Pengendalian Pengeluaran BPJS Kesehatan
Razali Ritonga ; Kepala Pusdiklat BPS RI
|
MEDIA INDONESIA,
19 Maret 2016
KETIDAKSEIMBANGAN
antara pemasukan dan pengeluaran anggaran hingga mengalami defisit dalam
penyelenggaraan BPJS Kesehatan tampaknya belum teratasi sejak 2014. Menurut
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, defisit anggaran pada 2014
sebesar Rp3,3 triliun dan pada 2015 sebesar Rp1,5 triliun (Info BPJS
Kesehatan Edisi XVII, 2015).
Diperkirakan, jika
iuran BPJS tidak dinaikkan, defisit pada 2016 akan kembali terjadi. Atas
dasar itu, pemerintah melalui Perpres Nomor 19 Tahun 2016 menaikkan iuran
BPJS Kesehatan berlaku per 1 April 2016. Iuran untuk peserta penerima bantuan
iuran (PBI) naik dari Rp19.225 menjadi Rp23.000 per bulan.
Sementara itu, iuran
bagi peserta mandiri untuk kelas I naik dari Rp59.500 menjadi Rp80.000, kelas
II naik dari Rp42.500 menjadi Rp51.000, dan kelas III naik dari Rp25.500
menjadi Rp30.000.
Namun, penaikan iuran
itu mendapat respons dari berbagai pihak, khususnya peserta BPJS Kesehatan,
karena akan semakin memberatkan beban peserta. Dikhawatirkan, kenaikan itu
akan mengurangi porsi pengeluaran lainnya, terutama untuk pangan dan
kebutuhan dasar lainnya, sehingga akan meningkatkan risiko terkena penyakit
yang justru kian menambah beban anggaran BPJS Kesehatan.
Atas dasar itu,
penaikan iuran merupakan suatu hal yang dilematis di antara kebutuhan untuk
meningkatkan anggaran. Namun, di sisi lain, kenaikan iuran itu meningkatkan
jumlah penduduk rentan terkena penyakit yang justru akan semakin meningkatkan
anggaran pengeluaran BPJS Kesehatan.
Pengendalian pengeluaran
Secara faktual, hal
itu sekaligus mengisyaratkan untuk menghindari defisit anggaran BPJS
Kesehatan barangkali perlu diupayakan cara lain, yaitu mengendalikan
pengeluaran. Pencermatan dari kenaikan anggaran pengeluaran pada waktu lalu,
misalnya, umumnya berkaitan dengan meningkatnya harga obat, alat kesehatan,
dan inflasi (Media Indonesia, 14 Maret 2016).
Berdasarkan informasi
itu, pengendalian pengeluaran amat bertalian dengan kinerja pemerintah dalam
pembangunan ekonomi dan pembangunan kesehatan, serta berbagai kebijakan dan
peraturan.
Dari aspek pembangunan
ekonomi, anggaran pengeluaran BPJS Kesehatan bisa ditekan, antara lain pada
dua hal. Pertama, kinerja ekonomi yang umumnya bertalian dengan pengendalian
inflasi harga barang dan jasa, termasuk barang dan jasa kesehatan, akan
sangat membantu dalam mengendalikan biaya pengeluaran BPJS Kesehatan terutama
untuk pembelian obat, alat kesehatan, dan jasa petugas kesehatan.
Kedua, kinerja ekonomi
dapat memperluas kesempatan kerja dan penurunan angka kemiskinan, serta
peningkatan pendapatan per kapita dan daya beli masyarakat. Hal itu pada
gilirannya akan sangat membantu masyarakat dalam memenuhi pangan bergizi,
konsumsi air bersih, dan pemeliharaan sanitasi lingkungan.
Badan Kesehatan
Sedunia (World Health Organization/WHO) memperkirakan sekitar 1,2 miliar
penduduk global hidup dalam kemiskinan ekstrem dengan pengeluaran di bawah
US$1 per hari. Kemiskinan akan memperburuk kesehatan karena pengaruh
lingkungan yang tidak sehat tanpa tempat tinggal yang memadai, air bersih dan
sanitasi yang buruk.
Sebaliknya, pengalaman
negara-negara maju, terutama Eropa Barat dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakatnya, antara lain diawali dengan penataan lingkungan tempat tinggal
yang sehat. Hal itu, misalnya, dilakukan dengan pengelolaan sampah, penutupan
saluran air terbuka, dan pengusahaan air bersih (Yaukey, 1985).
Kebijakan dan peraturan
Selain berupaya
meningkatkan pembangunan ekonomi, pemerintah perlu meningkatkan pembangunan
kesehatan, yang secara keseluruhan akan sangat membantu dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang berarti akan mengurangi beban BPJS
Kesehatan.
Dalam pembangunan
kesehatan, pemerintah, misalnya, perlu mengontrol secara ketat peredaran obat
dan makanan. Diketahui, hingga kini beredar banyak jenis obat dan makanan
tidak sehat. Jika pangan dan obat tidak sehat itu dikonsumsi masyarakat, akan
menimbulkan risiko besar terkena penyakit sehingga bakal menjadi beban BPJS
Kesehatan.
Beban pengeluaran BPJS
juga ditentukan struktur penduduk menurut umur. Pada kelompok umur di bawah
lima tahun, misalnya, jenis penyakit yang diderita umumnya berkaitan dengan
pernapasan. Sementara itu, pada kelompok usia produktif, umumnya itu
berkaitan dengan kecelakaan, dan pada kelompok umur tua umumnya penyakit
degeneratif, seperti diabetes dan jantung. Hal itu mengisyaratkan pembangunan
yang tepat menurut kelompok umur akan sangat membantu dalam meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat sehingga juga akan mengurangi beban pengeluaran
BPJS Kesehatan.
Bahkan, pengeluaran
BPJS Kesehatan dapat kian ditekan jika ada upaya dalam mencegah penyakit dan
kecelakaan dari faktor sosio-demografis. Upaya pencegahan perkawinan yang
terlalu muda, misalnya, dapat membantu risiko penyakit dan kecelakaan selama
kehamilan dan persalinan. Selain itu, risiko penyakit dan kecelakaan dapat
ditekan jika ada upaya pengaturan dalam melahirkan anak. Diketahui, risiko
terkena penyakit akan besar pada ibu yang melahirkan banyak anak dan interval
kelahiran terlalu dekat.
Maka, upaya
pendewasaan usia perkawinan dan pengaturan jumlah anak melalui pembangunan KB
dan kependudukan juga turut membantu dalam mengurangi beban pengeluaran BPJS
kesehatan.
Ringkasnya, beban
pengeluaran BPJS Kesehatan bisa ditekan jika dilakukan berbagai upaya dalam
pembangunan ekonomi dan pembangunan kesehatan, serta pembangunan KB dan
kependudukan. Atas dasar itu, diperlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah
dan pihak terkait agar penaikan iuran dapat dijadikan sebagai alternatif
terakhir dalam menghindari defisit anggaran BPJS Kesehatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar