Minggu, 27 Maret 2016

Permainan Bank Sentral dan "Fund Manager"

Permainan Bank Sentral dan "Fund Manager"

Umar Juoro ;  Senior Fellow di Center for Information and Development Studies (Cides) dan Habibie Center
                                                       KOMPAS, 26 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ekonomi, baik di negara maju maupun di negara berkembang, semakin ditentukan oleh kebijakan bank sentral dalam menurunkan suku bunga serta tindakan fund manager, yakni ke mana mereka akan mengalokasikan dana yang dikelolanya.

Dengan kebijakan bank sentral menetapkan suku bunga negatif di beberapa negara maju dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar mata uang dan menstimulasi ekonomi, sementara bank sentral AS tampaknya akan memperlambat penaikan suku bunga, likuiditas kembali masuk ke sektor finansial, terutama pasar modal dan obligasi, termasuk kembali ke negara berkembang.

Suku bunga negatif, antara lain, diterapkan European Central Bank di Eropa, Bank of Japan di Jepang, dan Swiss National bank di Swiss, serta bank sentral di Swedia dan Denmark.

Bank sentral kehabisan amunisi

Suku bunga rendah dan bahkan negatif sejauh ini dapat menghindarkan perekonomian negara-negara maju dari resesi dan deflasi (inflasi negatif), tetapi belum terlihat dapat menstimulasi ekonomi riil dan meningkatkan inflasi ke target 2 persen.

Pertumbuhan ekonomi Eropa dan terutama AS membaik sejak krisis finansial 2008, tetapi masih diragukan apakah akan berkelanjutan. Aliran likuiditas  mendorong peningkatan harga aset, terutama saham, di pasar modal. Namun, belakangan ini pasar modal di negara maju mendapatkan tekanan karena ketidakpastian kebijakan bank sentral AS, The Fed, mengenai kenaikan suku bunga dan juga keraguan terhadap keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu, ekonomi Tiongkok menghadapi masalah bukan hanya pertumbuhannya melemah, tetapi juga koreksi gelembung (bubble) di pasar modal dan properti serta besarnya utang baik dalam maupun luar negeri. Tambahan lagi, kapasitas produksi sangat berlebih di Tiongkok. Imbasnya adalah tekanan pada pasar modal dan harga properti di Hongkong dan melemahkan ekonomi rekan dagangnya. Bahkan, beberapa hedge fund besar telah menaruh posisi akan jatuhnya pasar keuangan Tiongkok dan depresiasi besar renminbi.

Bank sentral di negara maju dan berkembang demikian aktif dalam menstimulasi ekonomi karena keterbatasan kebijakan fiskal dan kelembaman sektor riil. Dengan besarnya likuiditas di pasar keuangan, korelasi beberapa variabel ekonomi yang sebelumnya menjadi pegangan penentu kebijakan dan pelaku ekonomi dalam membuat keputusan menjadi semakin tidak dapat diandalkan.

Suku bunga yang rendah tidak lagi terkait langsung dengan inflasi. Nilai tukar mata uang lebih ditentukan aliran modal daripada fundamental ekonomi.

Pelaku ekonomi sektor riil lebih menjadi pelengkap penderita dari permainan bank sentral dan fund manager ini karena likuiditas yang besar lebih banyak berputar di sektor keuangan itu sendiri, sedangkan volatilitas dalam nilai tukar sangat memengaruhi keadaan finansial perusahaan di sektor riil.

Pada saat nilai tukar mata uang melemah, mereka tidak dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan ekspor karena melemahnya ekonomi dunia, tetapi menurunkan profitabilitas berkaitan dengan selisih kurs. Pada saat nilai tukar menguat, produk yang dihasilkan menjadi mahal sehingga tidak kompetitif. Volatilitas nilai tukar mata uang mempersulit perusahaan untuk membuat perencanaan.

Rendahya harga komoditas jelas menekan berat penerima negara produsen, tetapi tidak memberikan manfaat optimal kepada pengguna komoditas karena melemahnya permintaan produk yang dihasilkan. Pelaku ekonomi sektor riil tidak dapat mengantisipasi dengan baik implikasi permainan dari bank sentral dan fund manager. Karena itu, perusahaan yang mempunyai dana tunai besar cenderung menabungnya. Namun, dengan bunga yang rendah, bahkan negatif, penabung mendapatkan hukuman, bukan imbalan.

Permainan bank sentral dan fund manager ini membuat ketidakpastian keuangan dunia menjadi meningkat. Dengan utang sekitar 200 triliun dollar AS yang merupakan lebih dari dua kali PDB dunia, akan sangat sulit untuk dapat dikelola dengan baik. Utang negara berkembang juga meningkat pesat dalam sepuluh tahun belakangan ini. Utang swasta luar negeri negara berkembang mencapai sekitar 4 triliun dollar AS. Banyak negara berkembang, seperti Tiongkok, Brasil, Malaysia, dan Turki, yang utang korporasinya lebih besar dari PDB-nya.

Permasalahan besarnya likuiditas dan utang luar negeri di tingkat dunia tersebut tidak saja mengancam stabilitas finansial dunia, tetapi juga memperbesar kemungkinan krisis finansial dunia yang akan datang dengan kemungkinan bersumber di negara berkembang lagi. Jika krisis sampai terjadi, akan lebih besar pengaruhnya dari krisis keuangan Asia 1998, dan krisis keuangan global 2008. Seperti bumi kita, air laut (likuiditas) meningkat karena pemanasan global, maka jika terjadi gempa di laut, hal tersebut akan menyebabkan tsunami dahsyat.

Implikasi bagi Indonesia

Untuk menstimulasi sektor riil, Bank Indonesia juga menurunkan bunga acuan (BI Rate) dua kali menjadi 7 persen dan menurunkan Giro Wajib Minimum menjadi 6,5 persen. Langkah ini diharapkan dapat menurunkan suku bunga pinjaman dan mengalirkan likuiditas ke sektor riil dalam jumlah besar.

Lebih jauh lagi, pemerintah menginginkan turunnya bunga pinjaman menjadi satu digit. Bagi Indonesia dengan rasio kredit terhadap PDB masih rendah sekitar 35 persen, pertumbuhan kredit berkorelasi kuat dengan pertumbuhan ekonomi, dan juga inflasi. Permasalahannya adalah kualitas debitor yang belakangan ini menunjukkan pemburukan signifikan membuat bank semakin berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya.

Upaya pemerintah untuk merestrukturisasi sektor riil adalah tepat untuk mendorong investasi dan produktivitas sektor riil, khususnya infrastruktur dan manufaktur. Ini berbeda dengan sekadar mengalirkan dana atau kredit yang lebih besar  dengan bunga yang lebih rendah ke sektor riil, tetapi harus bertumpu pada kekuatan perusahaan terutama kondisi keuangan dan neracanya (balance sheet). Jangan sampai aliran kredit yang lebih besar justru  berujung pada peningkatan kredit macet yang lebih besar.

Pengalaman menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit yang tinggi setelahnya diikuti dengan kenaikan kredit macet (nonperforming loan/NPL) yang tinggi juga. Karena itu, bank berhati-hati dalam mendorong pertumbuhan kredit yang tinggi karena masih menghadapi permasalahan peningkatan provisi (CKPN) dari meningkatnya NPL.

Indonesia juga harus waspada terhadap meningkatnya risiko keuangan dunia, terutama berkaitan dengan manajemen aliran modal dan utang luar negeri terutama swasta. Tentu saja kebijakan kendali aliran modal (capital control) dapat dipertimbangkan, tetapi sulit untuk efektif, apalagi aliran modal masuk dibutuhkan untuk mengembangkan pembiayaan melalui pasar modal. Apa yang harus diperhatikan adalah menjaga volatilitas dari aliran modal masuk dan terutama yang keluar yang besar pengaruhnya pada nilai tukar rupiah.

Utang swasta dalam dan luar negeri meningkat signifikan dalam sepuluh tahun belakangan ini. Utang swasta mencapai  sekitar 160 miliar dollar AS, lebih tinggi dari utang pemerintah. Utang swasta dalam negeri juga meningkat besar. Jangan sampai kejutan eksternal (external shock) diperbesar dengan utang swasta yang macet. Apalagi, jika debitor memanfaatkan kesempatan untuk mengemplang bank dengan lemahnya sistem hukum kita.

Oleh karena itu, pendekatan investasi, insentif fiskal, produktivitas, dan restrukturisasi sektor riil lebih menentukan daripada mendorong peningkatan utang korporasi melalui kredit yang lebih tinggi dengan bunga rendah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar