertanya perihal rendahnya kinerja Perum Bulog (pada
uraian selanjutnya ditulis Bulog) dalam menyerap gabah/beras petani meski
panen raya padi mulai berlangsung. Ketika melakukan inspeksi mendadak di
gudang Bulog Karanganyar, Presiden mendapati mesin pengering yang
berkapasitas 80 ton/hari, namun realisasinya baru 20 ton/minggu (Suara
Merdeka, 12/3). Kinerja Bulog memang pantas digugat. Beberapa hari ke depan
akan menjadi batu ujian bagi Bulog untuk menunjukkan sejauh mana komitmennya
menyerap gabah/beras petani.
Pada tahun ini pemerintah telah memberikan
tugas kepada Bulog untuk menyerap gabah/beras petani sebesar 3,9 juta ton
setara beras, terdiri atas pengadaan lewat jalur penugasan pemerintah (public service obligation/PSO) sebesar
3,2 juta ton dan jalur komersial sebesar 700.000 ton. Semestinya manajemen
Bulog banyak belajar dari pengalaman tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya.
Pengalaman empiris menunjukkan, kegagalan Bulog dalam pencapaian prognosa
pengadaan gabah/beras selalu berujung pada kegaduhan. Kegagalan tersebut
ujung-ujungnya selalu dijadikan sebagai justifikasi untuk impor beras.
Tahun lalu misalnya, kegagalan Bulog
merealisasikan target pengadaan gabah/ beras yang dipatok pemerintah sebesar
2,7 juta ton setara beras telah menimbulkan kegaduhan. Kegaduhan itu dipicu
saat akhir Mei 2015 Bulog baru bisa menyerap 700 ribu ton setara beras.
Mestinya pada panenan musim rendeng tersebut Bulog harus sudah bisa
merealisasikan sekitar 60 persen dari target pengadaan gabah/beras setahun.
Kenyataan itu kemudian memicu kegaduhan di ruang publik yang berlarut-larut.
Puncaknya adalah polemik yang mencuat ke wacana publik antara Wakil Presiden
Jusuf Kalla dan Presiden Joko Widodo terkait rencana pemerintah mengimpor 1,5
juta ton beras dari Thailand.
Kembali ke ”Khitah”
Seringnya Bulog gagal dalam pemenuhan prognosa
pengadaan gabah/beras petani karena secara konstitusional lembaga ini telah
melenceng jauh dari semangat awal pembentukannya. Semangat awal (khitah)
dibentuknya Bulog adalah untuk mengemban dua misi heroik. Pertama, melindungi
petani dari kejatuhan harga, utamanya saat puncak panen raya. Kedua, menjadi
lembaga stabilisator harga kebutuhan pokok (buffer) sehingga mampu melindungi konsumen dari lonjakan harga
yang tak terkendali.
Status Bulog semula adalah Lembaga Pemerintah
Non-Departemen (LPND). Status itu berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum)
seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7/2003. Mau tidak mau, suka
tidak suka, perubahan status dari LPND menjadi Perum tersebut menuntut Bulog
untuk memerankan diri sebagai mesin ekonomi liberal. Layaknya mesin ekonomi
liberal yang berorientasi keuntungan (profit oriented), lembaga ini akan
selalu mempertimbangkan untung-rugi. Apabila dalam suatu aktivitas
menjanjikan keuntungan secara ekonomi, maka lembaga ini akan bergerak. Sebaliknya,
akan duduk manis jika dalam aktivitas tersebut tidak ada keuntungan ekonomi.
Celakanya, meski sudah berstatus sebagai
Perum, publik (dan pemerintah) masih memosisikan dan meminta Bulog memerankan
diri sebagai lembaga sosial. Dua peran harus dijalankan sekaligus oleh Bulog,
yakni sebagai lembaga berorientasi keuntungan dan lembaga nirlaba. Sesuatu
yang sangat sulit (kalau tak boleh dikatakan mustahil) dilakukan oleh Bulog.
Untuk itu, agar tidak selalu terjadi
gonjang-ganjing harga kebutuhan pokok, banyak kalangan menghendaki Bulog
dikembalikan kepada khitahnya. Kembali pada semangat awal pembentukan lembaga
tersebut, yaitu sebagai pelindung petani dan pelindung konsumen dari
gonjang-ganjing harga kebutuhan pokok pangan. Kembali ke rahim rakyat yang telah
melahirkan.
Secara konstitusi, ruang bagi Bulog untuk
kembali ke semangat awal pembentukannya sebenarnya sudah terbuka lebar. Hal
itu telah ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Pada pasal 126-128 telah ditegaskan bahwa guna mewujudkan kedaulatan,
kemandirian, dan ketahanan pangan nasional perlu dibentuk lembaga pemerintah
yang menangani bidang pangan. Lembaga itu berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Selanjutnya, lembaga tersebut dapat
mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pangan. Tugas BUMN itu melaksanakan
produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan
lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah. Satu-satunya BUMN bidang pangan yang
paling siap untuk mengemban tugas itu adalah Bulog.
Pada pasal 150 ditegaskan bahwa Perpres harus
telah ditetapkan paling lambat tiga tahun sejak diundangkannya produk hukum
tersebut.
Mengingat Undang Undang Pangan telah diumumkan pada Lembaran Negara
RI pada 16 November 2012, maka mestinya pemerintah sudah menunaikan amanat
tersebut paling lambat 17 November 2015. Namun meski sudah empat bulan
melewati batas waktu, pemerintah belum juga menunaikannya.
Pembentukan lembaga pangan ini secara prinsip
sejalan dengan tuntutan politik pangan modern. Politik pangan modern menuntut
agar produk pangan tidak diposisikan layaknya produk manufaktur yang hanya
diserahkan kepada mekanisme pasar. Kehadiran pemerintah/negara dalam setiap
permasalahan pangan yang membelit rakyat merupakan keharusan etis.
Menyerahkan pengelolaan pangan bangsa semata-mata kepada the invisible hand bukan hanya menyengsarakan rakyat, namun juga
bentuk pengingkaran negara terhadap kewajibannya memenuhi hak rakyat atas
pangan.
Terkait dengan pemenuhan target pengadaan
gabah/beras, Bulog harus mengubah paradigma dalam menyerap gabah petani.
Bulog harus jemput bola, memperbanyak dan mengoptimalkan kinerja satuan tugas
(satgas) pengadaan pada unit pengolahan gabah dan beras (UPGB). Bulog juga
harus bersinergi dengan kelompok tani (KTNA), gabungan kelompok tani
(Gapoktan), koperasi unit desa (KUD), dan lembaga sejenis lainnya untuk
memperpendek mata rantai penjualan gabah/beras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar