Ketegasan
Limas Sutanto ;
Psikiater Konsultan Psikoterapi; Tinggal di Malang
|
KOMPAS, 30 Maret
2016
Hari-hari kini, di negeri kita, sepertinya tidak pernah sepi
dari warta tentang penangkapan terduga koruptor, penggeledahan, dan
pemeriksaan tersangka korupsi oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebagian besar, hampir 100 persen, dari orang-orang yang ditetapkan sebagai
tersangka korupsi oleh KPK dinyatakan bersalah setelah diadili dalam
pengadilan tindak pidana korupsi.
Rangkaian kata itu rasanya sudah mencukupi untuk membangkitkan
kekaguman kepada KPK. Kinerja KPK yang begitu kuat itu seperti tidak hirau
pada upaya-upaya pelemahan yang sedemikian bertubi dan keras menderanya.
Pergantian kepemimpinan komisi ini pun agaknya tak banyak berpengaruh
terhadap kinerja lembaga tepercaya itu. Rupanya, kehebatan KPK bukan terutama
terletak pada para pemimpinnya, tetapi pada seluruh hamparan pegawai yang
bekerja di dalamnya. Seluruh pegawai dalam kolektivitas semangat yang begitu
kuat dalam memberantas korupsi itulah yang merupakan kekuatan utama KPK.
Fenomena KPK bukanlah sekadar rangkaian peristiwa yang
mendatangkan kekaguman dan optimisme. Pada tingkat perenungan yang lebih
khidmat dapat dirasakan bahwa ia mencerminkan imajinasi bangsa Indonesia
tentang hari depannya yang lekat dengan nilai-nilai kejujuran, ketaatasasan,
ketegaran, keteguhan, keberanian, dan kepercayaan.
Nilai-nilai itu pulalah yang selama ini menggerakkan dan merawat
militansi seluruh pegawai KPK dalam memberantas korupsi. Melihat sepak
terjang dan prestasi KPK adalah menyaksikan gambaran tentang hari depan yang
didambakan oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi, sungguhkah nilai-nilai itulah
yang paling mendasar?
Perjalanan sebuah bangsa adalah suatu trayektori, suatu lintasan
yang memiliki titik keberangkatan dan titik ketibaan. Ricouer (1984) menyebut
trayektori itu sebagai ”jalan cerita kehidupan”.
Bagi bangsa Indonesia, titik keberangkatan itu sudah jelas,
yaitu saat-saat panjang perjuangan meraih kebebasan hakiki, yang salah satu
puncaknya adalah 17 Agustus 1945, saat kemerdekaan bangsa Indonesia diumumkan
oleh Soekarno dan Hatta. Namun, ihwal titik ketibaan atau destinasi masih
sering dikabur- kaburkan oleh sebagian warga bangsa Indonesia, terutama
justru oleh warga yang lazim disebut ”elite”. Pada perspektif ini militansi
hamparan pegawai KPK yang tampil sebagai kolektivitas dengan kejujuran,
ketaatasasan, ketegaran, keteguhan, keberanian, dan keyakinan dalam
memberantas korupsi dapat dibaca sebagai gambaran titik ketibaan pada
trayektori bangsa ini.
Destinasi yang tergambar adalah: bangsa Indonesia yang taat pada
nilai-nilai kemanusiaan hakiki, memperlakukan setiap manusia tanpa kecuali
sebagai subyek, dan karena itu menjadi adil, bertumbuh kembang, sejahtera,
dan bahagia. Tentu saja di hari depan itu korupsi sangat minimal.
Sesungguhnya titik ketibaan itulah yang menyumberi kekuatan lebih mendasar,
yang terus-menerus menggerakkan militansi para pegawai KPK dalam memberantas
korupsi.
Indonesia di masa depan
Titik ketibaan itu dalam psikoanalisis kontemporer disebut ”hari
depan yang kini pun sudah dimiliki, tetapi belum seluruhnya sungguh
teralami”. Pergerakan bangsa Indonesia memang senantiasa menuju ke ”masa
depan yang sempurna” itu. Kata ”senantiasa” itu begitu penting karena ia
menjelaskan betapa sesungguhnya pergerakan menuju ”hari depan nirsadar” itu
selalu berlangsung, setiap saat, kendati keberlangsungan itu tak kentara,
atau mungkin begitu pelan.
Penghambatan terhadap perjalanan bergerak ke destinasi
trayektoris memang selalu saja terjadi. Akan tetapi, kekuatan yang menghidupi
pergerakan ke depan menuju destinasi selalu lebih besar daripada daya
penghambatnya, sebab memang begitulah sifat alamiah kehidupan: terus saja
bergerak ke depan dalam trayektorinya sendiri, sampai mencapai titik
ketibaannya sendiri. Heidegger, filsuf asal Jerman, menyebut
pergerakan-pergerakan alamiah tak terbendung itu sebagai ek-stases,
perjalanan bersinambung untuk ke luar dari kemandekan yang ditimbulkan oleh
penghambatan.
Sebagian dari warga bangsa Indonesia yang menghambat ek-stases
itu adalah mereka yang tak ingin menyadari titik ketibaan trayektoris
bangsanya sendiri. Atau mereka yang masih ragu-ragu dengan destinasi yang
jelas tergambar, antara lain melalui militansi hamparan kolektif pegawai KPK
dan begitu banyak warga bangsa Indonesia yang mendukung mereka. Sesungguhnya
kedua keadaan itulah yang mengakari ketidaktegasan. Sebaliknya, dapat
dikatakan betapa ketegasan sesungguhnya berakar dalam pandangan terang setiap
warga bangsa Indonesia dalam mengimajinasikan, melihat, menyaksikan, dan
meyakini ”masa depan yang sempurna” dari bangsanya sendiri.
Yang membikin manusia seperti terjebak dalam kedua keadaan tadi
adalah keterbujukan, keterpakuan, dan kelekatan pada kenikmatan sesaat yang
begitu narsisistik. Memang bisa saja manusia mengalami kondisi seperti itu.
Namun, tentulah pemimpin-pemimpin penting bangsa Indonesia tak boleh jadi
orang yang dibelenggu oleh kebutuhan- kebutuhan narsisistik yang membuat
mereka tidak bisa meyakini atau mengalami kekaburan dalam melihat destinasi
trayektoris bangsa yang mereka pimpin.
Terkadang sebagian warga bangsa menyerukan pentingnya ketegasan
dalam memimpin. Namun, sekeras apa pun seruan mereka, jika pemimpin tak
kunjung mampu melihat dengan terang dan meyakini titik ketibaan bangsa
Indonesia, agaknya akan sulit meraih apa yang mereka serukan. Sekali lagi
ditegaskan bahwa titik ketibaan itu adalah: bangsa Indonesia yang sehari-hari
sungguh memperlakukan setiap warga, tanpa kecuali, sebagai subyek, dan karena
itu menjadi adil, bertumbuh kembang, sejahtera, dan bahagia; dan itu tentu juga
antara lain berarti bebas dari korupsi. Sampai kapan pun korupsi akan
disingkirkan oleh bangsa Indonesia, karena destinasi trayektoris kita adalah
Indonesia yang bebas korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar