DKI dan Politik Identitas
Yunarto Wijaya ; Direktur Eksekutif Charta Politika
Indonesia
|
KOMPAS, 22 Maret
2016
Menjelang Pemilu
Presiden 2009, Amien Rais pernah mendorong munculnya pemimpin alternatif
dengan mengusung wacana ”Asal Bukan SBY atau Megawati”. Hal sejenis terjadi
pada 2004. Sasarannya adalah ”Asal Bukan Megawati”. Gerakan ”asal bukan si X”
(ABX) dianggap sebagian pihak sebagai kampanye negatif, tetapi tidak sedikit
juga yang mengategorikannya sebagai kampanye hitam.
Kampanye hitam
mengedepankan kabar bohong, fitnah, dan sejenisnya tentang seorang calon
kandidat politik. Konten kampanye hitam tidak berbasis fakta dan umumnya juga
tidak jelas pelakunya. Kampanye hitam membuat persaingan politik menjadi
tercemar karena pemilih disodori informasi palsu yang menyesatkan. Kampanye
hitam tumbuh subur manakala politik identitas menjadi jualan utama dalam
berkampanye.
Sebaliknya, kampanye
negatif bersoal tentang rekam jejak atau informasi tersembunyi tentang
seorang calon kandidat politik. Termasuk di dalamnya mempertanyakan berbagai
hal yang dinilai masih simpang-siur tentang latar belakang, keterlibatan
pihak lain, dan atau posisi berdiri si calon kandidat politik pada berbagai
isu kebijakan. Kampanye negatif bukan sesuatu yang tabu atau terlarang.
Bahkan, justru bisa memberikan kontribusi yang positif bagi pemilih untuk
lebih mengenali karakter dan posisi berdiri pada kandidat politik yang tengah
berkompetisi.
Gerakan ABX sangat
kental semangat negasinya. Dari sudut pandang perilaku pemilih, gerakan ini
mendorong pemilih untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja petahana, tetapi
dengan framing yang sudah
ditentukan, yaitu: petahana sudah pasti buruk dan karenanya harus
disingkirkan. Pertimbangan retrospeksi seperti ini menghendaki pemilih tidak
usah terlalu menimbang-nimbang kualitas calon penggantinya karena tujuan
pokoknya adalah menghukum petahana.
Zona nyaman
Jakarta Tanpa Ahok
(JTA) yang mulai mengemuka akhir-akhir ini dapat dikatakan merupakan variasi
dari ABX. Ia digulirkan dengan menempatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
sebagai sang ”sumber malapetaka” yang berbahaya bagi Jakarta, sekurang-kurang
dari sudut pandang para penggagasnya.
Sebagai sebuah
ekspresi politik, JTA sah adanya sebagaimana juga gerakan Teman Ahok.
Eskalasi keduanya tak ayal akan mempertajam polarisasi dukungan di
tengah-tengah masyarakat. Namun, sebelum mencapai itu, terutama JTA, harus
terlebih dahulu mencapai titik kritis agar bisa bergulir bak bola salju jadi
sikap politik mayoritas warga Jakarta. Dalam istilahnya Malcolm Gladwell, JTA
belum mencapai tippingpoint-nya.
Oleh karena itu, JTA
harus keluar dari zona nyamannya sendiri. Politik identitas yang menjadi
penyangga utama gerakan ini memang memberikan fondasi awal berupa para
pengikut yang militan. Politik identitas dengan mudah membelah antara ”kita”
dengan ”mereka”. Pembelahan ini berimplikasi pada cara meresepsi pesan.
Pesan yang diutamakan
adalah pesan yang konvergen dengan apa yang ingin dipercayai pengikutnya.
Jika ada pesan yang berpotensi melemahkan gerakan ini, taktik komunikasi
standarnya adalah menyangkal dan atau merasionalisasinya. Sebagai
konsekuensinya, JTA akan sulit menjangkau lapisan pemilih yang jumlahnya jauh
lebih luas dan tidak mudah terpikat dengan politik identitas.
Salah satu cara keluar
dari zona nyaman ini adalah mulai mengarahkan pemilih di Jakarta untuk
melakukan penilaian yang bersifat prospektif. Ini berarti menggelontorkan
alternatif isu-isu kebijakan dalam pembangunan Jakarta, sekurang-kurangnya
untuk lima tahun ke depan. Politik identitas, bagaimanapun, mendorong
peluberan informasi yang asimetris.
Untuk memersuasi
publik yang lebih luas, JTA tak terhindarkan harus mengonfrontasikan beberapa
terobosan penting yang sudah dilakukan Ahok. Dengan cara itu, publik yang tak
terpikat dengan politik identitas dapat melakukan revaluasi ulang terhadap
para penantang Ahok. Jika tidak, para penantang Ahok ibaratnya sekadar
berburu di ”kebun binatang” karena memersuasi pemilih yang memang sudah pasti
tidak akan memilih Ahok.
Meski masih sporadis,
para penantang Ahok, yang kerap diasosiasikan menjadi bagian dari JTA, sudah
mulai menawarkan wacana tandingan tentang Jakarta ke depan. Yusril Ihza
Mahendra, umpamanya, melontarkan gagasan untuk melikuidasi Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta yang untuk selanjutnya menjadikan Jakarta sebagai daerah
khusus yang dipimpin pejabat setingkat menteri. Sebelumnya, Marco
Kusumawijaya mengasongkan gagasan pembangunan Jakarta yang lebih mengadopsi
paradigma ekologis.
Merupakan hadiah yang
berharga bagi warga Jakarta jika kampanye politik terkait Pemilihan Gubernur
DKI Jakarta 2017 mendatang semakin diwarnai pertukaran gagasan tentang
bagaimana Jakarta ke depan. Pemilih akan mempunyai bekal keberagaman
informasi dalam menilai kandidat yang pantas mengemban amanah mengelola
Jakarta ke depan. Dengan kata lain, pemilih terdorong untuk tidak sekadar
melakukan evaluasi, tetapi juga melakukan proyeksi. Salah satu proyeksi yang
penting adalah mempertimbangkan keberlanjutan pencapaian sementara Ahok.
Pencapaian Ahok
Dalam masa
kepemimpinannya yang masih kurang dari tiga tahun ini, berbagai terobosan
kebijakan yang sudah digulirkannya harus diakui memberikan warna yang
berbeda, tetapi sekaligus juga menghadirkan polemik di tengah-tengah
masyarakat. Sebagian kebijakan yang dijalankannya saat ini, seperti MRT dan
normalisasi sungai, merupakan warisan dari gubernur terdahulu baik Jokowi
maupun Fauzi Bowo. Gaya kepemimpinannya yang berbeda memberikan warna
tersendiri pada program-program warisan ini.
Pencapaian sementara yang
khas Ahok harus diakui juga ada. Meminjam judul lagu Iwan Fals, pencapaian
itu terwakili dengan kata: ”bongkar!”. Bongkar di sini bukan dalam artian
fisik, tetapi dalam pengertian mendobrak yang selama ini nyaris dianggap
normal atau tidak tersentuh. Ada beberapa jejak yang dapat menjadi contoh
seperti berikut ini.
Pertama, Ahok
membongkar zona nyaman di kalangan birokrasi Pemprov DKI Jakarta. Dengan
beragam manuvernya, para birokrat dipaksa mengubah diri dan lebih
berorientasi melayani warga. Perbaikan pelayanan ini mulai dirasakan warga di
tingkatan akar rumput meski harus diakui masih jauh dari sempurna.
Terkait itu, kedua,
pada saat yang bersamaan Ahok mulai berhasil menanamkan benih-benih warga
yang berdaya yang tak lagi mau berdiam diri jika diperdaya birokrasi. Warga
mempunyai senjata andalan melapor langsung ke Ahok via saluran pesan pendek
(SMS). Bagi birokrasi, pelaporan warga menjadi momok tersendiri karena
ancaman mutasi dan bahkan yang lebih berat segera menanti. Meski masih
terdengar adanya aparat birokrasi yang bersikap tercela, kini warga merasa
lebih berdaya, dan karenanya dorongan partisipasi mulai mengalir.
Ketiga, pengembangan
e-budgeting dalam proses penyusunan dan tata kelola Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah DKI Jakarta niscaya menjadi terobosan penting lainnya yang
perlu dicermati dan sekaligus diapresiasi. Implementasi ini tidak saja
membuat birokrasi dan rekanan di pemprov menjadi blingsatan, tetapi juga
konon membuat oknum di DPRD jadi uring-uringan. E-budgeting ini tak sekadar
bisa mengamankan uang pajak yang dipungut dari rakyat, tetapi juga
meningkatkan kebermanfaatan program. Salah satunya, terkait terungkapnya
manipulasi banyaknya nama-nama fiktif sebagai orang yang dipekerjakan Pemprov
DKI Jakarta dalam menangani urusan kebersihan selama ini.
Keempat, Ahok memiliki
keberanian tersendiri untuk berhadapan dengan warga. Meski caranya dikritik
kurang persuasif, Ahok boleh dibilang berhasil melakukan penataan terhadap
kawasan-kawasan yang tak sesuai peruntukan, tetapi sekaligus menawarkan
solusi bagi warga yang terkena dampak. Ketidakpuasan jelas ada, tetapi tak
bisa dimungkiri di tangan Ahok-lah hal yang dulunya dianggap mustahil seperti
ini bisa dilakukan.
Penerimaan publik
Jika kembali terpilih,
Ahok dipastikan melanjutkan pembenahan yang sudah dilakukannya. Namun, tanpa
Ahok bukan berarti Jakarta bakal menjadi kota mati. Jakarta terlalu besar
untuk menggantungkan asanya hanya kepada seorang tokoh.
Tantangan bagi
penantang Ahok adalah memberikan kepastian bahwa di bawah kepemimpinan mereka
”pembongkaran” terhadap birokrasi dan perlawanan tanpa kompromi terhadap
praktik korupsi yang sudah menahun tidak bakal berhenti. Dengan demikian,
transformasi pelayanan publik semakin bergulir dengan cepat. Pencapaian Ahok
ini menjadi khas untuk dirinya justru karena pendekatannya yang konfrontatif
dan tanpa tedeng aling-aling. Ahok menolak berkompromi meski menyadari hal
itu merugikannya secara politis.
Sejauh ini, publik
masih memberikan afirmasi terhadap pilihan sikap dan kebijakan Ahok dalam
mengelola Jakarta. Ini terlihat dari paparan sejumlah survei yang menunjukkan
masih tingginya political approval
terhadap Ahok di tengah-tengah makin gencarnya kampanye negatif terhadap
dirinya. Jelas sudah, butuh dari sekadar taktik politik identitas jika ingin
dalam lima tahun ke depan Jakarta tak lagi dipimpin Ahok. Sanggup? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar