Transportasi Berbagi vs Transportasi Umum
Dinna Wisnu ;
PhD Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of
Diplomacy
|
KORAN SINDO, 23 Maret
2016
Kerusuhan yang terjadi kemarin harus menjadi peringatan bagi
pemerintah untuk segera menyikapi perkembangan ekonomi berbagi (sharing-economy) yang mulai
menimbulkan konflik horizontal di antara sesama rakyat miskin yang sama-sama
sedang mencari pendapatan.
Perkembangan model ekonomi ini bukan hanya persoalan menguatnya
penggunaan teknologi informasi di pasar, tetapi juga munculnya tantangan-tantangan
baru yang harus diregulasi untuk melindungi para pihak yang berpartisipasi
dalam model ekonomi ini, baik pihak konsumen, sopir, operator aplikasi maupun
pengguna lain yang tidak terikat langsung.
Wacana yang berkembang di bawah adalah apakah transportasi-berbagi
(shared transportation) yang
berbasis aplikasi perlu mengikuti aturan hukum sesuai dengan transportasi
umum saat ini atau tidak? Bahkan lebih dalam lagi, apakah
transportasi-berbagi seperti GrabCar, Uber, Go-Jek dapat disebut sebagai
transportasi umum atau tidak?
Definisi tentang sarana transportasi baru ini memang menjadi
membingungkan karena operator aplikasi itu sendiri selalu mengiklankan diri
mereka sebagai penjual layanan yang menyerupai transportasi umum yang dikenal
selama ini. Timbul persepsi dari para pengusaha dan pengemudi transportasi
umum tentang persaingan yang tidak sehat karena pengemudi yang bergabung
dengan Uber atau GrabCar tidak mengikuti kewajiban membayar pajak dan
retribusi.
Padahal, pengemudi dan penumpang di transportasi berbagi adalah
sama-sama konsumen aplikasi yang perlu dilindungi hukum juga. Saya sendiri
berpendapat bahwa layanan seperti Go-Jek, Uber atau GrabCar adalah layanan
transportasi-berbagi dan akan sulit untuk masuk dalam definisi kategori
transportasi umum. Layanan ini adalah bagian dari fenomena yang saat ini
dikenal dengan sebutan ekonomi berbagi atau sharing economy.
The ING International
Special Report on the Sharing Economy
mendefinisikan sharing economy
sebagai penggunaan barang-barang yang nilainya akan terus menurun jika
didiamkan saja sehingga barang tersebut dimanfaatkan bersama-sama. Inti dari
ekonomi-berbagi adalah memanfaatkan nilai yang terus menyusut ketika ia tidak
digunakan.
Oleh sebab itu, agar tidak mubazir, nilai tersebut harus dapat
dimaksimalkan dan beruntung bahwa revolusi teknologi informasi dapat
mewujudkan hal tersebut. Ia berlaku tidak hanya komoditas seperti kendaraan
atau peralatan, tetapi juga manusia. Eropa dan Amerika adalah benua yang
telah mendorong berkembangnya model ekonomi ini. Benda-benda atau layanan
yang akan dibagi nilainya akan berkembang setiap tahunnya.
Saat ini, mobil adalah barang yang paling banyak dibagi
penggunaannya, tetapi dalam tahun-tahun ke depan, beberapa benda yang akan
dibagi adalah rumah peristirahatan, peralatan olahraga, mainan anak-anak,
sepeda, dan barangbarang lain. ING juga melakukan survei kepada 150.000 orang
di 15 negara dan memperoleh jawaban bahwa semakin banyak orang yang ingin
berpartisipasi dalam ekonomi-berbagi ini dan bersedia dibayar untuk membagi
nilai dari barang-barang yang mereka miliki.
Saat ini 1 dari 10 (9%) orang di Amerika sudah berpartisipasi
dalam model ekonomi ini, diikuti oleh Turki, Spanyol dan Inggris. Data
tersebut mengungkapkan bahwa konflik antara layanan konvensional dan layanan
berbagi berpotensi tidak hanya di sektor transportasi, tetapi juga
sektor-sektor lain. Saat ini di Indonesia saja, layanannya sudah berkembang
seperti cleaning service, pijat, ritel, layanan kecantikan, dan sebagainya.
Dengan perlambatan ekonomi dunia yang sedang terjadi saat ini,
tetapi dengan kelas menengah yang semakin membesar, peluang sharing-economy
ini bisa menjadi peluang yang harus dipikirkan secara matang oleh pemerintah.
Teknologi informasi di Amerika dan Eropa tentu akan menyambut baik antusiasme
masyarakat tersebut.
Ribuan aplikasi yang menyediakan layanan berbagi akan muncul dan
mereka tentu akan berekspansi atau akan ditiru oleh pasardiIndonesia.
Fenomenaitu akan melahirkan risiko-risiko yang baru. Untuk itu pemerintah
harus segera menyiapkan langkahlangkah untuk mengantisipasi berkembangnya
ekonomiberbagi di masa mendatang.
Pemerintah dan DPR harus menyusun peraturan-peraturan baru yang
terkait, misalnya kewenangan memverifikasi identitas para pelaku yang
terlibat dalam ekonomi-berbagi tersebut. Perlu undang-undang yang dapat
melindungi konsumen apabila terjadi penyalahgunaan aplikasi. Pemerintah perlu
menetapkan batasan tentang sektorsektor apa yang dapat dimasuki oleh aplikasi
berbagi.
Misalnya mengenai bagaimana komposisi modalnya, status hukum
perusahaannya, hingga barang-barang apa yang harus dibagi. Selain itu penting
soal bagaimana standar kualitas, keamanan identitas konsumen di tangan
pembuat aplikasi, informasi atau data apa saja yang boleh dan yang tidak
boleh diambil perusahaan dari konsumen. Aturan yang paling penting juga
adalah bagaimana tumbuhnya aplikasi tersebut menyumbangkan pendapatan bagi
negara.
Dalam kaitan dengan masalah terkini, yaitu transportasi,
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla perlu cermat dan tepat dalam
membagi wewenang di antara kementerian terkait. Para menteri anggota kabinet
perlu menyadari bahwa masalah transportasi tidak lagi menjadi wilayah
Kementerian Perhubungan, tetapi juga masuk wewenang Kementerian Komunikasi
dan Informatika dan mungkin departemen lain seperti Kementerian Hukum dan HAM
atau Lembaga Ekonomi Kreatif.
Kebijaksanaan dan kecermatan Presiden untuk memberi porsi
wewenang yang proporsional sesuai dengan lingkup tugas dan bebannya menjadi
tantangan yang berat karena ini adalah fenomena baru. Pembagian wewenang yang
jelas dan tegas dapat menghindari konflik di antara para menteri. Meski
demikian, ini juga adalah tantangan yang memang harus dibereskan.
Tidak hanya oleh pemerintah sebagai regulator, tetapi juga
anggota DPR sebagai legislator karena para menteri juga bekerja menurut
panduan undang-undang yang berlaku saat ini. Kita juga menyadari bahwa
teknologi informasi sudah menjadi bagian dari kehidupan modern sejak Zaman
Revolusi Industri.
Transportasi kita misalnya, telah berkembang dari zaman bemo
hingga taksi yang menggunakan GPS. Namun dalam perkembangan tersebut, kita
masih melihat upah sopir atau pengemudi tidak pernah mencukupi. Bahkan para
pengemudi perusahaan tersebut mengeluh upahnya relatif tidak berkembang
meskipun perusahaannya berkembang pesat.
Oleh sebab itu, pemerintah dan DPR juga perlu membuat peraturan
yang tidak hanya mengatur transaksi ekonomi di ekonomi-berbagi di masa depan,
tetapi juga memastikan bahwa kesejahteraan rakyat meningkat karena
per-kembangan teknologi informasi tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar