Politik Hermeneutika
Tulus Sudarto ; Rohaniwan; Sementara ini tinggal di
Keuskupan Semarang
|
KOMPAS, 23 Maret
2016
Bahwa secara tekstual
teori demokrasi mendapatkan terjemahan kontekstual yang begitu khas dalam
kultur perpolitikan Indonesia, tendensi ini sekaligus mencirikan kekuatan
tafsir personal terhadap suatu sistem. Apa yang disediakan oleh sistem tidak
serta-merta diterima tanpa adanya suatu proses dialektika terlebih dahulu
secara personal.
Sosiologi politik
inilah yang luput dari sudut kekuasaan sehingga istilah yang dimunculkan
adalah deparpolisasi. Dalam khazanah politik, istilah ini tergolong baru
sekaligus otenti terkait keberadaan para relawan sebagai anti tesis terhadap
keberadaan partai politik. Bahkan, eksistensi relawan dianggap sebagai
pengkhianatan terhadap sejarah keindonesiaan yang dibangun oleh partai
politik.
Dalam cara tutur
Ricour, otentisitas istilah deparpolisasi mesti ditempatkan dalam konteks
luas. Bahwa, deparpolisasi menunjuk pada relawanisasi sebagai terminologi
politik yang tidak bisa didapati dalam alur sejarah masa lalu bangsa ini.
Keunikan ini tidak akan pernah muncul kalau hanya didasarkan pada politik
pencitraan. Meritokrasilah yang menjadi rahim kelahiran relawanisasi politik.
Fakta bahwa masyarakat
Indonesia tidak memiliki kultur otoritatif dalam kehidupan politik,
mengesahkan klaim tafsir personal untuk secara independen mengusahakan
kehidupan berbangsa (untuk level selanjutnya kehidupan bernegara) dengan cara
yang sama sekali lateral. Bahwa, kebenaran tidak lagi milik tunggal
kekuasaan.
”Locus” demokrasi
Keberadaan
relawanisasi politik mengacu pada jejak sosiologis temuan seorang
Indonesianis asal Jepang, Saya Sasaki Shiraishi. Dalam bukunya, Young Heroes: The Indonesian Family in
Politics (Cornell, 1997), Shiraishi membuktikan bahwa keluarga adalah
sintaksis masyarakat bangsa Indonesia. Karakter natural inilah yang dalam
perspektif penulis menegasikan kultur otoritatif dalan perpolitikan
Indonesia.
Dibentuk oleh
banalitas politik harian yang begitu vulgar, masyarakat Indonesia telah mampu
melampaui pelbagai standar tekstual dalam kehidupan politik. Tidak hanya
kekuasaan yang harus mengevaluasi secara terus-menerus artikulasi politik
dalam memberi tempat pada masyarakat harian. Dalam kaitan ini, utamanya
partai-partai politik sebagai mesin demokrasi pun mau tidak mau harus
berkejaran dalam konsepsi politik, tidak hanya sibuk membangun persepsi
politik.
Kecurigaan lama yang
dimunculkan adalah soal jabatan. Adanya istilah tidak ada makan siang gratis
dalam kekuasaan (no free lunch) menggempur keberadaan relawan dalam
konstelasi politik. Waktulah yang membuktikan validitas konsekuensi politik
ini. Tulisan ini tidak mengulas spekulasi tersebut.
Bahwa dialektika
politik terjadi dalam locus demokrasi yang brutal, hal ini secara diametral
menggenjot proses penyehatan demokrasi par excellence. Sesuai dengan alur
sirkular karakter sosiologis masyarakat Indonesia, hanya mereka yang
benar-benar kuat yang akan bertahan sebagai tesis, dan bukan sekadar catatan
kaki dalam halaman sejarah perpolitikan Indonesia.
Masyarakat Indonesia
memiliki DNA partikular dalam mengusahakan pelbagai cara untuk
mengartikulasikan kebutuhan politik dasariah. Lemahnya pemerintah dalam
menyokong kehidupan harian masyarakat politik, secara teoretis memaksa
masyarakat untuk mengklaim kebebasan dalam menafsir apa pun dalam cara
politik yang nonkekuasaan.
Kabar baiknya,
masyarakat Indonesia sudah sedemikian cerdas dan berani mendengarkan suaranya
sendiri. Tidak ada lagi cerita bahwa masyarakat gampang dikelabui oleh
pelbagai macam pseudo pembaharuan politik, yang ternyata hanya reaksi
bersifat spontan.
Lalu, apa gerangan
kabar buruknya? Tidak ada! Kebrutalan model demokrasi ala Indonesia tidak
pernah memiliki kabar buruk. Bukankah fleksibilitas natural masyarakat
Indonesia sudah sedemikian berurat akar, sehingga dapat luwes dalam model
demokrasi sekasar apa pun? Adagium inilah yang berlaku: siapa yang bekerja
lebih keras, merekalah yang memenangi hati masyarakat politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar