Momentum Konsolidasi Partai Politik
W Riawan Tjandra ;
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN SINDO, 23 Maret
2016
Friksi yang sempat melanda beberapa partai politik (parpol) tak
urung menguji kesahihan kedudukan parpol yang mendapat kepercayaan sangat
besar dalam UUD Negara RI 1945. parpol dalam konstitusi diletakkan sebagai
satu-satunya pintu masuk bagi pencalonan presiden dan wakil presiden.
Demikian pula, hanya melalui parpol-lah, rakyat bisa memilih
wakil-wakilnya yang duduk di tubuh lembaga parlemen untuk mewakili
aspirasinya. Di sisi lain, wacana yang bernuansa deparpolisasi juga
ahistoris, karena salah satu buah reformasi mahasiswa 1998 adalah
pengembalian fungsi dan peranan parpol dalam sistem ketatanegaraan sebagai
upaya pengembalian demokrasi pascapemerintahan otoriter di bawah cengkeraman
rezim Orba.
Dengan posisi parpol tersebut, yang di kala reformasi diinginkan
menjadi kanalisasi pluralitas aspirasi ideologis rakyat, parpol tak lagi
sekadar hanya diposisikan sebagai infrastruktur politik. Namun, layak
dikategorikan sebagai elemen suprastruktur politik di samping
institusi-institusi Trias Politica (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
Friksi yang dialami oleh beberapa parpol tak harus diteropong sebagai sebuah
fase penurunan kredibilitas demokrasi parpol.
Namun, justru harus diletakkan sebagian bagian dari transformasi
demokrasi yang semakin menuju kematangan sekaligus sebagai tahapan
konsolidasi parpol. Memang harus diakui bahwa terdapat beberapa dimensi
esensial dalam kerangka institusionalisasi sistem kepartaian, yaitu:
stabilitas dalam kompetisi eksternal maupun internal parpol, Partai harus
memiliki akar yang stabil di masyarakat, legitimasi parpol dan pemilu, serta
aturan dan struktur yang stabil.
Derajat institusionalisasi parpol juga dapat digunakan untuk
menentukan kualitas konsolidasi demokrasi dalam tubuh parpol. Jika meminjam
analisis dari Larry Diamond (2003), konsolidasi parpol dapat terlaksana
manakala mayoritas rakyat dan elemen-elemen dalam tubuh parpol tersebut
meyakini kesahihan aturan main dalam tubuh parpol dan kedudukan penting
parpol dalam sistem demokrasi konstitusional.
Friksi yang terjadi dalam tubuh parpol sejatinya lebih banyak
melanda di tubuh elite parpol dan tak begitu signifikan berimbas di kalangan
akar rumput. Maka, sejatinya ruang untuk dapat dilakukan konsolidasi
demokrasi di internal parpol masih sangat terbuka. Tak terlihat adanya friksi
ideologis dalam tubuh parpol yang mengalami krisis kelembagaan yang
berimplikasi terbentuknya sub-sub ideologi di kalangan elite yang bertikai.
Tak dapat dimungkiri pula, bahwa kerja sebuah parpol masih
sangat ditentukan oleh subjek-subjek yang menjadi pendukung struktur
organisasi parpol. Dalam pandangan Jacques Lacan (1989), subjek hanya dapat
dikatakan sebagai subyek dengan menerima kenyataan bahwa seluruh rangkaian
tindakannya didasari oleh hasrat. Keterpecahan dan disintegrasi merupakan
kondisi ontologis subyek secara konstitutif.
Dengan demikian, sebagai institusi masyarakat harus pula diakui
bahwa parpol tak dapat dibentuk secara total, karena didukung oleh
subjek-subjek yang menopang struktur dan fungsi parpol. Tak terhindarkan
terjadinya kondisi retak, berubah dan mengalami disintegrasi. Namun, manakala
kondisi keretakan, perubahan maupun disintegrasi tak terjadi di ranah
struktur ideologis parpol, ruang dan peluang untuk merekatkan kembali
keretakan di tubuh parpol akibat friksi elitis yang dialami institusi parpol
selalu terbuka lebar.
Keluar dari tubuh parpol yang bertikai dan membentuk institusi
parpol baru tak selalu menjadi jalan keluar yang baik, manakala di institusi
baru tersebut hanya menduplikasi struktur dan pola lama dari parpol yang
ditinggalkan.
Pasal 10 ayat 1 dan 2 Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
mengatur tujuan umum dan tujuan khusus partai politik. Adapun tujuan umum
parpol dalam UU Parpol meliputi:
(1). Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; (2). Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (3). Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila
dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia; dan (4). Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adapun tujuan khusus dari parpol adalah: (1). untuk meningkatkan
partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan
kegiatan politik dan pemerintahan; (2) memperjuangkan cita-cita partai
politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; serta (3)
membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Tujuan dari eksistensi parpol sebagaimana digariskan dalam UU
Parpol tersebut harus dilaksanakan melalui fungsi parpol yang semakin mampu
menjadi kanal aspirasi rakyat pemilihnya dan sekaligus mampu menjembatani
beragam kepentingan negara dan rakyat.
Dwight Y King pernah menyatakan bahwa peran utama parpol terbagi
menjadi tiga macam, yaitu: (1). Memberikan jembatan institusional antara
warga negara dan pemerintah; (2). Menggodok dan menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang ditawarkan kepada rakyat pemilih dan untuk
dilaksanakan oleh pemerintah hasil pemilu; dan (3) Jalur bagi proses
kaderisasi dan seleksi politisi untuk mengisi jabatan publik.
Sementara itu, James Rosnau lebih menekankan pada fungsi parpol
sebagai sarana penghubung antara berbagai macam kepentingan dalam suatu
sistem politik. Dalam hal ini, menurutnya ada dua peranan penting parpol
dalam linkage politik, yaitu pertama, sebagai institusi yang berfungsi
penetratif (penetrative linkage/hubungan erat), dalam arti sebagai lembaga
yang ikut memainkan peranan dalam proses pembentukan kebijakan negara. Dan
kedua, sebagai ”reactive linkage (hubungan interaksi),” yaitu lembaga yang
melakukan reaksi atas kebijakan yang dikeluarkan oleh negara.
Parpol tak boleh menjadi institusi yang justru menjadi arena
terjadinya dehumanisasi dan alienasi terhadap para subyek di dalamnya.
Kembali berkaca pada analisis Larry Diamond, terdapat korelasi yang erat
antara konsolidasi demokrasi di tubuh parpol dan penguatan serta perbaikan
demokrasi di tubuh parpol.
Pola institusionalisasi parpol dalam kerangka demokrasi
konstitusional yang dibangun harus terus dilakukan untuk mencapai tingkat
kematangan politik yang tinggi dalam tubuh parpol. Institusionalisasi parpol
yang menjadi prasyarat untuk melaksanakan konsolidasi demokrasi dalam tubuh
parpol merupakan proses pemantapan baik secara struktural dalam rangka
memolakan perilaku maupun secara kultural dalam memolakan sikap dan
kultur-politik di tubuh parpol.
Dalam tataran kehidupan demokrasi yang lebih luas, friksi yang
terjadi di tubuh parpol dapat dijadikan momentum untuk mengonsolidasikan
relasi struktural antara parpol dengan parlemen, relasi konstituensi parpol
dengan pemilih dan relasi parpol dengan ideologi yang diyakini sebagai
fondasi kultural parpol.
Kegagalan dalam memaknai momentum ini akan berujung pada
delegitimasi dan pembusukan parpol dari dalam tubuhnya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar