Propaganda 2.0
Ika Karlina Idris ; Dosen Ilmu Komunikasi Universitas
Paramadina;
Mahasiswa Program Doktor Ohio
University
|
KOMPAS, 23 Maret
2016
“Democracy (and, indeed, all society) is run by an unseen
engineer.”
Anatole France
Era demokrasi
Indonesia saat ini tak lepas dari peran media sosial, seperti Facebook,
Twitter, Youtube, Path, dan Instagram. Beragam isu menjadi terdengar dan
akhirnya menjadi agenda penting di masyarakat karena disuarakan melalui media
sosial dan didengungkan oleh media massa.
Beberapa kali pula isu
nasional di Indonesia menjadi tren global dunia karena masifnya sebuah isu
dipantulkan dari satu akun ke akun yang lain. Bahkan, Presiden Joko Widodo
juga berutang besar kepada netizen atas jasa memopulerkan dirinya di media
sosial.
Kita tentu masih ingat
betapa pada hari-hari pilpres lalu, menulis sebuah status dukungan di media
sosial untuk salah satu calon bukanlah hal mudah. Bahkan, hingga hari ini,
sebuah status Facebook atau tweet yang berbau politik masih cukup sensitif
dan dapat memancing berbagai bantahan dan komentar. Inilah era demokrasi di
mana propagandis lebih mudah menyebarkan kebencian. Media sosial membuka
ruang lebih luas untuk menyetir isu dan opini di masyarakat dan memantau
perkembangannya dengan lebih terukur.
Pada dasarnya,
propagandis ada di hampir seluruh masyarakat, bekerja dalam diam. Tujuan
mereka, mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat, sekaligus membuat pihak
lawan mereka dibenci. Propagandis hadir tak hanya di masa pemilihan presiden
atau pemilihan kepala daerah, mereka juga bekerja pada isu-isu sosial di masa
damai. Tanpa disadari kita sering terjebak untuk sukarela membantu mereka,
mulai dari sekadar memberi jempol di Facebook hingga ikut menyebarkan pesan
propaganda kepada jejaring sosial kita.
Beberapa waktu lalu,
misalnya, foto Presiden Jokowi di Raja Ampat, Papua, dituding palsu oleh
salah seorang pengguna media sosial. Teman dan pengikut akun itu pun
ramai-ramai memantulkan tudingan dan pesan yang sama, tanpa lebih dulu mencari
tahu kebenarannya. Menjelang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, saat ini di
media sosial mulai bermunculan rekayasa foto ataupun informasi yang tidak
jelas kebenaran dan sumbernya. Tanpa disadari, banyak pengguna media sosial
yang dengan sukarela terseret ke dalam pusaran arus propaganda 2.0.
Pada masa Perang Dunia
II, Pemerintah AS mendirikan the
Institute of Propaganda Analysis yang bertugas mendidik warganya mengenai
propaganda. Institut ini mengeluarkan tujuh teknik yang biasa digunakan dalam
propaganda. Hampir 80 tahun berlalu sejak institut tersebut akhirnya
dibubarkan, tetapi ketujuh tekniknya masih kita jumpai hingga saat ini, meski
dengan keberadaan media baru, teknik tersebut sudah termodifikasi.
Propaganda adalah
strategi dan teknik persuasi untuk mengubah opini, perilaku, dan sikap
masyarakat dengan menggunakan kebohongan, tipu muslihat, dan kebencian.
Sejarah membuktikan bahwa propaganda adalah senjata yang paling ampuh untuk
memenangi perang (Harold Lasswell, 1972) dan opini publik di era modern.
Ketujuh teknik propaganda adalah: name
calling, glittering generality, transfer device, testimonials, plain folks,
card stacking, dan band wagon.
Name calling adalah
teknik memberikan julukan buruk untuk sebuah ide, organisasi, ataupun
seseorang yang menjadi pihak lawan untuk membuat publik kemudian membencinya.
Glittering generality adalah teknik
penggunaan kata-kata indah dan mengesankan, untuk menunjukkan kehebatan dan
kebajikan sebuah pihak, organisasi, ataupun ide, untuk mendapatkan dukungan
dan penerimaan publik.
Transfer device
digunakan saat menghubungkan aksi propagandis dengan tujuan mulia yang lebih
besar, misalnya untuk demokrasi, nasionalisme, dan kesejahteraan bangsa.
Teknik testimonial menggunakan suara orang penting dan terkenal untuk
memberikan kesan dan dukungan kepada ide propagandis.
Plain folks adalah teknik di mana propagandis membenarkan ide dan aksinya
atas dasar untuk kepentingan orang banyak. Teknik card stacking menggunakan sebagian dari fakta yang ada kemudian
dipelintir agar meyakinkan masyarakat. Terakhir, band wagon adalah teknik agar masyarakat mendukung ide dan
bergabung dalam aksi mereka.
Propaganda di media sosial
Pada media sosial hari
ini, ketujuh teknik tersebut dapat dijumpai mulai dari kampanye politik,
kampanye pemasaran dan brand, hingga kampanye sosial dan kesehatan. Teknik name calling dan glittering generality tidak banyak berubah. Cukup mengejutkan
bahkan karena julukan buruk untuk pihak lawan yang banyak digunakan di era
Perang Dunia II, seperti ’Yahudi’, ’Komunis’ , ’Liberal’, ’Ateis’, dan
’Radikal’, ternyata masih muncul dalam propaganda di media baru.
Teknik glittering generality muncul dengan
penggunaan tujuan mulia demi ’Demokrasi’, Patriotisme’, ’Kesehatan’, dan
’Cinta’. Teknik transfer device
juga masih terdapat dan dipermudah dengan keberadaan media sosial seperti
Facebook. Seorang propagandis, misalnya, membuat akun khusus di Facebook dan
mengajak massa bergabung untuk aksi tertentu di group/fanpage atau menulis
pesan dan menyebarkan pesan. Propagandis biasanya menyebarkan pesan untuk
melegitimasi tujuan mereka sebagai bagian dari aksi masyarakat, organisasi,
atau bahkan misi kebangsaan.
Teknik testimonial
kini tak lagi mengandalkan otoritas atau orang terkenal. Di media sosial,
testimonial dapat diberikan oleh siapa saja dalam jaringan kita, bisa jadi
keluarga, teman, kolega, atau orang yang baru saja kita kenal. Persuasi
dengan teknik testimonials di media sosial lebih sulit untuk dihindari dan
ditolak karena disebarkan oleh teman dekat atau keluarga, yang jika kita
konfrontasi dapat berpotensi merusak hubungan personal yang sudah ada.
Modifikasi teknik plain folks
dilakukan dengan menggunakan akun dan followers
palsu untuk menciptakan dan menyebarkan pesan sehingga terlihat populer,
menjadi viral, atau bahkan trending
topic. James Webster (2014) dalam bukunya, The Marketplace of Attention, mengatakan, atensi di media baru
diciptakan oleh pesan itu sendiri dan oleh struktur.
Para akun dan
followers palsu dibuat untuk menciptakan struktur yang nantinya akan diklaim
oleh propagandis sebagai ”dukungan publik”. Pada kampanye pilpres dan juga
pilkada yang lalu, para kandidat yang bertarung menggunakan ”pasukan media
sosial” untuk menciptakan trending topic di Twitter.
Sering kali, isu yang
menjadi tren tidak jelas, tetapi mendapatkan perhatian besar dari masyarakat
semata-mata hanya karena sedang ”tren”. Kemudian para politisi akan mengklaim
bahwa mereka mendapatkan dukungan publik dengan mengacu ke media sosial.
Selanjutnya, teknik
card stacking yang merupakan teknik yang paling banyak digunakan di media
sosial. Internet menyediakan sumber informasi yang tak terbatas, beragam, dan
gratis, meski tidak semuanya benar atau sudah dipelintir. Bagi kebanyakan
orang, media sosial adalah tempat di mana mereka ikut menyebarkan pesan tanpa
mengecek kebenarannya lebih dulu. Banyak yang ikut menyebarkan tautan,
gambar, video, dan berita, bahkan tanpa membaca atau menontonnya lebih dulu.
Modifikasi lain dari
teknik ini adalah menggunakan data statistik atau angka yang menyesatkan.
Angka-angka atau data statistik sering kali disingkat dan dibuat grafis yang
menarik, tanpa ada penjelasan mengenai metode riset atau polling dan
validitasnya. Teknik band wagon
modifikasi dengan penggunaan akun palsu untuk menciptakan viral. Selain itu, persuasi untuk
bergabung dengan massa dinyatakan dengan pesan ajakan memberi jempol dan
memantulkannya di jaringan pribadi. Kata-kata seperti like, pesan ini jika Anda peduli atau ”bagikan ini dan lihatlah
keajaiban dari Tuhan dalam hidupmu setelah membagi informasi ini” biasanya
dijumpai pada teknik band wagon.
Pada akhirnya, ketujuh
teknik propaganda di era Perang Dunia II masih terdapat di media sosial saat
ini. Selain ketujuh teknik tadi, karakteristik media sosial— seperti
interaktivitas, multimedia, dan keterhubungan—membuat propaganda saat ini berbeda
dengan propaganda era Perang Dunia II yang mengandalkan media massa.
Jaringan di media
sosial dapat meningkatkan jumlah media untuk menyebarkan pesan dengan biaya
lebih murah. Interaktivitas melalui menu komentar memberikan ruang lebih luas
bagi propaganda. Jangan lupa, pesan bukan semata status atau tweet yang
seseorang tulis, tetapi diskusi di menu komen juga menjadi bagian dari sebuah
pesan.
Karakter multimedia
memberikan ruang lebih bagi visual dan lebih sedikit untuk pesan tertulis,
yang nantinya membuka ruang untuk pengaburan fakta dan pesan, sehingga lebih
mudah menciptakan dan menyebarkan kebencian pada pihak lawan. Media sosial
dengan ruang lebih sempit, seperti Twitter, berpotensi digunakan untuk
mengirim pesan yang singkat, kuat, berwarna, dan mengesankan untuk
mendapatkan atensi penggunanya.
Meski kehadiran
propagandis tak mudah dideteksi dan selalu ada, kita masih bisa menghindari
untuk tak terjebak di dalam propaganda mereka. Caranya adalah dengan tidak
mudah menghakimi dan memberi label pada sebuah ide, seseorang, atau
organisasi. Jadilah orang yang awas dengan prasangka diri sendiri.
Jangan mudah memberi
penilaian terhadap sesuatu hingga kita mendapatkan informasi yang lebih
lengkap dan dapat menganalisisnya dengan lebih baik. Berpikirlah dua, tiga,
empat, lima kali sebelum menyebarkan sebuah pesan di media sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar