Pajak
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
KORAN TEMPO, 18 Maret
2016
CUKUP lama saya menunggu Romo Imam di
rumahnya. Dia baru datang menjelang sore dengan menenteng map kertas.
"Maaf, saya antre lama di kantor pajak. Menyerahkan SPT pajak
penghasilan, saya pikir bisa cepat seperti tahun lalu," katanya.
"Ada peraturan baru diterapkan Direktorat Pajak, nantinya semua wajib
pajak akan menyetor laporannya lewat online."
"Kalau sudah bisa menyetor online,
berarti tak perlu datang ke kantor pajak, dong," kata saya.
"Tinggal utak-atik komputer di rumah masing-masing. Asal sudah punya
e-mail dan didaftarkan di Kantor Pajak, ya, langsung bisa melaporkan SPT
pajak."
Romo Imam tertawa. Ia tetap santai dan cerah,
meski tampak capek. "Saya dengar di kota-kota besar begitu. Wajib pajak
yang sudah akrab dengan Internet tinggal mengisi laporan tahunan pajak
penghasilannya di formulir yang sudah ada. Tentu sebelumnya sudah
mendaftarkan email-nya untuk mendapatkan kode identitas. Kita yang tinggal di
kota kecil, untuk yang sekali ini tetap datang ke Kantor Pajak. Tahun depan
sudah tidak lagi."
Saya kurang jelas maksud Romo, apa bedanya
tinggal di kota besar dan kota kecil. Romo pun menjelaskan panjang-lebar.
Intinya, wajib pajak di kota kecil ini dianggap tidak akrab dengan Internet.
Ketika dia datang ke Kantor Pajak, antre dulu di bagian pendaftaran, dicatat
data wajib pajaknya. Kemudian diberikan formulir untuk memperoleh Electronic
Filing Identification Number (EFIN) ke loket khusus. Di sini antrenya lama,
karena setiap wajib pajak ditanya apa sudah punya email atau belum.
Kalau
belum, dibuatkan di sana. Kalau sudah punya, diberi tahu caranya berhubungan
ke website Direktorat Pajak, bahkan langsung dipraktekkan di sana, termasuk
mengisi setiap kolom. Bayangkan betapa lamanya untuk setiap orang.
"Padahal wajib pajak seperti kita yang sudah akrab dengan Internet kan
tinggal diberikan selebaran. Atau buat saja iklan di koran. Bukan dikursus
singkat seperti ini. Meski tinggal di kota kecil, banyak yang sudah paham
Internet," kata Romo, masih dengan nada riang.
Saya paham sekarang, tapi Romo melanjutkan,
"Ya sudahlah, ini kemajuan luar biasa, tahun depan Kantor Pajak akan
sepi, semua orang melaporkan lewat e-filing." Saya memotong,
"Memangnya Romo bayar pajak berapa? Romo kaya, ya?"
Romo kaget dengan celetukan saya. "Ini
bukan soal kaya, tetapi kewajiban kita untuk membayar pajak dari harta dan
penghasilan yang kita dapat, meskipun kecil. Pajak berkaitan dengan harta,
itu sudah pasti. Saya baru paham kenapa ada dua ratusan lebih anggota
parlemen yang belum menyetorkan laporan hartanya ke Komisi Pemberantasan
Korupsi," kata Romo.
Betul, ada 203 anggota DPR yang belum
menyetorkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara ke KPK. Tapi apa hubungan
itu dengan pajak penghasilan? Ini jawaban Romo, "Bisa jadi anggota DPR
itu curang. Kalau ia laporkan harta kekayaannya dengan benar, yang jumlahnya
besar, berakibat pada pajak penghasilannya yang juga besar. Kalau KPK
mempublikasikan harta itu ke publik, masyarakat bisa bertanya, dari mana
harta sebanyak itu? Apalagi kalau aparat penegak hukum menyelidikinya.
Ini
berbahaya buat mereka. Tetapi kalau laporan harta dibuat kecil juga
bermasalah, di ujung jabatan akan ketahuan peningkatan harta yang tak wajar.
Bisa dituduh dapat gratifikasi atau hasil korupsi."
"Tapi wajib anggota terhormat itu
melaporkan hartanya dengan jujur," kata saya. Romo langsung berkomentar,
"Jujur itu sulit, mereka memilih tidak melaporkannya, yang penting
ramai-ramai. Sayang, ini contoh buruk." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar