Pengertian Lembaga Tertinggi
Yudi Latif ; Steering Committee, Konvensi Nasional
tentang Haluan Negara
|
KOMPAS, 22 Maret
2016
Wacana restorasi
Garis-garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan Majelis Permusyawaratan
Rakyat menuai sokongan publik yang luas meski ada pihak-pihak yang skeptis
dan memperlihatkan ketidaksetujuan. Salah satu dalih keberatan yang
diungkapkan adalah pemberian kewenangan kepada MPR dalam menetapkan GBHN
tersebut berarti akan memulihkan kembali kedudukannya sebagai lembaga
tertinggi negara.
Bagi sebagian orang,
istilah lembaga tertinggi itu sangatlah menakutkan. Memang di banyak negara,
yang lazim dikenal adalah istilah lembaga/majelis tinggi (upper house) dan lembaga rendah (lower house). Namun, di Indonesia,
menyebut DPR sebagai lembaga rendah mungkin dirasa merendahkan martabat.
Maka, lembaga rendah itu jadilah disebut lembaga tinggi, sedangkan lembaga
tinggi dinamakan lembaga tertinggi.
Itu sekadar kelakar,
betapa repotnya bangsa ini dalam perkara istilah. Sesungguhnya tidak
terlampau bermasalah apabila MPR tidak disebut lembaga tertinggi. Yang
penting, kedudukan dan kewenangan MPR haruslah mencerminkan representasi
kedaulatan rakyat yang paling luhur dan paling lengkap.
Para penyusun UUD 1945
menganut konsepsi kedaulatan (sovereignty)
yang menekankan perlunya negara memiliki rumusan ”kedaulatan tertinggi”
sebagai ekspresi tertinggi rakyat secara keseluruhan; bukan ekspresi sebagian
dari kekuatan rakyat. Hal itu berbeda dengan teori kedaulatan dari James
Madison yang memandang kedaulatan rakyat sebagai suatu yang harus dibagi
secara terpisah. Lokus kedaulatan rakyat itu memusat di MPR, hampir
menyerupai konsepsi kedaulatan rakyat di negara Inggris yang memusat di
parlemen.
Atas dasar itulah
barangkali mengapa MPR lazim disebut sebagai lembaga tertinggi negara
meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam pasal-pasal UUD 1945. Namun,
harus segera diingat bahwa pengertian tertinggi di sini tidaklah berarti
bahwa MPR bisa berbuat sewenang-wenang dan menentukan segala hal karena
kewenangannya dibatasi UUD. Pengertian tertinggi di sini terutama terkait
dengan fungsi khusus dari MPR.
Untuk memperjelas hal
itu, baiklah kita menengok pandangan Prof Maria Farida Indrati S dalam Ilmu
Perundang-undangan (Kanisius, 2007). Dalam pandangannya, fungsi MPR (sebelum
amandemen) bisa dibedakan dalam dua kualitas: ”Fungsi I: Menetapkan
Undang-undang Dasar; Fungsi IIa: Menetapkan garis-garis besar daripada haluan
negara; IIb: Memilih Presiden dan Wakil Presiden.” Lantas ia jelaskan lebih
lanjut, bahwa: ”Majelis Permusyawaratan
Rakyat dalam menjalankan fungsi yang pertama mempunyai kedudukan yang lebih
utama daripada dalam menjalankan fungsi yang kedua, oleh karena dalam
menjalankan fungsi yang pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai
kualitas sebagai ’konstituante’, yaitu menetapkan undang-undang dasar yang
hanya dilaksanakan apabila negara benar-benar menghendaki, jadi tidak secara
teratur, sedangkan dalam menjalankan fungsi yang kedua itu dapat dilaksanakan
secara teratur dalam jangka waktu lima tahun sekali, yaitu pada waktu Majelis
Permusyawaratan Rakyat bersidang.”
Pengertian MPR sebagai
lembaga tertinggi negara terutama erat kaitannya dengan fungsi pertama, yakni
fungsinya sebagai ”konstituante”. Pemahaman seperti ini bisa kita temukan di
berbagai literatur hukum tata negara pada dekade-dekade awal kemerdekaan,
seperti bisa dilihat dalam karya Mr Assaat (1951), GJ Wolhoff (1955), dan
Muhammad Yamin (1956). Sayangnya, karya-karya klasik itu sepertinya kurang
bisa diakses oleh generasi ilmuwan yang lebih belakangan.
Menurut GJ Wolhoff,
dalam Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia (Timun Mas NV,
1955), MPR dikatakan sebagai lembaga tertinggi negara karena merupakan
”Kongres seluruh bangsa Indonesia” yang bertindak sebagai perwakilan
tertinggi dari seluruh elemen kekuatan rakyat (bangsa) dan berfungsi sebagai
lembaga konstituante (organ yang menetapkan konstitusi). Sebagai lembaga
konstituante, MPR mengendalikan kekuasaan tertinggi untuk menetapkan
dasar-dasar negara, sistem pemerintahannya, seluruh sistem hukum pada
umumnya, serta garis-garis besar kebijakan politik (Wolhoff, 1955: 18, 68).
Senada dengan itu, Mr
Assaat, dalam Hukum Tata Negara Republik Indonesia: Dalam Masa Peralihan
(Bulang Bintang, 1951), menyatakan bahwa MPR dikatakan sebagai lembaga
tertinggi negara karena merupakan lembaga pembentuk undang-undang dasar
(konstituante). ”Undang-undang dasar adalah induk dari segala peraturan. Oleh
sebab itu undang-undang dasar ditetapkan oleh kekuasaan yang tertinggi dalam
negara” (Assaat, 1951: 5).
Selain itu, dikatakan
pula bahwa MPR merupakan badan yang melakukan kedaulatan tertinggi dalam
negara, maka kebijakan dasar sebagai prinsip direktif haluan negara juga
sepatutnya ditetapkan oleh MPR. ”Bahwa
hak menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara itu diberikan kepada
Madjelis Permusjawaratan Rakjat, badan jang melakukan kedaulatan tertinggi
dalam negara....” (Assaat, 1951; 14).
Singkat kata, tidak
perlu lagi dipersoalkan bahwa pengembalian fungsi MPR dalam menetapkan GBHN
berarti akan merehabilitasi kedudukannya sebagai lembaga tertinggi. Karena
diberi nama apa pun, dengan sendirinya, selama masih diberi kewenangan
menetapkan UUD, selama itu pula MPR berfungsi sebagai lembaga tertinggi
negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar