Revolusi Sopir Taksi
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 27 Maret
2016
Kemerdekaan Indonesia tidak diperoleh dengan cuma-cuma,
melainkan melalui Revolusi Kemerdekaan yang berdarah-darah. Karena itu ada
Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November untuk memperingati para
pahlawan (menurut versi Belanda: ekstremis) yang gugur pada pertempuran
dahsyat di Surabaya pada tanggal tersebut di tahun 1945.
Dua puluh tahun kemudian terjadi lagi Revolusi di Indonesia,
yaitu Peristiwa G-30-S (Gerakan Tiga Puluh September) pada 1965. Pada 30
September 1965 itu terjadi pembunuhan para jenderal TNI (yang kemudian diberi
gelar Pahlawan Revolusi), oleh para pembelot TNI yang didukung oleh PKI (Partai
Komunis Indonesia).
Diluar korban para jenderal TNI itu, di daerah-daerah sudah
ribuan korban akibat saling bunuh antara pendukung PKI dan ormas-ormas Islam.
Revolusi Kemerdekaan RI maupun peristiwa G-30-S adalah perwujudan konflik
antarideologi. Dalam Revolusi Kemerdekaan nasionalisme anakanak muda
Indonesia yang ingin merdeka bertabrakan dengan kolonialisme yang menjadi
ideologinya penjajah Belanda.
Dalam G-30-S ideologi Pancasila bertabrakan dengan ideologi
komunisme. Tetapi bukan itu saja. Semua revolusi sepanjang sejarah manusia
dilandasi oleh konflik ideologi. Sebut saja Revolusi Prancis (1789) yang
berujung pada pemenggalan kepala Ratu Marie Antoinette di bawah pisau
guillotine (1793), yang merupakan awal keruntuhan monarki oleh demokrasi.
Bukan hanya di Prancis, melainkan di seluruh Eropa, bahkan di seluruh dunia.
Atau perang saudara di Amerika Serikat (1861-1865)
antaranegara-negara bagian di wilayah selatan Amerika melawan negara-negara
bagian di Utara. Perang saudara yang telah menewaskan sekitar 750.000 warga
Amerika dari kedua belah pihak ini adalah dampak Revolusi Industri di Inggris(1760-1830)
yaitu dengan ditemukannya mesin-mesin untuk menggantikan tenaga manusia dan
hewan.
Para petani di selatan Amerika (disebut golongan Konfederasi)
yang perekonomiannya masih berbasis pertanian, ingin mempertahankan
perbudakan; penduduk di utara Amerika (Union)
yang sudah beralih ke industry memilih antiperbudakan karena dianggap tidak
manusiawi. Dalam perang saudara ini tidak jarang kakak-beradik dalam satu
keluarga terpaksa berpisah karena yang satu memilih bertempur untuk pihak
Konfederasi, saudaranya memihak Union.
Ribuan revolusi sudah terjadi sepanjang sejarah manusia. Tetapi
Alfin Toffler, futurolog kondang, menuliskan dalam The Thrid Wave (1980) bahwa revolusi-revolusi manusia di dunia
dapat dibagi ke dalam tiga gelombang saja, yaitu gelombang pertama yang
dikenal dengan istilah revolusi neolitik, yaitu ketika teknologi pertanian
dan budi daya menggantikan kebudayaan berburu dan pengumpul.
Manusia yang awalnya nomaden (berpindah-pindah) berubah menjadi
menetap, mempunyai kampung halaman untuk berkebun atau beternak. Revolusi
gelombang kedua adalah Revolusi Industri pada Abad XVII yang sudah disinggung
di atas, dan yang terakhir adalah revolusi pascaindustri, atau disebut juga
revolusi era informasi.
Ciri dari masyarakat industri adalah serbamassal. Produksi, distribusi,
konsumsi, pendidikan, media, rekreasi, semua dibajukan. Jika digabungkan
semuanya maka ideologinya adalah standardisasi dan sentralisasi, yang
berwujud dalam organisasi dan birokrasi. Di pihak lain, ciri era informasi
justru kebalikannya 1.800 dari era industri.
Di era informasi, semua orang bisa menjangkau informasi dari
mana saja dan dari siapa saja di seluruh pelosok dunia secara real time (nol
detik). Thomas Friedman menulis buku The World Is Flat (2005). Maksudnya, di
era informasi ini semua orang setara, tidak perlu lagi organisasi seperti
dalam perusahaan atau negara. Semua standardisasi, sentralisasi, dan
birokrasi ditinggalkan. Digantikan oleh kreativitas, desentralisasi, dan
spesialisasi.
Masyarakat yang mengunggulkan sekolah akan digusur oleh
masyarakat tanpa sekolah yang oleh Ivan Illich (1971) dinamakan
thedeschooling society, karena sumber informasi bisa didapat dari mana-mana,
khususnya melalui dunia maya sehingga untuk belajar orang tidak perlu lagi
sekolah.
Dalam hubungan inilah hendaknya kita memandang aksiaksi demo
oleh para sopir taksi yang terjadi baru-baru ini di Jakarta yang berakhir anarkistis.
Para pendemo berasal dari perusahaan-perusahaan taksi yang sudahmapan,
yangmasingmasing punya armada yang terdiri dari ribuan unit taksi (awas:
bukan ribuan armada loh!).
Perusahaan-perusahaan taksi itu organisasi besar, yang
tersentralisasi, terstandardisasi (mobil merek tertentu saja yang ditetapkan
oleh perusahaan) dan semua gerak armada dikendalikan oleh para dispatcher di
kantor pusat. Perbaikan dan servis dipusatkan di bengkel perusahaan. Pajak
dan lainnya diatur oleh perusahaan.
Para sopir tinggal menunggu perintah dari dispatcher. Perusahaan
taksi besar adalah perwujudan era industri. Sebaliknya taksi-taksi dan ojek
yang didemo bekerja atas inisiatif sendiri. Mereka bergabung dalam jaringan
aplikasi tertentu. Kalau ada panggilan, dan kalau berminat mau mengambil
order itu, mereka adu cepat untuk menerima order; atau kalau sedang malas ya
matikan saja aplikasinya.
Mereka bebas memilih, tetapi pajak kendaraan, perawatan dsb jadi
tanggungan sendiri. Perusahaan tidak menyiapkan. Jelas perbedaan yang sangat
mendasar. Taksi-taksi dan ojek aplikasi adalah cerminan era informasi, bukan
lagi era industri. Revolusi antar-era inilah yang menyebabkan sopir taksi
bukan hanya mogok kerja, tetapi merusak taksi yang tidak ikut demo,
menurunkan paksa penumpang di tengah jalan tol, bahkan memukuli sopir ojek
yang kebetulan lewat dan tidak tahu apa-apa.
Tetapi di luar demo sopir taksi korban sudah berjatuhan juga:
toko/penyalur DVD, toko buku, bioskop, supermarket, jasa pos, dan lainlain
akan atau bahkan sudah gulung tikar karena bisnisnya diambil alih oleh bisnis
digital. Mudah-mudahan tidak ada lagi demo-demo karena konflik horizontal
setelah ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar