Ideologi dalam Kenaikan Iuran BPJS
Laksono Trisnantoro ; Departemen Kebijakan dan Manajemen
Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada
|
KOMPAS, 22 Maret
2016
Presiden baru saja
mengeluarkan Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan. Salah
satu hal yang kontroversial di dalamnya adalah kenaikan iuran. Terdapat
kritikan dari berbagai pihak bahwa masyarakat terbebani kenaikan iuran ini.
Pemerintah menegaskan, penyesuaian iuran tidak berlaku untuk semua peserta;
tetapi hanya bagi mereka yang mampu, yakni dari kategori peserta pekerja
bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja. Iuran masyarakat miskin
dan tidak mampu ditanggung pemerintah sesuai UU Badan Penyelenggaraan Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan.
Dalam konteks kenaikan
iuran ini, ideologi yang dianut pemerintah dalam Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) perlu dianalisis. Catatan pertama, pemerintah menempatkan kenaikan ini
di kelompok PBPU (non-penerima bantuan iuran [PBI] mandiri) dengan persentase
terbesar di kelompok PBPU kelas 1: dari Rp 59.500 menjadi Rp 80.000. Catatan
kedua, pemerintah tidak terlalu tinggi menaikkan PBI.
Subsidi salah sasaran
Tindakan pemerintah
ini benar karena klaim rasio PBI masih di bawah 100 persen. Utilisasi PBI
masih rendah karena berbagai faktor, termasuk akses ke pelayanan kesehatan.
Pemerintah mulai menggunakan logika adanya pagar-pagar yang membentuk
kompartemen dalam sistem BPJS Kesehatan yang single pool. Pagar-pagar ini berfungsi mengelompokkan pendapatan
dan pengeluaran bagi tiga kelompok besar anggota: PBI, pekerja penerima upah,
dan PBPU.
Dalam dua tahun
perjalanan JKN, kelompok-kelompok anggota BPJS Kesehatan ternyata berbeda
karakteristiknya. Klaim rasio kelompok PBI ada di bawah 100 persen untuk
sekitar 90 juta orang. Penggunaan pelayanan kesehatan kelompok PBI yang
miskin masih rendah. Sementara kelompok PBPU yang relatif tidak miskin dengan
tiga pilihan premi (kelas I, II, III) mempunyai penggunaan yang tinggi.
Dibandingkan PBI, jumlah kelompok ini rendah, sekitar 13 juta, tetapi rasio
klaimnya jauh lebih tinggi. Pada November 2014 pernah sampai 1.300 persen dan
saat ini diperkirakan 400-500 persen.
Karena sifat single
pool BPJS, dalam dua tahun terakhir ini diduga keras ada fenomena subsidi
salah sasaran. Dana PBI yang seharusnya untuk masyarakat miskin terpakai
untuk kelompok non-PBI. Penelitian FK-UGM di Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) pada 2014 dan 2015 menemukan dana PBI yang tidak habis terpakai karena
keterbatasan akses ke pelayanan rumah sakit. Dana PBI yang tidak terpakai di
NTT ini tetap berada di kantor pusat BPJS Kesehatan. Ada kemungkinan dana itu
digunakan di daerah lain oleh kelompok yang kekurangan.
Oleh karena itu,
pemerintah sudah benar dalam menaikkan iuran premi kelompok PBPU, terutama
premi kelas 1. Jika PBI saja yang dinaikkan tanpa perbaikan akses pelayanan
kesehatan, berarti akan terjadi subsidi salah sasaran yang semakin besar.
Pertanyaan lebih lanjut: mengapa Rp 80.000? Mengapa tidak Rp 300.000? Apakah
dengan kenaikan ini subsidi salah sasaran sudah dapat dicegah?
Di sinilah perspektif
ideologi dalam kebijakan JKN perlu dipergunakan. Apakah JKN pro masyarakat
miskin dan yang di tempat jauh, atau apakah pro masyarakat menengah ke atas
di kota-kota besar? Apakah layak dana PBI (yang tidak terpakai) diberikan ke
masyarakat tidak miskin? Apakah layak masyarakat pembeli premi BPJS PBPU yang
kelas I (masyarakat kaya) menerima dana APBN?
Patut dicatat, pajak
perorangan yang dibayar di Indonesia tidak progresif dan rendah jumlahnya.
Banyak wajib pajak yang tidak patuh membayar ataupun tidak mendaftar.
Harapan pada pemerintah
Ada beberapa hal yang
perlu dilakukan pemerintah setelah terbitnya Perpres 19/2016 agar masyarakat miskin
dan daerah sulit dapat lebih diperhatikan. Pertama, pemerintah wajib
memperbaiki ketimpangan rumah sakit dan jumlah tenaga medik yang masih sangat
besar. Tanpa penyeimbangan pemberian pelayanan, ketidakadilan antarwilayah
(ketimpangan geografis) dan antarkelompok peserta (ketimpangan sosial
ekonomi) akan terus meningkat.
Kedua, diharapkan
pemerintah menggunakan perhitungan aktuarial untuk mencegah salah subsidi
antarkelompok dan antardaerah. Perhitungan aktuarial diperlukan karena sudah
dua tahun ini kewajiban bagi seluruh masyarakat untuk menjadi anggota BPJS
belum berjalan. Andaikata wajib dengan paksaan, akan ada kesulitan karena
ketimpangan sisi penyedia pelayanan. Masyarakat yang membayar premi 80.000 di
DKI akan mendapat banyak manfaat medik sampai bedah jantung terbuka.
Sementara peserta di NTT sulit mendapatkan yang setara, kecuali harus terbang
ke Jakarta.
Ketiga, pemerintah
diharapkan menyusun kebijakan pembatasan bagi masyarakat mampu. Di atas nilai
tertentu, misal untuk penyakit katastropik di atas Rp 150 juta setahun,
peserta non-PBI yang mampu harus membayar sendiri langsung dari kantong atau
membeli asuransi kesehatan katastropik, yang dipakai hanya untuk membayar
penyakit-penyakit katastropik.
Keempat, pemerintah
memerintahkan BPJS Kesehatan untuk menjalankan kebijakan kompensasi. Dana
kenaikan PBI yang menjadi Rp 23.000 harus diarahkan ke masyarakat miskin
secara tepat sasaran. Berdasarkan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Permenkes 71/2013 (Pasal 30),
dinyatakan, ”Dalam hal di suatu daerah
belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi
kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi.
Kompensasi diberikan dalam bentuk penggantian uang tunai, pengiriman tenaga
kesehatan, dan penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.”
Dengan melakukan
usaha-usaha ini, akan terlihat lebih jelas ideologi pemerintah untuk
melindungi masyarakat miskin dan yang di daerah terpencil, serta mencegah
penggunaan dana pemerintah yang terbatas oleh masyarakat kaya dan perkotaan
secara berlebihan. Pertanyaannya adalah adakah ideologi ini dalam kebijakan
pemerintah di JKN? Apakah anggota DPR juga mempunyai ideologi ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar