Gagal Membaca Zaman
Benny Susetyo ; Research Fellow PARA Syndicate
|
KOMPAS, 21 Maret
2016
Istana tak menyetujui
keinginan DPR menaikkan syarat dukungan bagi calon kepala daerah perseorangan
melalui revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2015 tentang Pilkada. Penambahan
syarat calon perseorangan dinilai tidak mencerminkan asas demokrasi.
”Kalaupun ada perubahan, jangan sampai menghalang-halangi calon
perseorangan. Karena, bagaimanapun, demokrasi kita sudah terbukti dan dipuji
dunia,”
kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Rabu (16/3). Sikap itu menunjukkan
bahwa pemerintah memiliki kepekaan terhadap dinamika demokrasi.
Calon perseorangan
lahir dari dinamika demokrasi yang masih dipenuhi roh feodalisme. Akibatnya
partai terjebak masalah ideologi semata, tetapi tidak melihat fenomena
kebutuhan masyarakat. Masyarakat butuh figur yang mampu memberikan harapan
akan perubahan, bukanlagi kesetiaan semata kepada ideologi partai. Perubahan
membaca realitas membuat partai politik tidak berani keluar lingkaran
kepedulian mereka yang terjebak pada masalah mekanisme yang sifatnya
struktural dan feodalisme.
Calon perseorangan
merupakan gagasan jalan keluar ketika perbaikan mekanisme demokrasi melalui
parpol tak akan bisa dilakukan secara internal. Partai justru dituntut lebih
menjalankan fungsinya secara nyata di tengah-tengah pasar bebas ide demokrasi
yang berkembang dari masa ke masa. Bila calon perseorangan hanya diposisikan
sebagai ”musuh” parpol, pada akhirnya parpol justru makin terjebak pada
pandangan politik konvensional bahwa kekuasaan berada di tangan segelintir
elite. Padahal, sudah sekian lama kita kehilangan wakil rakyat yang
benar-benar merakyat dan memahami derita rakyat.
Di tengah-tengah
berbagai kesusahan, publik dikecewakan oleh para wakil rakyat yang tidak
memiliki hati terhadap penderitaan rakyat. Mereka seolah-olah menguras
pikiran, tenaga untuk memperjuangkan nasib rakyat, tetapi semua sirna ketika
lobi diselesaikan di bawah meja. Parpol dikecam tak lebih dari media politik
dagang sapi; tak ubahnya sekadar alat perantara para pemilik kapital.
Kegagalan parpol
menjalankan fungsinya secara maksimal mengakibatkan citra partai makin
memburuk di era reformasi ini. Fungsi sosialisasi, rekrutmen, dan artikulasi
politik selalu dikalahkan oleh fungsi meraih kekuasaan.
Ciri elitisme yang
diperankan parpol selama ini telah meningkatkan apatisme rakyat.
Ketakpercayaan itu kian menguat dalam banyak hal, bahkan terhadap hal-hal
baik yang dilakukannya. Antipati itu bukan tanpa sebab. Parpol dinilai lebih
banyak peduli pada kepentingan kekuasaan daripada memediasi kepentingan
rakyat.
Terpenjara kekuatan modal
Kalau masyarakat gusar
terhadap parpol tidaklah mengherankan karena sepak terjang mereka yang lebih
sering sekadar alat legalitas kepentingan para pemilik uang. Parpol
terpenjarakan kekuatan modal. Akibatnya, parpol tak mampu memberikan harapan
kepada publik, apalagi memperjuangkan kepentingan rakyat. Bahkan sudah
menjadi pengetahuan publik bila partai hanya mendukung calon kepala daerah
yang berani membayar lebih besar daripada yang lainnya. Hasilnya? Calon yang
berintegritas, independen, pandai, cerdas, dan memiliki visi pembangunan yang
jelas malah tersingkir dalam khazanah politik semacam ini. Kerap kali calon-calon yang baik tidak dilirik sedikit pun oleh partai hanya karena tidak
memiliki ”mahar” sebagaimana yang diminta.
Sampai saat ini bahkan
tak ada perubahan signifikan atas kinerja partai. Konflik dan perebutan
jabatan secara internal dan kaitannya dengan konflik dan perebutan kekuasaan
secara eksternal justru makin menggejala di semua partai. Parpol bahkan
terbenam dalam dunia korupsi yang sangat mengecewakan.
Beragam kasus dewasa
ini menunjukkan politik yang diperankan partai tak memberikan kontribusi
makna pengembangan demokrasi yang substansial, malahan menjerumuskan rakyat
dalam pendidikan politik yang sangat pragmatis dan materialistis. Tak heran
bila publik gusar karena perilaku parpol tak memberikan harapan akan masa
depan yang cerah. Salah satu sebabnya adalah karena parpol dianggap tidak
lagi memiliki kedaulatan. Kedaulatan parpol sudah ditukar dengan kepentingan
jangka pendek yang sering kali merugikan rakyat.
Kehadiran calon
perseorangan saat ini memang dirasakan sebagai alternatif. Kehadirannya harus
dimaknai secara positif, yakni sebagai jalan keluar untuk memperbaiki
keterpurukan citra partai dalam permainan politik uang dan akrobat
politik-kekuasaan-elite lainnya. Misalnya, publik memahami seorang calon
kepala daerah membutuhkan dana sangat besar untuk melamar menjadi calon lewat
parpol. Biaya politik yang sangat besar ini benar-benar menyita perhatiannya
dan sering kali menegaskan tujuan dan keinginannya menjadi pemimpin adalah
demi kepentingan rakyat. Inilah contoh yang sering terjadi.
Hal ini pula yang
membuat seorang calon kepala daerah tidak lagi memperhatikan aspirasi dan
kepentingan rakyat. Bila hanya uang yang menjadi orientasi, tidak diragukan
lagi, siapa pun mereka yang menjadi kepala daerah, konsentrasi setelah
menjabat hanyalah bagaimana mengembalikan biaya investasi politik yang besar
itu. Keberadaan calon perseorangan diharapkan bisa menjadi cara untuk
memecahkan kebuntuan komunikasi politik selama ini. Calon perseorangan
dibutuhkan sebagai terapi kejut untuk memperbaiki citra politik partai dalam
mengatasi masalah manajemen dan citra partai yang amburadul.
Calon perseorangan
diharapkan bisa membantu agar parpol bisa lebih selektif dalam memilih
calon-calon pemimpin yang memiliki keutamaan publik. Kekuatan nurani dan
kejujuran seharusnya menjadi prasyarat utama dalam memimpin masyarakat.
Diharapkan parpol berbenah diri dengan memilih colon kredibel dan memiliki
rekam jejak yang baik di mata publik. Caranya? Membuka pintu komunikasi dan
membangun jaringan dengan kekuatan masyarakat sipil. Di sini dibutuhkan keberanian
parpol melakukan pembenahan dan manajemen organisasi menjadi kebutuhan
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar