Krisis Pengungsi Eropa
A Agus Sriyono ;
Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan
|
KOMPAS, 30 Maret
2016
Dewasa ini Eropa sedang menghadapi krisis akibat banjirnya
pengungsi. Tahun lalu, sekitar 1,2 juta pengungsi yang sebagian besar dari Suriah,
Afganistan, serta Irak memasuki Yunani dan perbatasan Macedonia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan jumlah pengungsi
tahun ini bertambah satu juta orang lebih. Umumnya, tujuan mereka Jerman,
Austria, atau Swedia. Para pengungsi terpaksa meninggalkan Tanah Air mereka
yang porak-poranda akibat perang guna memperoleh kehidupan lebih baik. Sebuah
”Journey of Hope”.
Perjalanan pengungsi ke negara transit dan tujuan bukan tanpa
risiko. Sebagian besar mereka menggunakan jalur laut, hanya sebagian kecil
melalui darat. Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi, tahun 2015
tercatat 3.770 pengungsi meninggal dan tahun ini telah 320 orang tenggelam di
laut termasuk anak- anak. Di pihak lain, Hongaria sebagai negara transit
merasakan paling terbebani akibat kedatangan pengungsi. Hampir 1.800
pengungsi per 100.000 penduduk Hongaria mendaftar sebagai pencari suaka.
Kompleksitas krisis
Berbagai upaya mengatasi krisis telah dilakukan. Pertengahan
Maret ini, para pemimpin Uni Eropa bertemu PM Turki untuk mencari solusi.
Para pemimpin Eropa mendesak Turki agar menyepakati langkah penyelesaian
masalah pengungsi. Diharapkan, Turki bisa membantu menghentikan arus
pengungsi yang menyeberang melalui Laut Aegean menuju Yunani. Sebagai
imbalannya, negara-negara Eropa bersedia memberi bantuan keuangan dan
sejumlah konsesi politik.
Di luar politik, krisis pengungsi Eropa sedikitnya mengandung
tiga dimensi persoalan yang saling terkait: kemanusiaan, hukum, dan keuangan.
Pada sisi kemanusiaan, negara-negara Eropa menghadapi dilema antara hasrat
menampung pengungsi dan dampak sosial-politik yang ditimbulkan.
Fenomena meningkatnya jumlah pendukung ”sayap kanan” di Jerman
belakangan ini merupakan salah satu bukti. Sikap akomodatif yang ditunjukkan
Kanselir Angela Merkel dalam penanganan pengungsi ternyata menghadapi
tantangan.
Demonstrasi anti pengungsi di Jerman akhir-akhir ini cenderung
meningkat. Sebagian rakyat Jerman terjangkit xenophobia. Tercatat pada 2015 terjadi 13.846 kekerasan dilakukan
oleh kelompok ”ekstrem-kanan”, meningkat 30 persen dibandingkan tahun
sebelumnya. Namun, fenomena semacam ini tak hanya terjadi di Jerman. Belanda
dan Swedia mengalami hal sama. Berdasarkan sebuah studi, xenophobia meningkat
saat terjadi krisis.
Pada dimensi hukum, negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni
Eropa dihadapkan pada dua persoalan mendasar. Pertama, bagaimana menangani
aspek penyelundupan manusia yang merupakan faktor pemicu arus pengungsi
sebagai bentuk pelanggaran hukum. Kedua, apabila terpaksa dilakukan pemulangan
paksa, tindakan demikian akan bertentangan dengan kesepakatan Uni Eropa dan
hukum internasional.
Pemulangan pengungsi jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip
hak-hak asasi manusia seperti tertuang dalam Deklarasi Universal tentang HAM
(The Universal Declaration on Human
Rights), Konvensi PBB mengenai Pengungsi Tahun 1951 (The 1951 United Nations Refugee Convention), dan Konvensi Eropa
tentang HAM (The European Convention on
Human Rights).
Khusus Konvensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia secara tegas
menyatakan bahwa pemulangan secara paksa pengungsi merupakan tindakan melawan
hukum. Dengan demikian, Uni Eropa perlu mencari celah hukum jika ingin
memulangkan pengungsi ke negaranya.
Di samping masalah kemunusiaan dan hukum, beban keuangan yang
harus dipikul negara-negara Uni Eropa juga menjadi permasalahan tersendiri.
Menurut Komisi PBB untuk Pengungsi (The
United Nations High Commissioner for Refugees), sementara ini diperlukan
anggaran awal sekitar 128 juta dollar AS untuk mengatasi persoalan pengungsi
di Eropa. Sementara bagi Jerman sendiri beban yang harus dipikul untuk
membangun prasarana dan kebutuhan sehari-hari pengungsi diperkirakan sebesar
€ 50 juta dollar AS.
Inspirasi Paskah
Di tengah krisis pengungsi yang semakin kompleks, pada upacara
Kamis Putih yang merupakan rangkaian peringatan Paskah tahun ini, Paus
Fransiskus melakukan pembasuhan kaki terhadap para pengungsi.
Acara ini secara simbolik menunjukkan betapa pemimpin gereja
Katolik sedunia itu memberi perhatian khusus kepada nasib pengungsi.
Tampaknya, Paus Fransiskus ingin menyampaikan pesan kepada dunia dan Eropa
khususnya betapa harkat manusia perlu dihargai. Diperkirakan, 46 persen
penduduk Eropa beragama Katolik.
Kedudukan negara Vatikan di bawah kepemimpinan Paus dalam konstelasi
hubungan antarnegara memang unik. Negara terkecil di dunia ini ternyata
memiliki pengaruh besar terhadap dunia dalam hal moralitas dan spiritualitas.
Negara Vatikan tidak memiliki hard power seperti kemampuan militer, tetapi
lebih mengandalkan soft power. Kekuatannya justru terletak pada
keberpihakannya kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Bagi Vatikan, pengungsi tidak semata dilihat dari status legal
atau ilegal, tetapi mereka dilihat sebagai manusia yang memiliki martabat
yang wajib dilindungi. Dalam pesan yang disampaikan pada Hari Migran dan
Pengungsi Dunia pada 17 Januari 2016, Paus Fransiskus mengimbau seluruh umat
Katolik untuk menyambut kedatangan pengungsi sebagai keluarga. Diingatkan,
para pengungsi merupakan korban kekerasan, kemiskinan, dan perdagangan
manusia.
Persoalannya, apakah para pemimpin Eropa akan tergugah dengan
imbauan moral itu? Memang tidak mudah bagi negara sekuler menerima begitu
saja imbauan moral-keagamaan. Solusi terbaik krisis pengungsi mungkin sebuah
kebijakan yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan moralitas dan
kemanusiaan, hukum, dan kemampuan keuangan. Bagaimanapun, realitasnya para
pengungsi merupakan korban keadaan.
Indonesia sebagai negara yang pernah menghadapi masalah
pengungsi beberapa tahun lalu tampaknya lebih maju dalam penanganannya. Para
pengungsi Rohingnya, misalnya, diterima atas dasar alasan kemanusiaan. Dasar
pertimbangan kemanusiaan diambil melampaui pertimbangan hukum ataupun
keuangan. Dalam hal ini dunia perlu tahu meskipun Indonesia bukan negara
pihak pada Konvensi PBB mengenai Pengungsi Tahun 1951, tetapi bersedia
menerima pengungsi atas dasar kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar