Generasi Milenial untuk Jakarta
Anggoro Gunawan ; Pekerja Media
|
KOMPAS, 21 Maret
2016
Para peminat kursi
gubernur DKI Jakarta sudah mulai mengasah senjata. Celotehannya sudah mulai
riuh mengisi lini masa. Apa pun upaya mereka, sebaiknya mereka sadar satu hal
istimewa: jangan lupakan para pemilih muda yang kini diisi oleh generasi
milenial. Mereka inilah penentu kursi gubernur yang sesungguhnya.
Generasi milenial (kelahiran
1980-an-1990-an) bertingkah laku berbeda. Mereka adalah generasi yang
bertumbuh dengan keleluasaan informasi. Mereka sadar gaya hidup sekaligus
lebih peduli sesama.
Dalam Digital Culture and Religion in Asia,
Sam Han dan Kamaludeen Mohamed Nasir menyebutkan bahwa generasi
milenial—disebut juga generasi Y—ini lebih liberal dibandingkan generasi
sebelumnya. Mereka peduli dengan sesama. Inilah generasi yang bisa berpindah
pekerjaan karena merasa tak sesuai dengan jiwanya. Kalau generasi X
(kelahiran 1965-1989) dan baby boomers
(kelahiran sesudah Perang Dunia II-1964) berprinsip setidaknya satu tahun
tinggal dalam satu pekerjaan untuk mendapatkan pengalaman, bagi generasi
milenial itu hanya buang-buang waktu.
Dalam berpolitik,
generasi milenial ini mencatat banyak berperan dalam berbagai kisah dunia.
Kericuhan di Timur Tengah yang dikenal dengan Arab Spring, misalnya, berasal
dari mobilisasi melalui Facebook oleh para pemuda belia. Di Tiongkok, Joshua
Wong yang masih berumur 17 tahun berhasil memobilisasi 120.000 orang
menentang kurikulum berbau komunis.
Apakah Facebook dan
Twitter sedemikian sakti untuk mendulang perolehan suara dalam pemilu?
Mengingat ada sedemikian banyak pengguna boneka (puppet account), yakni satu manusia dengan banyak akun, segala
macam survei daring yang ada menjadi tak layak dipercaya. Metode yang lebih
bisa dipercaya adalah penghitungan pemengaruh (influencer). Ini pun masih perlu dilihat apakah memang pengikut (follower) yang aktif itu sungguhan
atau pengikut pesanan.
Riuh rendah LGBT (lesbian, gay, biseksual, transjender)
di media sosial baru-baru ini bisa dijadikan cermin sederhana. Antara yang
pro dan kontra seakan berimbang. Celaka bagi kaum yang menentang legalisasi
LGBT, walaupun dunia maya itu liberal, tetapi dimungkinkan adanya sensor.
Facebook mendukung LGBT. Jadi, beberapa akun dengan pengikut ribuan banyak
yang kena imbasnya. Mereka diblokir (sementara atau selamanya) karena menolak
legalisasi LGBT. Mereka dianggap menyebarkan rasa permusuhan. Pihak pro
legalisasi di atas angin.
Apakah di dunia nyata
demikian adanya? Apakah LGBT kemudian dianggap lumrah di kehidupan
sehari-hari? Kenyataannya, masih banyak pengajian dan khotbah yang menentang.
Dan, itulah yang dominan di dunia nyata dan berbagai grup WhatsApp atau
Blackberry Messenger yang bersifat privat.
Akan tetapi, riuh
rendah di media sosial itu setidaknya berdampak pada beberapa individu. Adu
argumentasi gegap gempita itu memunculkan beberapa pemikiran baru, yang
tadinya seperti tersembunyi di rak-rak perguruan tinggi. Kondisi ini
memungkinkan muncul vote swingers.
Semua orang yang terlibat dalam proses debat ini seakan mendapat pencerahan
baru bahwa masih ada persoalan-persoalan yang belum terselesaikan.
Politik milenial
Secara jumlah,
generasi milenial terhitung besar. Chip Espinoza dkk dalam buku
Millennials@Work menjelaskan dengan canda: kesamaan generasi milenial dan baby boomers ada satu, yakni jumlahnya
banyak. Selebihnya saling bertolak belakang. Jadi, secara signifikan mereka
berpengaruh dalam penentuan perolehan suara.
Ambil contoh apa yang
terjadi dengan keberhasilan Barack Obama pada dua kali pemilihan di AS.
Presiden kulit hitam pertama itu mengantongi 66 persen dan John McCain hanya
23 persen pada jajak pendapat 2008. Itu adalah hitung-hitungan untuk usia di
bawah 30 tahun. Perolehan untuk pemilih di atas 30 tahun adalah 51-49 persen.
Selama empat dekade, belum pernah terjadi perbedaan angka antara pemilih muda
dan pemilih senior yang keterlaluan seperti ini.
Basuki Tjahja Purnama
alias Ahok, Ahmad Dhani, Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, dan Mischa
Hasnaeni Moein adalah nama-nama yang sudah terus terang berniat mencalonkan
diri dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017. Jakarta adalah provinsi
istimewa, tidak hanya secara administratif, tetapi juga secara maya. Inilah
wilayah yang memiliki tingkat penetrasi internet paling tinggi. Itu artinya,
para petarung harus memperhatikan kepopuleran mereka di media daring.
Riset yang dilansir
pada pertengahan Februari lalu oleh Komunikasi Indonesia Indikator
menunjukkan, ada Basuki Tjahaja Purnama, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Ahmad
Dhani, serta Yusril Ihza Mahendra. Ridwan Kamil menyatakan tidak akan ikut
memperebutkan kursi gubernur DKI Jakarta. Dalam catatan selama sebulan,
Komunikasi Indonesia Indikator mencatat Ahok memimpin dengan 1.254
pemberitaan. Pesaing terdekat Ahok adalah Ahmad Dhani dengan 330 berita.
Survei Saiful Mujani Research and Consulting pada Oktober
lalu juga masih menempatkan Ahok berada di posisi puncak. Ia mendulang 23,5
persen dengan pesaing terdekat Ridwan Kamil (3 persen). Namun, prediksi ini
menjadi kedaluwarsa seketika karena kemunculan beberapa nama baru, seperti
Ahmad Dhani dan Yusril Ihza Mahendra.
Memang masih terlalu
dini mengukur kesaktian masing-masing kandidat. Pertarungan bakal berlangsung
lebih seru ketika sudah ada pendaftaran resmi pada Agustus nanti. Kita juga
belum memperoleh hasil dari pemilihan terbuka yang diinisiasi Front Pembela
Islam (FPI) yang akan dilakukan melalui jalur perseorangan. Hasil penjaringan
FPI tampaknya sebagai strategi menggerus pencalonan perseorangan. Sayangnya,
mereka tak pernah berhasil merebut hati massa jagat maya. Demikian pula kalau
dilihat dari kacamata generasi milenial, institusi agama tak lagi jadi
patokan utama.
Pertarungan nanti
Lalu, apa yang jadi
perhatian mereka sesungguhnya? Beberapa penelitian menunjukkan, generasi
milenial ini terlalu beragam. Efek globalisasi informasi yang masif membentuk
pola pikir yang beragam. Satu hal kesamaan mereka adalah pola pikir liberal.
Mereka memilih untuk bebas berpikir. Mereka bukan generasi yang bisa
dipengaruhi dengan iklan ”percayalah, ini kecap nomor satu”. Mereka adalah
generasi yang menghargai keikutsertaan.
Langkah FPI dan Teman
Ahok yang mengumpulkan KTP adalah salah satu contoh formulasi ini. Para calon
dari kubu partai politik sepertinya harus mencari resep baru untuk mendulang
suara. Mereka bukan generasi yang terpaku pada institusi. Karena mereka juga
individu-individu bergaya global, abaikan isu-isu sektarian yang mungkin
berhasil sebagai meme di internet, tapi kurang signifikan di rentang usia
mereka.
Agustus nanti sudah
bisa dipastikan akan muncul perseteruan dunia daring untuk merebut para
pemilih dari generasi milenial. Bagi yang malas berpikir terlalu serius,
cukuplah dengan cekikikan menikmati meme yang bertebaran. Gambar-gambar
lelucon itu saling timpal, dari versi sindiran hingga jenaka tak mematut
rasa. Akan tetapi, jangan lagi memakai baju Mickey Mouse untuk kampanye ke
generasi ini. Kaus Mickey Mouse itu lebih cocok untuk mendulang pemilih baby boomers. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar