Tetesan Permasalahan Air Bersih
Kukuh Thoriq Ariefian ;
Pemerhati Infrastruktur; Professional Civil Engineer
|
MEDIA INDONESIA,
23 Maret 2016
SUDAH lebih dari satu
tahun semenjak Mahkamah Konstitusi membatalkan seluruh UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air (SDA). Dalam putusannya, hakim memberikan prioritas
pemanfaatan air untuk kegiatan dasar masyarakat. Pengusahaan air secara
komersial harus mendapatkan izin dari pemerintah daerah (pemda) dengan
memperhatikan kebutuhan masyarakat setempat terlebih dahulu. Dari putusan
tersebut, tersirat akan pentingnya nilai kemanfaatan air dalam kehidupan
masyarakat dan dalam konteks komersial. Di sisi lain, pemerintah, melalui
BUMN dan BUMD yang diberi kewenangan berlebih untuk menyediakan air bersih
kepada masyarakat, masih dirasakan belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Jakarta sebagai ibu
kota negara memberikan gambaran komprehensif mengenai permasalahan penyediaan
air bersih. Meskipun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah bekerja sama
dengan pihak swasta, jumlah masyarakat yang dapat mengakses pelayanan air
bersih dari BUMD baru mencapai 60%-62% pada 2015 (PAM Jaya, 2015). Di kota
lainnya seperti Yogyakarta dan Kuta Bali, kecurigaan penggunaan air tanah
berlebihan oleh hotel-hotel besar telah menimbulkan konflik baru di tengah
masyarakat.
Tantangan
Tingginya kebutuhan
air bersih di area perkotaan disadari muncul akibat tingginya tingkat
urbanisasi. Untuk mendukung aktivitas setiap orang, dibutuhkan air bersih
berkisar 60-210 liter/orang/hari. Hal itu memberikan tekanan tersendiri dalam
kebijakan penyediaan air bersih, distribusi, serta kualitas air bersih.
Jakarta mendapatkan air baku bersih terbesar dari Waduk Jati Luhur, sedangkan
air baku dari sumber lain seperti sungai, danau/situ, laut belum
termanfaatkan. Tingkat kebocoran distribusi air bersih di Jakarta juga cukup
tinggi, yakni 40% apabila dibandingkan dengan London sebesar 25% (Pearce,
2012) atau Swiss sebesar 13% (Vermont, 2004). Kualitas pelayanan air bersih
oleh BUMD DKI Jakarta kerap dikeluhkan masyarakat.
Kondisi pelayanan air
bersih di beberapa wilayah lainnya juga tidak jauh berbeda. Penetrasi
pelayanan jaringan perpipaan air bersih kepada masyarakat masih di bawah 59%.
Sebagian besar hanya melayani wilayah perkotaan. Rata-rata tingkat kebocoran
distribusi air bersih berada pada angka 33%, lebih tinggi daripada rata-rata
internasional.
Tindak lanjut
Dengan tidak
berlakunya UU Nomor 7 Tahun 2004, kebutuhan air bersih meningkat dan terdapat
tantangan penyediaan air bersih. Karena itu, diusulkan beberapa aksi lanjutan
terhadap permasalahan dan kondisi tersebut: Pertama, implementasi target
persentase penyediaan air bersih dari air sungai, danau/situ besar dan laut.
Kota besar yang berada di daerah pesisir dapat menggunakan air laut sebagai
air bersih setelah melalui proses desalination.
Kedua, peningkatan
kapabilitas pengelola BUMD penyedia air bersih, pengawasan pelayanan, dan
audit keuangan. Lambatnya pengembangan infrastruktur penyedia dan distribusi
air bersih serta tingginya kebocoran merupakan indikasi kebutuhan peningkatan
kapabilitas pengelola BUMD. Kerugian yang ditimbulkan dari hal tersebut tidak
hanya terlihat dalam kerugian keuangan perusahaan. Akan tetapi, masyarakat
sebagai pelanggan juga diberikan kenaikan biaya untuk menutupi kerugian
keuangan tersebut.
Ketiga, terjaminnya
persediaan dan akses air bersih serta pembangunan ekonomi untuk masyarakat
di sekitar area pemanfaatan air oleh pihak BUMD ataupun swasta. Konflik air
yang terjadi pada beberapa wilayah merupakan bukti implementasi perundangan
secara parsial oleh pemerintah pusat ataupun pemda. Terdapat suatu daerah
dengan para petaninya tidak mampu mengairi sawah mereka, tetapi diberikan
izin kepada perusahaan swasta untuk mengeksploitasi air bersihnya. Pemerintah
pusat dan daerah harus mendorong pihak BUMD ataupun swasta untuk membuat
perjanjian ketersediaan serta memberikan akses air bersih kepada masyarakat.
Keempat, kesepakatan
bersama untuk menjaga daerah tangkapan air antara masyarakat dan perusahaan
pemanfaat air bersih (swasta atau BUMD). Penggunaan air bersih dengan menjaga
keberlangsungan daerah tangkapan air akan menjamin kemanfaatannya dalam waktu
yang lama. Iktikad baik yang muncul dari masyarakat dan perusahaan pemanfaat
air bersih akan memberi kepercayaan satu sama lainnya. Dengan demikian,
potensi konflik air yang muncul pada beberapa masa mendatang dapat
diminimalkan.
Perbaikan akses
terhadap pelayanan air bersih dan sanitasi untuk masyarakat mampu
berkontribusi terhadap GDP sebesar 3,7% setiap tahunnya (WHO, 2005). Untuk
tiap US$1 investasi dalam perlindungan wilayah tangkapan air bisa menghemat
US$7,5-US$200 dalam pembuatan fasilitas pengolahan dan penyaringan air
bersih. Pada sisi lain, menurut riset World Bank (2015), tidak adanya akses
air bersih menyebabkan kerugian negara sebesar 7% dari GDP setiap tahunnya.
Karena itu, diperlukan kebijakan terintegrasi dalam pengelolaan sumber daya
air dari hulu sampai hilir dan implementasi perundangan secara holistis.
Semangat dari
keputusan hakim MK yang menyatakan tidak berlakunya UU Nomor 7 Tahun 2004
ialah menjamin keadilan dalam pemanfaatan air bersih bagi setiap anggota masyarakat.
Pemerintah diharapkan tidak memaknainya sebagai pengembalian hak dan
kewajiban pengelolaan sumber daya air semata. Akan tetapi, mereka juga mampu
membuat kebijakan perundangan yang lebih baik, dengan mempertimbangkan hak
dasar tiap masyarakat yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar