Sembilan Garis Putus Tiongkok
Hikmahanto Juwana ;
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 30 Maret
2016
Kejadian kapal penjaga pantai Tiongkok yang membenturkan diri
pada kapal berbendera Tiongkok yang sedang ditarik oleh kapal Kementerian
Kelautan dan Perikanan—karena diduga melakukan penangkapan ikan yang tidak
sah (illegal fishing) di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia pada Sabtu, 19 Maret lalu—tidak bisa dianggap
suatu peristiwa ringan.
Di samping tindakan penjaga pantai Tiongkok yang tidak
menghormati penegakan hukum yang dilakukan oleh otoritas Indonesia di wilayah
hak berdaulat (sovereign right)
Indonesia, tindakan penjaga pantai Tiongkok tersebut juga mengindikasikan
penegasan Tiongkok atas klaim Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line) terhadap
Indonesia.
Klaim Tiongkok
Pemerintah Tiongkok telah lama mengklaim Sembilan Garis Putus
yang berada di tengah laut dan menjorok masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI). Klaim ini didasarkan pada alasan historis yang secara hukum
internasional tidak memiliki dasar.Sembilan Garis Putus ini pun sebenarnya
tidak jelas koordinatnya, bahkan Pemerintah Tiongkok kadang menyebutnya
sembilan, sepuluh, bahkan sebelas garis putus.
Sembilan Garis Putus ini bertumpang tindih dengan ZEEI. Ini pun
yang tersurat dalam pernyataan resmi Pemerintah Tiongkok menanggapi insiden
di Natuna. Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa nelayan Tiongkok tidak
seharusnya ditangkap oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan karena mereka
melakukan penangkapan ikan di zona penangkapan ikan tradisional (Traditional Fishing Grounds) Tiongkok.
Padahal, konsep Traditional
Fishing Grounds tidak dikenal dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut
Internasional 1982 (UNCLOS) di mana Tiongkok dan Indonesia adalah negara
anggota. Dalam konvensi yang dikenal adalah konsep Traditional Fishing Rights
(bukan Grounds) sebagaimana diatur
dalam Pasal 51 UNCLOS.Menurut ketentuan Pasal 51 keberadaan Traditional Fishing Rights harus
didasarkan pada perjanjian bilateral.
Hingga saat ini Indonesia hanya memiliki perjanjian bilateral
terkait Traditional Fishing Rights
dengan Malaysia.
Lalu apa yang menjadi dasar bagi Traditional Fishing Grounds? Dasarnya tidak lain adalah klaim
Sembilan Garis Putus.
Pemerintah Indonesia sejak lama, saat Ali Alatas menjabat
Menteri Luar Negeri, mempertanyakan kepada Pemerintah Tiongkok apa yang
dimaksud dengan Sembilan Garis Putus. Namun, hingga saat ini jawaban atas
pertanyaan tersebut belum pernah diberikan oleh Pemerintah Tiongkok.Bahkan Presiden
Joko Widodo pada saat berada di Jepang hendak berkunjung ke Tiongkok
(22/3/2015) menyatakan bahwa Tiongkok tidak memiliki dasar hukum
internasional apa pun atas Sembilan Garis Putus.
Bila masalah di Natuna muncul, Pemerintah Tiongkok selalu
menegaskan bahwa Tiongkok tidak memiliki sengketa dengan Indonesia berkaitan
dengan kedaulatan Indonesia.
Memang pernyataan Pemerintah Tiongkok tidak salah. Indonesia dan
Tiongkok benar tidak mempunyai sengketa kedaulatan (sovereignty). Sembilan Garis Putus tidak menjorok hingga laut
teritorial Indonesia. Namun, bila berbicara di wilayah hak berdaulat, yaitu sovereign rights, bukan sovereignty, baik di ZEEI maupun
landas kontinen, maka Sembilan Garis Putus bertumpang tindih. Karena
bertumpang tindih, Indonesia memiliki sengketa wilayah laut dengan Tiongkok.
Dalam hukum laut internasional dibedakan antara sovereignty dengan sovereign rights. Sovereignty merujuk
pada konsep kedaulatan yang di laut disebut Laut Teritorial (Territorial
Sea). Sementara sovereign rights bukanlah
kedaulatan. Sovereign rights
memberikan negara pantai untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam
di wilayah laut lepas tertentu (zona ekonomi eksklusif) atau yang berada di
bawah dasar laut (landas kontinen).
Menghindar
Menjadi pertanyaan mengapa Tiongkok terus menghindar dan tidak
mau secara tegas menyatakan bahwa mereka memiliki sengketa wilayah laut
dengan Indonesia?
Tentu banyak dugaan apa yang menjadi alasan. Salah satunya,
Tiongkok tidak ingin menambah musuh dalam konflik Laut Tiongkok Selatan.
Terlebih lagi posisi Indonesia sebagai mediator yang jujur yang banyak
menginisiasi dialog antara Tiongkok dengan negara-negara pengklaim di
Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.Alasan lain, bila Tiongkok
mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan Sembilan Garis Putus, ini berarti
hampir seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan akan diklaim oleh Tiongkok.
Indonesia tentu tidak boleh bersikap naif atas Sembilan Garis
Putus. Indonesia tidak boleh menyimpan bahkan mengabaikan konsekuensi dari
Sembilan Garis Putus Tiongkok.Indonesia harus bersikap tegas. Indonesia harus
tidak mengakui konsep Traditional Fishing Grounds Tiongkok yang berarti tidak
mengakui Sembilan Garis Putus.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah
tepat melakukan protes diplomatik atas insiden di Natuna. Protes tidak
sekadar ditujukan karena tindakan dari penjaga pantai Tiongkok yang tidak
mendukung Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan tanpa izin
di ZEEI, tetapi juga dalam rangka protes atas hendak ditegaskannya Sembilan
Garis Putus oleh Pemerintah Tiongkok yang disamarkan sebagai Traditional
Fishing Grounds.
Bila Pemerintah Tiongkok tidak mengindahkan protes Pemerintah
Indonesia dan terus mengulang tindakannya, Indonesia dapat melakukan evaluasi
atas keberadaannya sebagai mediator yang jujur di konflik Laut Tiongkok
Selatan. Indonesia harus berani menyatakan diri sebagai negara yang
bersengketa dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, seperti Filipina,
Vietnam, Malaysia, dan Brunei.
Bila perlu pemerintahan Jokowi melakukan evaluasi kerja sama
ekonomi, khususnya pembangunan infrastruktur, antara Tiongkok dan Indonesia.
Kedekatan secara ekonomi dengan Tiongkok perlu segera diakhiri.Bagi Indonesia
masalah ini tidak seharusnya hanya masalah Kementerian Kelautan dan
Perikanan, tetapi juga masalah bagi Kementerian Pertahanan dan TNI, khususnya
TNI Angkatan Laut.
Jangan sampai Indonesia dimanfaatkan oleh Tiongkok sebagai
mediator yang jujur dalam konflik Laut Tiongkok Selatan, tetapi di saat yang
bersamaan kepentingan Indonesia di Laut Natuna dirugikan. Negeri ini bukanlah
negeri yang terdiri dari orang-orang yang bodoh yang mudah dimanfaatkan dan
dirugikan kepentingannya oleh negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar