Efektivitas Amnesti Pajak
Gunadi ;
Guru Besar Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 26 Maret
2016
Dalam artikel di Kompas, 3 Maret 2016, Andreas Lako khawatir
niat baik kebijakan amnesti pajak pemerintah tidak efektif dan justru menjadi
bumerang. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut keefektifan atau kemangkusan
suatu kebijakan dapat membawa hasil, sedangkan pengampunan merupakan
pembebasan dari hukuman atau tuntutan.
Amnesti pajak merupakan pembebasan sanksi atau tuntutan pajak,
dapat berupa pokok pajak dan sanksinya seperti bunga, denda, dan kenaikan.
Keefektifan amnesti pajak dapat diukur dari keberhasilan menambah penerimaan
pajak Rp 60 triliun- Rp 100 triliun (Kontan, 29/2). Pembebasan dapat
diberikan atas sanksi administrasi (bunga, denda, atau kenaikan) atau pidana
(kurungan/penjara dan denda 200-400 persen).
Pembebasan sanksi dapat semuanya atau sebagian (hanya pidana
atau administrasinya saja). Sanksi administrasi pun dapat bebas sebagian
saja. Dalam tahun 2015 pemerintah telah dua kali membebaskan sanksi
administrasi pajak.
Pertama, pembebasan bunga penagihan lewat peraturan menteri
keuangan, yakni PMK-29/PMK.03/2015 tanggal 13 Februari 2015. Dengan pelunasan
utang, diharapkan tidak ada lagi tunggakan pajak. Kedua, pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi atas kelambatan penyampaian surat
pemberitahuan (SPT), pembetulan SPT, dan kelambatan pembayaran atau
penyetoran pajak dengan PMK-91/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015. Kedua
kebijakan itu merupakan amnesti pajak terbatas pada sanksi.
Tujuan kebijakan penghapusan bunga penagihan adalah mendorong
wajib pajak melunasi utang pajak dan meningkatkan penerimaan negara.
Sementara itu, tujuan kebijakan pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi atas keterlambatan dan pembetulan SPT adalah pembinaan wajib
pajak berupa dorongan penyampaian SPT, membayar, atau menyetorkan kekurangan
bayar pajak dalam SPT, membetulkan SPT 2015, dan meningkatkan penerimaan
pajak, serta membangun basis perpajakan yang kuat.
Dalam tahun 2008, berdasarkan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Ketentuan Umum Perpajakan (UUKUP) juga
pernah dilakukan pengampunan sanksi pajak atas pembetulan SPT yang disebut
sunset policy. Karena dirasa berhasil menambah penerimaan pajak (Rp 7,5
triliun) sehingga penerimaan 2008 surplus, kebijakan diperpanjang sampai
akhir Februari 2009.
Berbeda dengan sunset policy yang dievaluasi keefektifannya,
kebijakan PMK-29/2015 dan PMK-91/2015 rasanya belum ada pemberitaan
pemerintah tentang keberhasilan pencapaian tujuannya, yaitu (i) lunasnya
utang pajak dan penurunan tunggakan; (ii) peningkatan penerimaan; (iii)
pembinaan WP menyampaikan SPT; (iv) membayar atau menyetor kekurangan bayar
pajak dalam SPT; (v) pembetulan SPT 2015; dan (vi) penguatan basis
perpajakan.
Enam tujuan
Sebetulnya sebelum menginisiasi amnesti pajak yang lain
(pembebasan pokok dan semua sanksi pajak dan diganti dengan uang tebusan dari
harta), untuk meyakinkan apakah amnesti pajak itu efektif atau bahkan menjadi
bumerang (merugikan sistem pajak nasional) perlu evaluasi kedua kebijakan
dimaksud. Evaluasi keefektifan harus terbukti bahwa kedua kebijakan telah
berhasil (i) meningkatkan penerimaan 2015; (ii) mengurangi signifikan jumlah
tunggakan; (iii) lebih banyak SPT masuk di tahun 2016; (iv) melunasi
tunggakan dan menyetor kekurangan pembayaran dalam SPT; (v) pembetulan SPT
sehingga mengurangi pemeriksaan dan penyidikan; dan (vi) basis perpajakan
semakin kuat yang mampu mencegah penghindaran dan pengelakan pajak sedini
mungkin sehingga memaksimalkan kepatuhan pajak.
Kalau keenam tujuan itu belum tercapai, berarti ada hambatan
yang harus dicarikan jalan keluar dan sebagai masukan dalam inisiasi amnesti
pajak yang lebih besar nanti agar
efektif mencapai hasil yang diharapkan. Karena itu, sudah seharusnya respons
positif dilakukan atas usulan bijak Andreas agar lebih jeli dan hati- hati
dalam inisiasi amnesti pajak. Demikian juga dengan perubahan UU Perpajakan
seperti UU KUP, UU Pajak Penghasilan, dan UU Pajak Pertambahan Nilai.
Inisiasi awal semua UU itu adalah para ahli, ilmuwan, dan
praktisi reformasi perpajakan profesional di beberapa negara yang tergabung
dalam Harvard Institut for International Development. Setiap pasal UU ada
desain konsepnya dalam White Paper Policy dan berisi alternatif, analisis,
dan evaluasi.
Berdasarkan analisis dan evaluasi itu, pemerintah memilih
alternatif yang paling pas dan cocok dengan kultur dan situasi serta kondisi
Indonesia guna meningkatkan penerimaan. Apakah semua UU yang ada sudah
dilaksanakan dan diadministrasikan sebagaimana mestinya? Tanpa kehati-hatian,
kejelian, serta perhitungan akurat dan saksama, dapat saja perubahan semua UU
Pajak malah bersifat kontraproduktif pada sistem dan penerimaan pajak nasional.
Selain iktikad baik untuk meringankan beban pajak tidak patuh
masa lalu ditukar dengan harapan perilaku kepatuhan pajak lebih baik masa
datang, AP dapat dianggap sebagai pernyataan kelemahan kapasitas penegakan
hukum administrasi pajak (Matthijs Alink dan Fictor van Kommer, 2011,
Handbook on Tax Administration).
Penyebab amnesti pajak dapat besarnya tunggakan dan meluasnya
ketidakpatuhan atau dalam rangka reformasi fundamental sistem pajak. Karena
itu, pantas jika banyak orang menyebut amnesti pajak dapat menimbulkan moral
hazard.
Yang tak patuh selalu mengharapnya, sedangkan yang patuh ikut
jadi tak patuh karena merasa ada ketidakadilan perlakuan. Belum suksesnya
amnesti pajak parsial yang sudah dilaksanakan mungkin karena belum ada basis
perpajakan yang kuat, seperti administrasi pajak berdasarkan teknologi
informasi (TI).
Ketiadaan data subyek dan
obyek
Karena ketiadaan data subyek dan obyek yang jadi target, amnesti
pajak hanya berdasarkan voluntary, bukan target atau obyek. Tiadanya sarana
pengawasan, apalagi pemaksaan berupa data wajib pajak, menjadikan kebijakan
amnesti pajak kurang efektif.
Di Swedia, Skandinavia, Finlandia, Denmark, Cile, Spanyol,
Perancis, Australia, Belanda, Polandia, dan Portugal, begitu memadainya TI
berbasis administrasi pajak dan komprehensifnya jejaring akses data eksternal
wajib pajak, berdasar akun pembayar pajak, kantor pajak mampu menyusun SPT
tiap wajib pajak. Akibatnya, terdapat maksimalisasi otomasi administrasi
pajak dibentuk berdasar IT pangkalan data sehingga tersedia data matching
optimal dan verifikasi kepatuhan maksimal.
Kondisi itu harus didukung (i) pelaporan komprehensif data pihak
ketiga; (ii) identifikator wajib pajak berintegritas tinggi; (iii) kerangka
hukum kompatibel; (iv) otomasi pemasok data kelas maksimal; (v) pemrosesan
data berskala besar; dan (vi) otomasi proses pemajakan dengan interaksi ke
wajib pajak minimal. Kehormatan bagi Direktur Jenderal Pajak yang baru
meletakkan dasar TI data based tax administration yang benar sehingga
peningkatan kepatuhan dapat maksimal melalui data matching dan analisis data.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar