Tangkal Radikalisme Kaum Intelektual
Andi Faisal Bakti ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Pancasila;
Pengurus ICMI Pusat Bidang
Pendidikan Tinggi
|
KOMPAS, 23 Maret
2016
Paham radikalisme kini
tidak hanya menjangkiti kalangan bawah yang minim pendidikan, tetapi juga
mulai mewabah ke kalangan intelektual di perguruan tinggi. Fenomena ini
tercermin dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam
satu dekade terakhir pasca Reformasi (Kompas, 19/2).
Sungguh
memprihatinkan, perguruan tinggi (PT) yang sejatinya merupakan institusi bagi
pengembangan keilmuan dan sumber daya manusia, serta turut membantu dalam
pembangunan bangsa, kini dalam kadar tertentu berubah fungsi menjadi wahana
penyemaian paham yang membahayakan keutuhan negara.
Akar radikalisme
Dari berbagai bentuk
radikalisme atas nama agama, mayoritas kalangan yang paling mudah
diinfiltrasi berasal dari kalangan anak-anak muda yang masih dalam proses
pencarian jati diri. Apabila mencermati gerakan radikal di kampus, banyak
faktor penyebab yang bisa dianalisis. Namun, di sini penulis lebih tertarik
pada dua faktor utama.
Pertama, latar
belakang pemahaman keagamaan yang minim dan keliru. Dari pemahaman agama yang
tekstual dan sepotong-sepotong, biasanya kaum intelektual yang berasal dari
kampus sekuler (non-keagamaan) mudah terperangkap oleh fundamentalisme dan
eksklusivisme keberagaman.
Selama ini, kita
ketahui dari laporan media massa dan berbagai penelitian ilmiah bahwa target
perekrutan jaringan radikal banyak berasal dari kalangan mahasiswa PT umum,
terutama dari fakultas-fakultas sains. Mengapa demikian? Sudah tentu itu
adalah cara efektif agar proses infiltrasi dan indoktrinasi mudah dilakukan
karena pemahaman keagamaan kalangan ini cenderung kurang memadai. Otak mereka
dicuci (brainwashing) secara
terstruktur dan sistematis, tujuannya menanamkan pemahaman bahwa Indonesia
adalah negara thaghut (penguasa
zalim) yang tidak wajib dipatuhi dan mesti diperangi.
Hal itu juga
terkonfirmasi dari penelusuran LIPI bahwa kampus-kampus umum—seperti UGM, UI,
ITB, ITS, IPB, Undip, Unair, Unibraw—termasuk PT yang selama ini banyak
dijangkiti paham radikal. Namun, tren itu kini sedikit meluas. Seperti kita
ketahui, ada PT yang bercorak keagamaan, seperti UIN/IAIN, juga menunjukkan
segelintir mahasiswanya telah beberapa kali terlibat gerakan radikal kendati
kuantitasnya tidak begitu banyak ketimbang PT umum. Keterlibatan oknum
mahasiswa PT keagamaan itu terjadi karena adanya perubahan orientasi dan
ekspansi keilmuan yang bersifat umum.
Kedua, faktor
ketimpangan dan ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang masih
mengakar dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, fragmentasi politik dan
sosial yang menjalar ke berbagai lapisan masyarakat, baik di akar rumput
maupun kalangan terdidik (intelektual), berpotensi, bahkan telah menimbulkan
konflik horizontal yang laten dan luas. Kemudian timpangnya ekonomi yang
dipicu oleh kenaikan harga bahan kebutuhan sehari-hari membuat masyarakat
semakin terjepit. Akibatnya, orang atau kelompok yang tak berdaya ini dengan
mudah disulut dan bahkan ditunggangi oleh kelompok radikal untuk bertindak
anarkis dan melanggar hukum.
Langkah penangkalan
Radikalisme yang
terjadi di kalangan intelektual dan generasi muda adalah masalah serius yang
mesti ditangani karena proses penyebaran yang dilakukan cenderung tertutup
dan berdampak pada perilaku intoleran dan anarkis. Menyikapi masalah ini,
penulis mengusulkan beberapa langkah. Pertama, pemerintah melalui Dirjen
Pendidikan Tinggi dapat bekerja sama dengan PT- PT—negeri ataupun
swasta—dalam membuat program bina damai keberagaman di kampus. Program ini,
misalnya, bisa dilakukan dengan sosialisasi pemahaman akan toleransi,
inklusivisme, multikulturalisme, serta bahaya paham radikalisme. Bila perlu
melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang merupakan institusi
khusus dalam penanganan terorisme. Kegiatan ini dapat disampaikan saat
orientasi pengenalan akademik berlangsung. Dengan demikian, ada upaya
preventif sebelum mahasiswa lebih jauh mengikuti aktivitas di kampus.
Kedua, dengan
merevitalisasi kurikulum dan mengevaluasi pengajaran setiap semester,
terutama terkait mata kuliah yang bersifat ideologis, seperti Pancasila,
Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Agama. Selama ini,pengajaran mata
kuliah di atas cenderung berkutat pada aspek kognisi, yang belum menyentuh
tataran afeksi dan sikap.
Ketiga, pihak kampus
dapat bekerja sama dengan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus yang relatif
moderat, seperti HMI, PMII, IMM, PMKRI, dan GMNI, dalam membantu mencairkan
pemahaman gerakan radikal di kampus. Selama ini, kampus yang terjangkit paham
radikalisme ditengarai akibat tumbuh suburnya organisasi lembaga dakwah
kampus yang bersifat eksklusif.
Banyak analisis
terkait sepak terjang lembaga dakwah kampus yang mengekslusi. Misalnya,
adanya pengaderan dan mentoring pemahaman Islam secara under ground dan
penguasaan masjid kampus secara sepihak dan eksklusif.
Contoh yang pernah
terjadi, beberapa mahasiswa dibujuk mengikuti ajaran NII ataupun ISIS.
Melalui proses pencucian otak, banyak korban bersaksi tentang paham yang
sarat muatan radikal dan anti konstitusi, seperti diperbolehkannya melakukan
kekerasan, pencurian, pengabaian ibadah, dan perilaku menyimpang lainnya.
Itulah beberapa langkah yang kiranya relevan dilakukan sebagai upaya
menangkal radikalisme agama di kalangan intelektual, khususnya di sejumlah
kampus PT Indonesia belakangan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar