Dunia Tanpa Kaum Ekstremis
Fajar Riza Ul Haq ;
Direktur Eksekutif Maarif Institute;
Sekretaris Majelis Hukum dan HAM
PP Muhammadiyah
|
KOMPAS, 29 Maret
2016
Pentingnya sinergi mengembangkan toleransi dan membendung arus
ekstremisme merupakan benang merah rangkaian dialog saat penulis melakukan
perjalanan ke London, Birmingham, dan Semarang pada Maret ini. Yang
menyedihkan, ledakan bom mengguncang Turki, Belgia, Irak, dan Pakistan dalam
rentang waktu tersebut.
Program kunjungan penulis bersama beberapa aktivis kontra
ekstremisme di dua kota Inggris itu merupakan tindak lanjut komitmen Perdana
Menteri Inggris David Cameron yang mengunjungi Jakarta, akhir Juli 2015. Ia
bertekad membangun kerja sama dan menjalin pertukaran pengalaman dengan Indonesia
dalam mengatasi terorisme.
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) merupakan musuh bersama
dan cara terbaik melindungi masing-masing negara dari kekejiannya adalah
melalui berbagi keahlian. Pandangan Cameron ini diutarakan saat bertemu
Presiden Joko Widodo. ”Kami juga akan belajar dari pendekatan yang dilakukan
Indonesia dalam memberantas ekstremisme dengan melakukan pertukaran program
antara pimpinan komunitas religius di Indonesia dan Inggris untuk
meningkatkan pemahaman,” ujar Cameron (Kompas.com, 27/7/2015).
Pemerintah Inggris didukung sejumlah organisasi nonpemerintah
sedang bekerja mengatasi masalah Islamophobia, serbuan narasi kebencian dan
kekerasan serta infiltrasi NIIS yang berhasil merebut perhatian generasi
muda. Jaringan Perempuan Muslim di Birmingham menemukan sejumlah perempuan
Muslim belia yang terpengaruh dan direkrut NIIS. Mereka datang dari keluarga
ekonomi mapan dengan latar belakang pendidikan yang meyakinkan. Otoritas
Inggris meyakini 800 warganya telah bergabung dengan NIIS.
Jaringan Perempuan Muslim itu melihat masih kuatnya bandul
konservatisme di kalangan masyarakat Muslim Inggris sebagai salah satu
faktornya. Pada saat yang sama, miskinnya perspektif kritis dalam proses
reproduksi pemahaman keagamaan di tengah masyarakat heterogen menjadi kendala
utama yang dihadapi Forum Lintas Iman London. Lembaga ini bertujuan mengikis
prasangka di antara komunitas agama-agama dengan menggelar dialog hingga ke
level akar rumput. Meningkatnya pamor kelompok-kelompok kanan ekstrem yang
menolak kebijakan pro imigran di daratan Eropa belakangan ini tak luput dari
radar kepedulian mereka.
Pesan Paskah
Angin segar berembus dari Vatikan. Dalam pesan Paskah, Paus
Fransiskus mengkritik tajam sikap cuci tangan para politisi Eropa atas
konflik di Timur Tengah. Tiga dari 11 pengungsi yang kakinya dibasuh dan
dicium Paus pada ritual Kamis Putih adalah pengungsi Muslim dari Suriah,
Pakistan, dan Mali.
Sikap Paus ini mencerminkan pembelaannya terhadap keadilan dan
kemanusiaan melampaui sekat agama, ”Seseorang yang hanya berpikir tentang
membangun tembok, di mana pun, dan bukan membangun jembatan, bukanlah orang
Kristen,” ujar pemimpin tertinggi umat Katolik ini (Kompas, 26/3).
Semangat senada disuarakan Grand Syaikh Al Azhar Syaikh Ahmad
Muhammad Ahmad Thayyeb ketika berkunjung ke Indonesia akhir Februari lalu.
Tanpa ragu, ia mengatakan, umat Islam yang berakidah ahlus sunah bersaudara
dengan Syiah. ”Sunni dan Syiah adalah saudara”, kata Syaikh (Kemenag.go.id,
22/2). Pernyataan ini menyejukkan di tengah propaganda sektarianisme anti
Syiah yang meningkat tajam dua tahun terakhir. Ada juga pihak yang meragukan
bahkan tak menerima pandangan ulama besar sekelas Ahmad Thayyeb ini.
Ekstremisme selalu mendatangkan nestapa. Perayaan Paskah pun
tidak menyurutkan aksi bom bunuh diri di Lahore, Pakistan, Minggu (27/3)
malam. Puluhan orang tewas dan ratusan terluka. Perempuan dan anak- anak
menjadi korban utama kebrutalan itu.
Minoritas Kristen telah lama mengalami diskriminasi dan
persekusi. Kekerasan sektarian belum juga surut dari tanah kelahiran
pembaharu Islam, Fazrul Rahmah, itu. Tindakan kekerasan semacam ini kian
menyuburkan budaya ketakutan dan menularkan kebencian. Ikhtiar pembangunan
jembatan kemanusiaan guna memoderasi ekstremisme, seperti disuarakan Paus dan
Ahmad Thayyeb di atas akan berat terwujud tanpa sokongan generasi muda.
Pendidikan salah satu ujung tombaknya.
Seorang analisis terorisme di London menemukan sekolah-sekolah
swasta keagamaan yang tidak terikat oleh regulasi pemerintah ikut
memfasilitasi produksi narasi-narasi intoleran dan kekerasan di Inggris. Ada
kemiripan dengan fenomena di Asia Selatan, terutama Pakistan dan Afganistan,
di mana institusi pendidikan keagamaannya rentan diinfiltrasi bahkan
mengajarkan ideologi yang menjustifikasi aksi teror, seperti diceritakan
dalam laporan ”Pakistan: Karachi's Madrasas and Violent Extremism” (crisisgroup, 2007).
Kasus sebaliknya terjadi di Indonesia. Kelompok-kelompok anti
Pancasila dan penentang kebinekaan menyasar sekolah-sekolah negeri favorit di
kota-kota strategis di Jawa (Maarif
Insitute, 2011, 2015; Hairus Salim dkk, 2011). Namun, temuan ini tidak
berarti menegasikan persoalan serupa di sejumlah lembaga pendidikan keagamaan
swasta yang tak kalah serius.
Narasi alternatif
Kita sangat memerlukan narasi-narasi alternatif yang mampu
melumpuhkan propaganda kaum ekstremis dan reproduksi narasi kekerasan.
Memakai bahasa Khaled Abou el-Fadl, narasi alternatif yang dimaksud harus
bisa merebut (kembali) narasi kata-kata kunci, seperti kilafah, negara Islam,
jihad, dan hijrah dari dominasi narasi kaum ekstremis. Ketidakadilan politik
dan ketimpangan kemakmuran yang terus melebar tak bisa diabaikan karena
inilah yang mengerek bendera kaum ekstremis seiring pengerasan narasi-narasi
keagamaan maupun ideologi politiknya.
Mereka tak sungkan membunuh warga tidak berdosa, sering kali
korbannya adalah orang-orang yang seagama dengan pelaku. Gudang memori
kolektif generasi muda Muslim perlu disodori narasi-narasi keagamaan yang
lebih positif sehingga mereka punya preferensi yang kaya. Tidak gampang
terbius propaganda menyesatkan. Pemikiran ini berkembang dalam sebuah
lokakarya ahli penyusunan kontra narasi ekstremisme di Semarang yang
difasilitasi sebuah lembaga berbasis di Abu Dhabi.
Yang perlu hati-hati adalah jebakan generalisasi atas nama
politik kambing hitam yang menyudutkan agama tertentu. Misalnya, kandidat
Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump dan Ted Cruz, menyerukan
kembali pentingnya membatasi dan mengawasi komunitas Muslim di AS pasca bom
mengguncang Belgia. Keduanya mewakili sosok politisi Barat yang berpandangan
Islam memiliki persoalan inheren yang tak bisa berdamai dengan nilai-nilai
Barat.
Bagi Hillary Clinton, pandangan Trump dan Cruz sangat berbahaya
dan kontra produktif dalam strategi menangani terorisme. Meruntuhkan narasi
negatif bahwa pemeluk Islam identik dengan kaum ekstremis membutuhkan
komitmen politik di samping komitmen reformasi kultural. Politik
marjinalisasi akan memberi pembenaran atas pemikiran segelintir orang yang
memang menolak berdialog dengan realitas kompleks.
Indonesia dinilai memiliki capaian mengagumkan dalam memerangi
terorisme, seperti diakui banyak negara lain. Namun, kita tidak bisa berpuas
diri dan bersikap taken for granted. Langkah semena-mena pasukan anti teror
Densus 88 dalam memperlakukan para tersangka teroris telah mengundang banyak
pertanyaan bahkan kecaman. Sikap semacam ini akan menyulitkan
kelompok-kelompok sipil yang justru memiliki komitmen memerangi intoleransi
dan terorisme. Pemerintah jangan sampai terjebak memperagakan politik
ketakutan atas nama keamanan dan stabilitas pertumbuhan. Negara harus lebih
maju memproduksi narasi- narasi kontra ekstremisme yang merangkul
kelompok-kelompok sipil sehaluan, bukan memfasilitasi intimidasi dan teror
yang dilakukan sekelompok orang yang justru berbeda garis.
Kemenangan kaum ekstremis bisa bermula dari pembiaran negara
terhadap tekanan kelompok intoleran untuk membubarkan diskusi, pementasan
teater hingga melarang kegiatan keagamaan kelompok tertentu. Amnesti
Internasional sudah menyalakan peringatan, kinerja penegakan HAM di Indonesia
memburuk dalam setahun terakhir. Yang masih membesarkan optimisme, Indeks
Negara Gagal terbaru memperlihatkan Indonesia memiliki kapasitas memadai mengelola
turbulensi sosial, ekonomi, dan politik. Namun, kita akan mudah terperosok
pada zona merah jika tidak sungguh-sungguh mengatasi propaganda kebencian
etnisitas, sentimen sektarianisme, dan ekstremisme mengingat kini berada pada
zona oranye-kuning (waspada). Wallhu'alam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar