Einstein
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO, 21 Maret
2016
"Saya lahir 14 Maret 1879 di
Ulm...."
Einstein menuliskan biodatanya pada suatu hari
di tahun 1932. Akademi Ilmu Pengetahuan Kaiser Leopold, sebuah institusi yang
sangat bermartabat—Goethe pernah jadi salah satu anggotanya—memintanya
bergabung.
Ada sembilan pertanyaan yang harus dijawab.
Pada pertanyaan ke-8 ia mengatakan, ia "pernah diberi beberapa
medali". Tapi ia tak merinci apa saja penghargaan itu. Ia juga tak
menyebutkan bahwa pada 1921 ia pernah menerima Hadiah Nobel untuk Fisika....
Baginya, penghargaan adalah bagian puji-pujian
yang sering ia terima dengan enggan—atau dengan ironi. Sebagian besar ia
sembunyikan di satu sudut yang ia namai Protzenecke, "pojok bual".
Baginya, yang lebih penting adalah kerja keilmuan—yang sering harus
menyendiri.
Uang tak pernah memancing Einstein. Yang
diterima dari Hadiah Nobelnya ia dermakan. Di tahun 1927, ia bantu 150
keluarga miskin di Berlin. Suatu hari ia mendapat US$ 1.500, sumbangan
Rockefeller Foundation. Ceknya ia pakai buat penyekat halaman buku; bukunya
hilang.
Pernah ia kaget dijanjikan honorarium tinggi
untuk menulis di sebuah majalah; ia pun menawar agar dibayar separuh saja
dari jumlah itu. Ia juga baru mau bergabung dengan Institute for Advanced
Studies di Universitas Princeton jika jumlah gajinya dipotong. Ia menolak
menerima pemberian, apalagi ketika dihadiahi sebuah violin Guarnerius seharga
US$ 33.000. Ia merasa alat musik itu terlalu berharga buat kepandaiannya
bermain violin.
Ia tak mau mengambil banyak, ia selalu memberi
banyak. Ia membalas surat-surat yang mengalir ke alamatnya dari mana saja:
sarjana fisika yang termasyhur, Ratu Belgia, atau anak kecil yang ingin
dihibur. Ketika ia terima sekaleng tembakau dari seorang buruh yang
kehilangan kerja, ia membalasnya dengan menulis khusus seuntai sajak terima
kasih. Seorang kelasi menulis surat bahwa di kapalnya ada kucing yang ikut
naik dari pelabuhan Jerman, dan awak kapal memberinya nama "Albert
Einstein".
Sang pemenang Nobel membalas, mengirim salam kepada kucing
itu.
Einstein memang bukan orang yang gampang
bilang "tidak" kepada mereka yang tak didengar. Ia tahu
kemasyhurannya bisa berguna untuk orang banyak—terutama untuk menghimpun
dana, atau dukungan suara, untuk tujuan seperti gerakan perdamaian.
Tentu saja untuk nasib orang-orang Yahudi yang
di Eropa berabad-abad terancam. Einstein seorang Zionis yang aktif. Tapi ia
tak melihat Zionisme sebagai gerakan nasionalis. Zionisme, tulisnya di awal
1946, memberi sisa kaum Yahudi kekuatan batin untuk menanggungkan hantaman,
"dengan tegak dan tanpa kehilangan harga diri yang sehat".
Ketika Nazi berkuasa di Jerman—waktu itu
Einstein sudah tak di sana lagi—rumahnya disita. Teori Relativitas dianggap
ilmu "Yahudi" dan "Komunis" (meskipun di Uni Soviet yang
komunis teori itu juga dihantam sebagai anti-"materialisme
dialektis").
Di zaman penuh kebencian itu, ada saat-saat
Einstein nyaris putus asa. "Tampaknya orang selalu butuh setan untuk saling
membenci; dulu itu kepercayaan agama, kini negara," tulisnya setelah
usai Perang Dunia I. Ia tak yakin nalar manusia bisa menyelamatkan.
"Nalar bukanlah satu cara mempertalikan manusia di bumi...."
Tapi Einstein tahu, dunia yang dibentuk nalar
bukanlah segala-galanya. Ia, yang membaca karya-karya Yunani klasik tanpa
terjemahan (tapi tak begitu menyukai Plato, yang baginya aristokratik), yang
jatuh cinta dan menikah dengan gadis Katolik dan punya anak di luar nikah,
yang mencintai musik dan bisa menulis tinjauan kritis atas lakon George
Bernard Shaw, mengalami bahwa ada sesuatu yang lain dalam diri manusia.
Yakni: dorongan etis, yang disebutnya "moralitas".
Bukan agama. "Agama, menurut kodratnya,
tidak toleran," katanya. "Moralitas sepenuhnya persoalan manusia,"
tulis Einstein kepada seorang rabi di Chicago yang ingin mengaitkan Teori
Relativitas dengan Yudaisme di akhir 1939.
Tak berarti manusia bisa menjawab segala hal.
Ilmuwan hanya mencoba-coba mengutip kebenaran. Alam dan eksperimen, tulis
Einstein, bukanlah hakim yang bisa diduga dan juga "bukan hakim yang
sangat bersahabat". Lebih sering Alam dan eksperimen mengatakan
"Tidak" kepada satu teori, atau paling ramah
"Barangkali". Malah sangat mungkin tiap teori kelak akan bertemu
dengan "Tidak".
Kerendahan-hati itu punya sifat
"religius". "Religius" bagi Einstein adalah rasa takjub
menyaksikan "skema yang menyatakan diri di alam semesta materi".
Tapi ketakjuban itu tak harus membuat kita mewujudkan Tuhan "yang bisa
mengajukan tuntutan kepada kita".
Dengan kata lain, manusia membentuk sendiri
hubungan etis di antara sesama dari kerendahan-hati itu. "Alam bukanlah
insinyur atau kontraktor," jawab Einstein ketika ditanya apa yang akan
terpikir olehnya sebelum meninggal.
Ia meninggal 18 April 1955. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar