Komodifikasi Politik Wong Cilik
Asep Salahudin ;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya;
Dosen LB di Fakultas Seni dan
Sastra Unpas Bandung
|
MEDIA INDONESIA,
22 Maret 2016
TENTU saja tujuan
utama Indonesia didirikan ialah untuk menyejahterakan wong cilik, kemerdekaan
yang diproklamasikan sebagai 'jembatan emas' "...untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial."
Sebagaimana
dicanangkan Soekarno dan Hatta bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan dengan
raga dan jiwa itu tujuan utamanya bukan hanya meraih kebebasan, melainkan
juga kebersamaan dan persaudaraan. Tidak sebagaimana pekik revolusi
kemerdekaan Prancis yang hanya memunculkan wabah borjuisme dan meninggalkan
rakyat tetap dalam ketidakberdayaan.
Pengalaman rasa
kebangsaan (nasionalisme) sesungguhnya telah cukup meneguhkan di mana
seharusnya posisi rakyat diletakkan. Nasionalisme keindonesiaan dibangun
justru diacukan, di samping kepada imaji kebangsaan yang menjadi kebutuhan
bersama, juga pada persamaan takdir ketertindasan oleh kaum kolonial yang
dialami khalayak.
Bahkan sepanjang garis
gerakan kemerdekaan, kaum pejuang menating 'kerakyatan' sebagai tema utama
dalam setiap naskah yang ditulisnya; dalam makalah yang dipercakapkan di
kelompok studi dengan intens dan penuh gairah, dalam setiap pidato yang
digelorakannya, dan dalam setiap artikel yang disebarkannya lewat pamflet,
koran, majalah, dan brosur.
Termasuk dalam
lembaran pembelaan yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda.
Bagaimana, misalnya,
Bung Karno di pengadilan kolonial di Bandung pada 1930 dengan terang
menyatakan, "Semua golongan kromo
(kecil), baik petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, nelayan kecil, dan
sebagainya, mereka dimelaratkan oleh imperialisme, kolonialisme, dan
kapitalisme, yang telah mematikan perdagangan, pelayaran, dan pertukangan di
Nusantara bagi kepentingan penjajah."
Tidak jauh berbeda
dengan Hatta di pengadilan Den Haag (1929). Ia membongkar seluruh dusta
kolonial lengkap dengan siasat busuknya untuk mengekalkan kekuasaan di tanah
jajahan. "Angkatan muda Indonesia
mengalami sejak dari kecil betapa mereka secara nasional dan rasial
dibelakangkan. Sudah sejak sekolah rendah mereka merasakan pukulan dari
pertentangan kolonial dan rasial. Ini bukan mereka pelajari dari buku-buku
ilmiah, ini mereka rasakan pada kulit mereka sendiri. Pada kulit mereka terasa
pertentangan tajam antara kaum kulit putih dan kaum kulit berwarna. Antara
kaum penjajah dan dijajah. Tidak ada kesempatan lewat untuk menyadarkan
mereka bahwa mereka bukanlah merupakan sebagai dari bangsa inlander
kotor."
Kesadaran partai
Tidak cukup sampai di
sana. Memanfaatkan politik etis yang diprogramkan Hindia Belanda, Indische Partij yang didirikan pada
1912 oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat
tujuan utamanya tentu bukan mengawetkan kepentingan elite dan kelompok
priayi, melainkan mempercepat Indonesia menemukan kemerdekaannya. Di belakang
gelora merdeka terhampar fantasi segenap rakyat yang bisa menghirup kebebasan
lengkap dengan kemakmuran dan kebersamaan.
Kita baca dalam Indonesia Merdeka-nya Hatta pada 1925,
protes politik yang jauh lebih garang ketimbang Sumpah Pemuda 1928 sebagaimana
sejarawan Sartono Kartodirdjo: (1) Rakyat Indonesia seharusnya diperintah oleh para pemimpin
yang dipilih mereka sendiri; (2) dalam memperjuangkannya tidak diperlukan
bantuan dari pihak mana pun, dan (3) supaya perjuangan itu tercapai,
perbedaan dari kelompok-kelompok etnik harus disatukan agar tidak mengalami
kegagalan. Protes politik yang tentu mengakibatkan pada 1927, Hatta, Abdul
Madjid, Ali Sastroamidjojo, dan Natsir Datuk Pamuntjak harus diajukan ke
pengadilan walaupun mereka pada akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti
melakukan 'makar'.
Ketika terjadi silang
pendapat antarkaum pergerakan, perbedaan itu bukan karena satu sama lain
sudah melupakan akar kerakyatannya, melainkan karena pilihan strategi yang
tidak sama. Seperti yang dialami blok Hatta-Syahrir yang mendirikan PNI Baru
yang lebih mengedepankan kaderisasi ketimbang pendidikan rakyat secara
revolusioner. Seperti dicanangan Bung Karno yang kemudian menjadi alasan Bung
Karno bikin Pertindo pada 1933, yang mengusung misi berjuang menuju
kemerdekaan di atas jalan kekuatan diri sendiri dan nonkooperasi dengan asas
marhaenisme (sosio-nasionalisme dan sosio demokrasi), dibubuhi penjelasan
lain bahwa marhaenisme adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia
yang melarat, dan kaum melarat Indonesia.
Cermin kerakyatan
Karena rakyat yang
mereka perjuangkan, menjadi tidak mengherankan saat mereka berkuasa setelah
Indonesia diproklamasikan tidak terdengar partai secara beramai-ramai
melakukan bancakan anggaran, kader partai yang terjerat korupsi, atau para
pejabat yang hidup dalam gelimang kemewahan.
Justru sejarah dengan
penuh rasa takzim mengabarkan bahwa tidak saja anggota kabinet dan perdana
menterinya, bahkan wakil presiden dan presidennya pada masa itu mengambil
sikap politik bersahaja. Zuhud dan asketis. Mereka lebih mengedepankan isi
kepala daripada sibuk memburu rente. Lebih bangga memperjuangkan gagasan yang
diyakininya dapat mempercepat kemakmuran rakyat ketimbang terus-menerus
memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Tersebutlah seorang
Hatta yang tak terbeli sepatu Bally sampai akhir hayatnya; Natsir seorang
perdana menteri dengan jas yang sobek; Agus Salim yang terus ngekos dari satu
rumah ke rumah lainnya; juga Syahrir yang berdiplomasi dengan pakaian apa
adanya; Tan Malaka sebagai yang paling fasih berbicara kemerdekaan sejak awal
tidak pernah menduduki kursi kekuasaan; serta Soekarno yang tidak mewariskan
harta melimpah kepada anak-anaknya.
Tentu hari ini wong
cilik oleh kaum politisi masih dipercakapkan bahkan bisa jadi percakapannya
lebih riuh. Namun, seperti kita saksikan bersama yang acap kali mencuat ke
permukaan, justru wong cilik atau apa pun namanya hanya menjadi komoditas
untuk kepentingan politik pragmatis semata. Wong cilik sebagai politik atas
nama.
Karena maqam wong cilik hanya sebagai
komoditas, setelah laku dijual selepas pemilu atau pilkada, dan mereka
terpilih, selesai pula urusan politik itu. Bahkan ketika wong cilik punya
pilihan berbeda dengan elite partai disebutnya penuh curiga sebagai gejala
deparpolisasi. Hari ini politik tidak lagi dijadikan alat perjuangan untuk
menumbuhkembangkan keutamaan, tapi lebih dimaknai sebagai seni mengemas
kebohongan menjadi tampak seperti kebenaran dan kebatilan seolah kesejatian.
Di pusaran pasar gelap
perpolitikan seperti ini tidak mengherankan kalau yang terjadi di negeri
kepulauan awal abad ke-21 ialah mencuatnya fenomena pencitraan dan benda yang
menjadi daulat utama. Di tikungan ini kemudian korupsi dirayakan secara
besar-besaran tanpa perasaan malu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar