Minggu, 27 Maret 2016

Efektivitas Amnesti Pajak

Efektivitas Amnesti Pajak

Gunadi ;  Guru Besar Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
                                                       KOMPAS, 26 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam artikel di Kompas, 3 Maret 2016, Andreas Lako khawatir niat baik kebijakan amnesti pajak pemerintah tidak efektif dan justru menjadi bumerang. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut keefektifan atau kemangkusan suatu kebijakan dapat membawa hasil, sedangkan pengampunan merupakan pembebasan dari hukuman atau tuntutan.

Amnesti pajak merupakan pembebasan sanksi atau tuntutan pajak, dapat berupa pokok pajak dan sanksinya seperti bunga, denda, dan kenaikan. Keefektifan amnesti pajak dapat diukur dari keberhasilan menambah penerimaan pajak Rp 60 triliun- Rp 100 triliun (Kontan, 29/2). Pembebasan dapat diberikan atas sanksi administrasi (bunga, denda, atau kenaikan) atau pidana (kurungan/penjara dan denda 200-400 persen).

Pembebasan sanksi dapat semuanya atau sebagian (hanya pidana atau administrasinya saja). Sanksi administrasi pun dapat bebas sebagian saja. Dalam tahun 2015 pemerintah telah dua kali membebaskan sanksi administrasi pajak.

Pertama, pembebasan bunga penagihan lewat peraturan menteri keuangan, yakni PMK-29/PMK.03/2015 tanggal 13 Februari 2015. Dengan pelunasan utang, diharapkan tidak ada lagi tunggakan pajak. Kedua, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas kelambatan penyampaian surat pemberitahuan (SPT), pembetulan SPT, dan kelambatan pembayaran atau penyetoran pajak dengan PMK-91/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015. Kedua kebijakan itu merupakan amnesti pajak terbatas pada sanksi.

Tujuan kebijakan penghapusan bunga penagihan adalah mendorong wajib pajak melunasi utang pajak dan meningkatkan penerimaan negara. Sementara itu, tujuan kebijakan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan dan pembetulan SPT adalah pembinaan wajib pajak berupa dorongan penyampaian SPT, membayar, atau menyetorkan kekurangan bayar pajak dalam SPT, membetulkan SPT 2015, dan meningkatkan penerimaan pajak, serta membangun basis perpajakan yang kuat.

Dalam tahun 2008, berdasarkan Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Ketentuan Umum Perpajakan (UUKUP) juga pernah dilakukan pengampunan sanksi pajak atas pembetulan SPT yang disebut sunset policy. Karena dirasa berhasil menambah penerimaan pajak (Rp 7,5 triliun) sehingga penerimaan 2008 surplus, kebijakan diperpanjang sampai akhir Februari 2009.

Berbeda dengan sunset policy yang dievaluasi keefektifannya, kebijakan PMK-29/2015 dan PMK-91/2015 rasanya belum ada pemberitaan pemerintah tentang keberhasilan pencapaian tujuannya, yaitu (i) lunasnya utang pajak dan penurunan tunggakan; (ii) peningkatan penerimaan; (iii) pembinaan WP menyampaikan SPT; (iv) membayar atau menyetor kekurangan bayar pajak dalam SPT; (v) pembetulan SPT 2015; dan (vi) penguatan basis perpajakan.

Enam tujuan

Sebetulnya sebelum menginisiasi amnesti pajak yang lain (pembebasan pokok dan semua sanksi pajak dan diganti dengan uang tebusan dari harta), untuk meyakinkan apakah amnesti pajak itu efektif atau bahkan menjadi bumerang (merugikan sistem pajak nasional) perlu evaluasi kedua kebijakan dimaksud. Evaluasi keefektifan harus terbukti bahwa kedua kebijakan telah berhasil (i) meningkatkan penerimaan 2015; (ii) mengurangi signifikan jumlah tunggakan; (iii) lebih banyak SPT masuk di tahun 2016; (iv) melunasi tunggakan dan menyetor kekurangan pembayaran dalam SPT; (v) pembetulan SPT sehingga mengurangi pemeriksaan dan penyidikan; dan (vi) basis perpajakan semakin kuat yang mampu mencegah penghindaran dan pengelakan pajak sedini mungkin sehingga memaksimalkan kepatuhan pajak.

Kalau keenam tujuan itu belum tercapai, berarti ada hambatan yang harus dicarikan jalan keluar dan sebagai masukan dalam inisiasi amnesti pajak yang lebih besar nanti  agar efektif mencapai hasil yang diharapkan. Karena itu, sudah seharusnya respons positif dilakukan atas usulan bijak Andreas agar lebih jeli dan hati- hati dalam inisiasi amnesti pajak. Demikian juga dengan perubahan UU Perpajakan seperti UU KUP, UU Pajak Penghasilan, dan UU Pajak Pertambahan Nilai.

Inisiasi awal semua UU itu adalah para ahli, ilmuwan, dan praktisi reformasi perpajakan profesional di beberapa negara yang tergabung dalam Harvard Institut for International Development. Setiap pasal UU ada desain konsepnya dalam White Paper Policy dan berisi alternatif, analisis, dan evaluasi.

Berdasarkan analisis dan evaluasi itu, pemerintah memilih alternatif yang paling pas dan cocok dengan kultur dan situasi serta kondisi Indonesia guna meningkatkan penerimaan. Apakah semua UU yang ada sudah dilaksanakan dan diadministrasikan sebagaimana mestinya? Tanpa kehati-hatian, kejelian, serta perhitungan akurat dan saksama, dapat saja perubahan semua UU Pajak malah bersifat kontraproduktif pada sistem dan penerimaan pajak nasional.

Selain iktikad baik untuk meringankan beban pajak tidak patuh masa lalu ditukar dengan harapan perilaku kepatuhan pajak lebih baik masa datang, AP dapat dianggap sebagai pernyataan kelemahan kapasitas penegakan hukum administrasi pajak (Matthijs Alink dan Fictor van Kommer, 2011, Handbook on Tax Administration).  Penyebab amnesti pajak dapat besarnya tunggakan dan meluasnya ketidakpatuhan atau dalam rangka reformasi fundamental sistem pajak. Karena itu, pantas jika banyak orang menyebut amnesti pajak dapat menimbulkan moral hazard.

Yang tak patuh selalu mengharapnya, sedangkan yang patuh ikut jadi tak patuh karena merasa ada ketidakadilan perlakuan. Belum suksesnya amnesti pajak parsial yang sudah dilaksanakan mungkin karena belum ada basis perpajakan yang kuat, seperti administrasi pajak berdasarkan teknologi informasi (TI).

Ketiadaan data subyek dan obyek

Karena ketiadaan data subyek dan obyek yang jadi target, amnesti pajak hanya berdasarkan voluntary, bukan target atau obyek. Tiadanya sarana pengawasan, apalagi pemaksaan berupa data wajib pajak, menjadikan kebijakan amnesti pajak kurang efektif.

Di Swedia, Skandinavia, Finlandia, Denmark, Cile, Spanyol, Perancis, Australia, Belanda, Polandia, dan Portugal, begitu memadainya TI berbasis administrasi pajak dan komprehensifnya jejaring akses data eksternal wajib pajak, berdasar akun pembayar pajak, kantor pajak mampu menyusun SPT tiap wajib pajak. Akibatnya, terdapat maksimalisasi otomasi administrasi pajak dibentuk berdasar IT pangkalan data sehingga tersedia data matching optimal dan verifikasi kepatuhan maksimal.

Kondisi itu harus didukung (i) pelaporan komprehensif data pihak ketiga; (ii) identifikator wajib pajak berintegritas tinggi; (iii) kerangka hukum kompatibel; (iv) otomasi pemasok data kelas maksimal; (v) pemrosesan data berskala besar; dan (vi) otomasi proses pemajakan dengan interaksi ke wajib pajak minimal. Kehormatan bagi Direktur Jenderal Pajak yang baru meletakkan dasar TI data based tax administration yang benar sehingga peningkatan kepatuhan dapat maksimal melalui data matching dan analisis data. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar