Laporan Kekayaan Legislator
Emerson Yuntho ;
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS, 24 Maret
2016
Komisi Pemberantasan
Korupsi pada Kamis (10/3) lalu mengumumkan baru 62,75 persen dari 545 anggota
DPR yang menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara. Artinya,
masih ada sekitar 37,25 persen atau sebanyak 203 wakil rakyat yang telah
dilantik lebih dari setahun lalu, tetapi belum melaporkan kekayaan mereka
kepada KPK.
Tidak hanya DPR, data
KPK juga menunjukkan 9.676 anggota DPRD-provinsi, kabupaten/kota-di seluruh
Indonesia juga belum setor laporan harta kekayaan penyelenggara negara
(LHKPN).
Masih banyaknya
anggota legislatif yang belum melaporkan kekayaan sungguh ironis. Pelaporan
kekayaan adalah salah satu bentuk komitmen anti korupsi setiap pejabat
publik, termasuk anggota Dewan. Selama belum melaporkan kekayaan, wajar saja
publik meragukan komitmen anti korupsi mereka dan mencurigai asal-usul harta
para wakil rakyatnya di parlemen.
Langgar sumpah jabatan
Sikap tidak terhormat
para legislator yang malas lapor kekayaannya tidak saja menunjukkan rendahnya
budaya transparansi, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai tindakan
melanggar sumpah jabatan. Ketika dilantik, salah satu inti sumpah yang
diucapkan oleh setiap anggota legislatif adalah memenuhi kewajibannya sesuai
dengan UU.
Kewajiban pelaporan
kekayaan anggota Dewan adalah mandat dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Dalam Pasal 5 Ayat 3 regulasi tersebut menegaskan bahwa anggota
DPR/ DPRD selaku penyelenggara negara wajib melaporkan kekayaannya sebelum
dan sesudah menjabat.
Pada faktanya bukan
kali ini saja banyak anggota Dewan malas melaporkan kekayaannya. Keluhan KPK
soal ketidakpatuhan para legislator ini sebelumnya juga muncul pada awal masa
kerja DPR/DPRD periode 2009-2014.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch setidaknya
ada dua sebab mengapa tingkat kepatuhan laporan kekayaan anggota legislatif
tergolong rendah. Pertama, tidak ada keharusan pelaporan kekayaan sebagai
syarat untuk menjadi anggota legislatif. Dalam UU No 10/ 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD terdapat sejumlah syarat agar seseorang bisa
menjadi anggota legislatif, tetapi tidak ada satu pun yang menyebutkan
keharusan bagi calon untuk melaporkan kekayaannya.
Bandingkan dengan
proses seleksi calon pejabat publik lainnya, seperti pimpinan KPK, calon
kepala daerah, bahkan calon presiden dan wakil presiden. UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, khususnya Pasal 14, menyebutkan penyerahan laporan kekayaan
kepada KPK merupakan syarat untuk mendaftarkan diri bagi pasangan calon
presiden dan wakil presiden.
Kedua, tidak ada
ancaman pidana bagi penyelenggara negara, termasuk anggota Dewan yang tak mau
melaporkan kekayaannya. UU No 28/1999 hanya menyebutkan sanksi administratif
bagi pejabat yang tidak mau melaporkan kekayaannya. Namun, pemberian sanksi
administratif diserahkan kepada masing-masing pimpinan lembaga yang
bersangkutan. Tanpa adanya ancaman pidana maupun sanksi administratif yang
keras, sulit berharap mereka akan melaporkan kekayaan secara sukarela.
Berbeda dengan langkah
penindakan, ketiadaan kewenangan dalam pencegahan-khususnya penanganan
laporan kekayaan pejabat-menjadikan KPK tidak "bergigi". Dalam
urusan LHKPN, muncul kesan KPK hanya sebatas meminta dan menerima laporan
kekayaan. Regulasi anti korupsi yang ada tidak memberikan kewenangan KPK
untuk mengambil tindakan keras bagi pejabat publik yang malas lapor kekayaan.
Sesungguhnya persoalan
terhadap ketidakpatuhan pejabat atas pelaporan kekayaan sudah disadari betul
oleh KPK sejak 10 tahun lalu. Pada 2006, KPK pernah melakukan studi tentang
efektivitas pelaporan kekayaaan penyelenggara negara di Indonesia. Dari studi
ini KPK mengidentifikasikan 15 faktor penyebab kenapa banyak penyelenggara
negara, termasuk anggota legislatif, tidak melaporkan kekayaannya.
Faktor tersebut adalah
lemahnya sanksi hukum; kewajiban pelaporan tidak diimbangi dengan kewenangan
KPK; wajib lapor kekayaan belum menjadi syarat rekrutmen secara luas; menolak
diakui atau tidak tahu kriteria sebagai wajib lapor; dan belum ada contoh
pejabat yang dikenai sanksi karena tidak melapor.
Faktor lainnya adalah
pejabat yang tidak lapor kekayaan tidak diumumkan; batas waktu pelaporan dan
mekanisme penagihan tidak tegas; kelompok kerja LHKPN bentukan KPK kurang
optimal; kehabisan formulir; kesulitan memahami dan melengkapi formulir;
tidak ada waktu khusus untuk melengkapi formulir; keberatan atas biaya yang
timbul; ada kejanggalan kekayaan; khawatir atas konsekuensi turunan; dan
menganggap kekayaan adalah urusan privat.
Jika dibandingkan
dengan negara lain, pelaporan kekayaan penyelenggara negara di Indonesia yang
hanya diwajibkan sebelum dan sesudah menjabat bukanlah suatu yang
memberatkan. Dalam studi KPK pada 2006 itu juga disebutkan ada 12 negara yang
mewajibkan pejabat publik mereka melaporkan kekayaannya setiap tahun.
Ke-12 negara tersebut adalah Romania,
Filipina, Meksiko, Latvia, Korea Selatan, Kenya, India, Banglades, Albania,
Tanzania, Amerika Serikat, dan Singapura.
Makin perburuk citra DPR
Masih banyak anggota
DPR yang malas melaporkan kekayaan pada akhirnya juga memperburuk penilaian
publik terhadap institusi parlemen. Selain malas melaporkan kekayaan,
sejumlah anggota DPR juga malas menyelesaikan kewajiban legislasi atau pembentukan UU. Dalam catatan ICW, selama
setahun kerja DPR periode 2014-2019, dari 38 rancangan UU yang jadi prioritas,
DPR hanya berhasil menyelesaikan tiga UU, yaitu UU Pemilihan Kepala Daerah,
UU Pemerintahan Daerah, dan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Agar masalah laporan kekayaan legislator tak
berulang dan sekaligus memberikan efek jera kepada mereka yang malas serta
tak jujur, ada sejumlah tindakan yang perlu dilakukan.
Untuk jangka pendek,
KPK sebaiknya mengumumkan nama-nama legislator yang belum memperbarui atau
sama sekali belum melaporkan kekayaannya. Pada saat bersamaan, Majelis
Kehormatan Dewan DPR/DPRD juga harus berani menjatuhkan sanksi atau
merekomendasikan penundaan pencairan gaji dan tunjangan bagi mereka yang
malas lapor kekayaan.
Adapun rekomendasi
jangka panjang adalah perlu disusun sebuah regulasi berupa ancaman pidana
bagi penyelenggara negara, termasuk anggota legislatif, yang tidak mau atau
tidak jujur dalam melaporkan kekayaannya. Ketentuan ini dapat memaksa
legislator untuk segera melaporkan kekayaannya secara jujur. Jika legislator
masih membandel juga, KPK harus diberi kewenangan agar dapat menjerat mereka
hingga ke pengadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar