Rumahku Surgaku
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 25 Maret
2016
Rasulullah pernah bersabda, rumahku surgaku. Baiti jannati. Ungkapan ini akan
sangat dipahami dan dirasakan oleh mereka yang merintis kerja di Jakarta yang
dimulai dari nol seperti yang saya alami ketika masuk Jakarta tahun 1974
tanpa agenda jelas.
Saya membeli rumah melalui kredit Bank BTN pada tahun 1983, ukuran
54 meter persegi, selama 15 tahun, lokasi di Pamulang, Tangerang Selatan.
Salah satu kemewahan yang dirasakan ketika seseorang memiliki rumah sendiri
adalah adanya zona privasi, hidup terasa merdeka ketika berada di rumah. Dan
lagi terbebas dari bayar kontrakan setiap bulan atau tahun.
Sekecil apa pun, yang namanya rumah pribadi jauh lebih indah dan
nikmat ketimbang tinggal di rumah kontrakan sekalipun lebih besar dan bagus
kondisinya. Konon katanya, memiliki rumah pribadi hasil jerih payah sendiri
jauh lebih nikmat ketimbang tinggal di rumah warisan orang tua. Saya sadar
betul, kalau tidak nekat mengambil kredit BTN, sulit dibayangkan kapan akan
punya rumah sendiri.
Tidak mungkin menunggu tabungan cukup untuk membeli rumah.
Penghasilan dari gaji PNS waktu itu sekitar Rp50.000, angsuran bulanan
Rp36.000. Untunglah istri saya, Ait Choeriah, juga bekerja sebagai PNS
sehingga ikut membantu kebutuhan dapur. Dengan tanggungan dua anak dan
seorang pekerja rumah tangga, hidup di Jakarta sebagai pegawai negeri mesti
punya ketahanan mental tinggi.
Mesti kreatif mencari penghasilan tambahan. Cara termudah adalah
mengajar di luar tugas utama di IAIN Syarif Hidayatullah. Kalau diputar
kembali memori pergulatan hidup berkuliah sambil mencari biaya sendiri, lalu
berumah tangga, kemudian nekat mengambil kredit rumah, saya sendiri heran,
kok berani membuat keputusan yang menantang.
Tapi setelah berlalu, justru semua itu menjadi kekayaan mental
yang indah dan lucu untuk dikenang. Kata orang, jika sudah memiliki rumah
sendiri di Jakarta, berarti 50% beban hidup teratasi. Saya percaya saja
ungkapan itu sebagai motivasi. Cara paling baik adalah menciptakan tantangan.
Berumah tangga pun kalau menunggu cukup modal harta dan punya
rumah sendiri, bisa jadi mesti menunggu sampai tua atau malah akan hidup
membujang. Karena pernah berkarier sebagai wartawan, saya jadinya banyak tahu
bahwa orang-orang yang sekarang sukses pun dulunya merintis dari bawah.
Kalangan Tionghoa yang banyak menguasai perekonomian Indonesia dulunya datang
ke Nusantara bermodal tekad dengan menaiki perahu tongkang.
Tapi karena mereka gigih, tekun, dan tahan banting, banyak yang
kemudian masuk deretan orang terkaya di Indonesia. Tradisi kerja keras ini
diwariskan secara turun-temurun. Orang Inggris punya ungkapan bijak, it is easy to build a house, but not home.
Membangun rumah dalam arti fisik adalah mudah. Yang sulit adalah membangun
kehidupan rumah tangga.
Oleh karenanya kita tidak kaget, ada rumah tangga yang secara
materi berlimpah, rumah mewah, tetapi kehidupan keluarganya tidak bahagia.
Sebaliknya, banyak keluarga yang tinggal di rumah yang sederhana, tetapi
hidupnya bahagia. Pendidikan anak-anaknya sukses. Hidup terhormat di tengah
lingkungannya. Tentu saja yang ideal adalah lahir-batin, moril-materiil
sukses.
Selamat dan bahagia dunia-akhirat. Orang tua sering membuat
ungkapan, rumah tangga itu ibarat tempat berlabuh, melepaskan semua rasa
penat dan gelisah. Mungkin saja ungkapan itu muncul karena nenek moyang kita
banyak yang mencari nafkah sebagai pelaut. Atau pedagang lintas pulau yang
selalu menghadapi ancaman ombak ganas, cuaca panas, dan meletihkan.
Makanya, yang paling didambakan adalah berlabuh, melepas rindu
kumpul dengan keluarga dalam suasana aman dan nyaman. Bagi mereka yang
tinggal di kota besar semacam Jakarta, suasana kerja dan lalu lintas kadang
kala juga tidak kalah ganas dari lautan. Hidup penuh persaingan, lalu lintas
macet, ancaman narkoba dan kejahatan selalu membayangi.
Jika rumah tangga tidak menawarkan kedamaian, sebesar dan
sebagus apa pun bangunan rumah, mimpi indah memiliki rumah sendiri sebagai
basis kehidupan rumah tangganya tak akan tercapai. Alhamdulillah, meski
tembok bangunan rumah yang saya angsur melalui BTN terbuat dari batako, kami
sekeluarga merasa memiliki istana sendiri.
Tak lagi hidup di rumah kontrakan yang sempit, sumur dengan
airnya yang kadang keruh dan mesti berbagi dengan tetangga. Sekecil dan
sejelek apa pun rumah sendiri yang sudah permanen, isian kartu tanda penduduk
(KTP) juga ikut permanen, tidak nomad. Namun sejak tahun 2000 kami lalu
pindah ke rumah baru yang lebih dekat dengan kampus, masjid, rumah sakit, dan
kuburan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar