Pertama Kali ke Luar Negeri
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 18 Maret
2016
Sebagai orang kampung
dari keluarga miskin, pengalaman pertama kali ke luar negeri dengan pesawat
terbang sungguh merupakan pengalaman tak terlupakan. Bahkan sejak proses
mengurus paspor hatiku sudah berbunga-bunga.
Waktu itu saya
mewakili Pengurus Besar HMI menghadiri seminar kebudayaan Islam di Kuala
Lumpur, Malaysia. Persisnya pada bulan April 1980. Saya datang bertiga
bersama Sahar L Hasan, sekarang aktivis Partai Bulan Bintang (PBB), dan Harry
Azhar Azis yang sekarang menduduki jabatan sebagai ketua Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Karena Malaysia dan
Indonesia sama-sama menggunakan bahasa Melayu, yang paling mengesankan adalah
naik pesawat terbang ke luar negeri sekalipun jarak penerbangan Jakarta-Kuala
Lumpur hanya dua jam. Saya bertemu dengan dua sosok intelektual dan aktivis
Malaysia yang sangat populer dan disegani. Pertama Prof Naquib al-Attas,
kedua Anwar Ibrahim. Saya membeli dua buah buku Naquib yang berulang kali
saya baca ulang karena isinya yang cukup mencerahkan, yaitu Islam and Secularism serta Islam dan Peradaban Melayu.
Prof Naquib melakukan
kritik epistemologis sangat mendasar terhadap filsafat Barat yang telah
memengaruhi dunia Islam. Dia menawarkan agenda Islamisasi ilmu pengetahuan
untuk menangkal proses sekularisasi pemikiran yang meracuni generasi muda
Islam. Adapun di buku kedua, Naquib menjelaskan sumbangan bahasa dan
peradaban Melayu terhadap penyebaran Islam di Indonesia.
Dikatakannya, terjadi
hubungan simbiosis antara penyebaran Islam, bahasa Melayu, dan dinamika
perdagangan yang pada urutannya baik Islam maupun bahasa Melayu dengan cepat
menyebar ke wilayah Nusantara dengan pusatnya di kota-kota pantai. Budaya
pantai yang egaliter juga sejalan dengan karakter Islam dan bahasa Melayu,
berbeda dari budaya pedalaman serta karakter bahasa Jawa atau Sunda yang
mempertahankan strata sosial.
Dengan ditetapkannya
bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia, komunikasi sosial berlangsung
egaliter dan bahasa Indonesia juga menjadi pengikat kohesi berbangsa dengan
masyarakatnya yang sangat majemuk. Salah satu efek pengalaman pertama ke luar
negeri yang saya rasakan kala itu adalah munculnya keinginan dan lamunan,
kapan bisa ke luar negeri berikutnya?
Bagi keluarga yang
berkecukupan, liburan ke luar negeri tentu bukan acara yang menghebohkan.
Tapi bagi saya yang masih berstatus mahasiswa, bisa ke Malaysia atas sponsor
donatur HMI merupakan kebanggaan tersendiri yang ternyata menjadi pemula
untuk jalan-jalan ke
luar negeri pada
tahun-tahun berikutnya.
Sampai hari ini saya
ingat-ingat sedikitnya 40 negara pernah saya kunjungi, baik sebagai wartawan,
undangan seminar maupun untuk rekreasi. Sayang sekali saya tidak membuat
catatan tertulis dan lengkap saat menjelajahi berbagai kota dunia dan bertemu
dengan orang-orang yang menginspirasi hidup saya. Misalnya sebagai tamu
Muammar Qadafi, diterima dalam kemah di halaman istananya. Ketika pulang
diberi uang lalu saya belikan dasi dan parfum karena uang Libya sulit
dibelanjakan di luar negaranya.
Dulu hubungan antara
Indonesia dan Malaysia saya rasakan hangat dan akrab. Sama-sama rumpun Melayu
yang memiliki banyak kesamaan. Indonesia dianggap saudara tua yang disegani.
Banyak guru dan dosen Indonesia diundang ke sana untuk membantu meningkatkan
kualitas pendidikan mereka. Tapi dengan berjalannya waktu, Malaysia yang saat
ini berpenduduk sekitar 30 juta banyak membuat terobosan dalam bidang
pendidikan yang pada urutannya mendongkrak perbaikan ekonomi negaranya.
Sebagai bagian dari
negara persemakmuran Inggris, bahasa Inggris masih dipertahankan, bahkan
dijadikan bahasa pengantar dalam pembelajaran di kampus, sehingga sangat
membantu mempermudah kerja sama keilmuan dengan negara-negara Barat, terutama
Inggris dan Australia. Ini berbeda
dari Indonesia yang pernah dijajah Belanda, yang kemerdekaannya diraih
melalui pertempuran, sehingga bahasa Belanda pelan-pelan hilang. Di samping
pula bahasa Belanda memang tidak menonjol sebagai bahasa ilmiah dan bahasa
diplomasi dalam panggung global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar