Permainan Bank Sentral dan "Fund Manager"
Umar Juoro ;
Senior Fellow di Center for Information and Development Studies
(Cides) dan Habibie Center
|
KOMPAS, 26 Maret
2016
Ekonomi, baik di negara maju maupun di negara berkembang,
semakin ditentukan oleh kebijakan bank sentral dalam menurunkan suku bunga
serta tindakan fund manager, yakni ke mana mereka akan mengalokasikan dana
yang dikelolanya.
Dengan kebijakan bank sentral menetapkan suku bunga negatif di
beberapa negara maju dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar mata uang
dan menstimulasi ekonomi, sementara bank sentral AS tampaknya akan
memperlambat penaikan suku bunga, likuiditas kembali masuk ke sektor
finansial, terutama pasar modal dan obligasi, termasuk kembali ke negara berkembang.
Suku bunga negatif, antara lain, diterapkan European Central
Bank di Eropa, Bank of Japan di Jepang, dan Swiss National bank di Swiss,
serta bank sentral di Swedia dan Denmark.
Bank sentral kehabisan
amunisi
Suku bunga rendah dan bahkan negatif sejauh ini dapat
menghindarkan perekonomian negara-negara maju dari resesi dan deflasi
(inflasi negatif), tetapi belum terlihat dapat menstimulasi ekonomi riil dan
meningkatkan inflasi ke target 2 persen.
Pertumbuhan ekonomi Eropa dan terutama AS membaik sejak krisis
finansial 2008, tetapi masih diragukan apakah akan berkelanjutan. Aliran
likuiditas mendorong peningkatan harga
aset, terutama saham, di pasar modal. Namun, belakangan ini pasar modal di
negara maju mendapatkan tekanan karena ketidakpastian kebijakan bank sentral
AS, The Fed, mengenai kenaikan suku bunga dan juga keraguan terhadap
keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, ekonomi Tiongkok menghadapi masalah bukan hanya
pertumbuhannya melemah, tetapi juga koreksi gelembung (bubble) di pasar modal
dan properti serta besarnya utang baik dalam maupun luar negeri. Tambahan
lagi, kapasitas produksi sangat berlebih di Tiongkok. Imbasnya adalah tekanan
pada pasar modal dan harga properti di Hongkong dan melemahkan ekonomi rekan
dagangnya. Bahkan, beberapa hedge fund besar telah menaruh posisi akan
jatuhnya pasar keuangan Tiongkok dan depresiasi besar renminbi.
Bank sentral di negara maju dan berkembang demikian aktif dalam
menstimulasi ekonomi karena keterbatasan kebijakan fiskal dan kelembaman
sektor riil. Dengan besarnya likuiditas di pasar keuangan, korelasi beberapa
variabel ekonomi yang sebelumnya menjadi pegangan penentu kebijakan dan
pelaku ekonomi dalam membuat keputusan menjadi semakin tidak dapat
diandalkan.
Suku bunga yang rendah tidak lagi terkait langsung dengan
inflasi. Nilai tukar mata uang lebih ditentukan aliran modal daripada
fundamental ekonomi.
Pelaku ekonomi sektor riil lebih menjadi pelengkap penderita
dari permainan bank sentral dan fund manager ini karena likuiditas yang besar
lebih banyak berputar di sektor keuangan itu sendiri, sedangkan volatilitas
dalam nilai tukar sangat memengaruhi keadaan finansial perusahaan di sektor
riil.
Pada saat nilai tukar mata uang melemah, mereka tidak dapat
memanfaatkannya untuk meningkatkan ekspor karena melemahnya ekonomi dunia,
tetapi menurunkan profitabilitas berkaitan dengan selisih kurs. Pada saat
nilai tukar menguat, produk yang dihasilkan menjadi mahal sehingga tidak
kompetitif. Volatilitas nilai tukar mata uang mempersulit perusahaan untuk
membuat perencanaan.
Rendahya harga komoditas jelas menekan berat penerima negara
produsen, tetapi tidak memberikan manfaat optimal kepada pengguna komoditas
karena melemahnya permintaan produk yang dihasilkan. Pelaku ekonomi sektor
riil tidak dapat mengantisipasi dengan baik implikasi permainan dari bank
sentral dan fund manager. Karena itu, perusahaan yang mempunyai dana tunai
besar cenderung menabungnya. Namun, dengan bunga yang rendah, bahkan negatif,
penabung mendapatkan hukuman, bukan imbalan.
Permainan bank sentral dan fund manager ini membuat
ketidakpastian keuangan dunia menjadi meningkat. Dengan utang sekitar 200
triliun dollar AS yang merupakan lebih dari dua kali PDB dunia, akan sangat
sulit untuk dapat dikelola dengan baik. Utang negara berkembang juga
meningkat pesat dalam sepuluh tahun belakangan ini. Utang swasta luar negeri
negara berkembang mencapai sekitar 4 triliun dollar AS. Banyak negara
berkembang, seperti Tiongkok, Brasil, Malaysia, dan Turki, yang utang
korporasinya lebih besar dari PDB-nya.
Permasalahan besarnya likuiditas dan utang luar negeri di
tingkat dunia tersebut tidak saja mengancam stabilitas finansial dunia,
tetapi juga memperbesar kemungkinan krisis finansial dunia yang akan datang
dengan kemungkinan bersumber di negara berkembang lagi. Jika krisis sampai
terjadi, akan lebih besar pengaruhnya dari krisis keuangan Asia 1998, dan
krisis keuangan global 2008. Seperti bumi kita, air laut (likuiditas)
meningkat karena pemanasan global, maka jika terjadi gempa di laut, hal
tersebut akan menyebabkan tsunami dahsyat.
Implikasi bagi Indonesia
Untuk menstimulasi sektor riil, Bank Indonesia juga menurunkan
bunga acuan (BI Rate) dua kali menjadi 7 persen dan menurunkan Giro Wajib
Minimum menjadi 6,5 persen. Langkah ini diharapkan dapat menurunkan suku
bunga pinjaman dan mengalirkan likuiditas ke sektor riil dalam jumlah besar.
Lebih jauh lagi, pemerintah menginginkan turunnya bunga pinjaman
menjadi satu digit. Bagi Indonesia dengan rasio kredit terhadap PDB masih
rendah sekitar 35 persen, pertumbuhan kredit berkorelasi kuat dengan
pertumbuhan ekonomi, dan juga inflasi. Permasalahannya adalah kualitas
debitor yang belakangan ini menunjukkan pemburukan signifikan membuat bank
semakin berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.
Upaya pemerintah untuk merestrukturisasi sektor riil adalah
tepat untuk mendorong investasi dan produktivitas sektor riil, khususnya
infrastruktur dan manufaktur. Ini berbeda dengan sekadar mengalirkan dana
atau kredit yang lebih besar dengan
bunga yang lebih rendah ke sektor riil, tetapi harus bertumpu pada kekuatan
perusahaan terutama kondisi keuangan dan neracanya (balance sheet). Jangan sampai aliran kredit yang lebih besar
justru berujung pada peningkatan
kredit macet yang lebih besar.
Pengalaman menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit yang tinggi
setelahnya diikuti dengan kenaikan kredit macet (nonperforming loan/NPL) yang tinggi juga. Karena itu, bank
berhati-hati dalam mendorong pertumbuhan kredit yang tinggi karena masih
menghadapi permasalahan peningkatan provisi (CKPN) dari meningkatnya NPL.
Indonesia juga harus waspada terhadap meningkatnya risiko
keuangan dunia, terutama berkaitan dengan manajemen aliran modal dan utang
luar negeri terutama swasta. Tentu saja kebijakan kendali aliran modal (capital
control) dapat dipertimbangkan, tetapi sulit untuk efektif, apalagi aliran
modal masuk dibutuhkan untuk mengembangkan pembiayaan melalui pasar modal.
Apa yang harus diperhatikan adalah menjaga volatilitas dari aliran modal
masuk dan terutama yang keluar yang besar pengaruhnya pada nilai tukar
rupiah.
Utang swasta dalam dan luar negeri meningkat signifikan dalam
sepuluh tahun belakangan ini. Utang swasta mencapai sekitar 160 miliar dollar AS, lebih tinggi
dari utang pemerintah. Utang swasta dalam negeri juga meningkat besar. Jangan
sampai kejutan eksternal (external shock) diperbesar dengan utang swasta yang
macet. Apalagi, jika debitor memanfaatkan kesempatan untuk mengemplang bank
dengan lemahnya sistem hukum kita.
Oleh karena itu, pendekatan investasi, insentif fiskal,
produktivitas, dan restrukturisasi sektor riil lebih menentukan daripada
mendorong peningkatan utang korporasi melalui kredit yang lebih tinggi dengan
bunga rendah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar