Terorisme dan Perang Pasca Modern
Eric Hiariej ;
Pengajar di Departemen Hubungan Internasional,
Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS, 30 Maret
2016
Serangan teroris di Paris, Perancis, beberapa
waktu lalu dan yang baru saja terjadi di Brussel, Belgia, serta upaya-upaya
memeranginya dalam beberapa tahun terakhir mencerminkan beberapa perubahan
penting dalam domain perang kontemporer. Salah satu perubahan itu adalah
berakhirnya monopoli negara atas kekerasan ketika apa saja bisa digunakan
sebagai senjata pemusnah massal oleh siapa saja.
Simbol-simbol kemajuan masyarakat sipil di
bidang-bidang seperti teknologi komunikasi dan rekayasa genetik yang selama
ini menjadi indikator kesejahteraan kehidupan damai dalam sekejap bisa diubah
menjadi instrumen perang. Bukan hal yang mengejutkan jika seorang ”fanatik”
dengan pengetahuan yang memadai dan kecakapan teknis yang canggih, yang bisa
diperoleh dengan gampang di internet, mengembangkan wabah penyakit baru yang
dikemas dalam bentuk bom atom mini dan digunakan untuk mengancam penduduk
tertentu.
Individualisasi perang
Sudah tentu kecenderungan ini bukan barang
baru. Hanya saja kesadaran orang tentang the death of distance yang
berlangsung dalam domain militer tersebut kian meluas.
Di saat bersamaan berlangsung proses
individualisasi perang. Perang kontemporer tidak lagi dimonopoli pertempuran
dua bala tentara yang bersengketa sejak individu menjadi kekuatan baru yang
melakukan perlawanan terbuka dengan menggunakan kekerasan terhadap negara.
Serangan bom bunuh diri merupakan contoh ekstrem individualisasi perang.
Aktivis yang merelakan jiwanya sebagai senjata
penghancur dengan kengerian absolut tidak jarang melihat penindasan atau
penjajahan sebagai persoalan yang bersifat personal. Tak heran jika
resistensi dan alat perlawanan menyatu dalam tubuh sebagai manifestasi
pemberontakan self yang terhinakan. Karena itu aksi teroris
bukan hanya memperjuangkan idealitas tertentu, seperti kedaulatan nasional
atau negara agama, tetapi juga sebuah ekspresi identitas yang terkoyak.
Perubahan-perubahan ini menimbulkan dampak
yang luar biasa. Sementara batas antara wilayah militer dan masyarakat sipil
menjadi kabur, batas antara ”orang yang tersangka” dan ”yang tidak tersangka”
yang selalu bisa dibedakan secara tegas oleh aturan hukum menjadi tidak
jelas.
Di bawah ancaman individualisasi perang,
setiap warga negara harus bisa membuktikan dirinya bukan ancaman jika tidak
ingin dicurigai sebagai (calon) teroris. Setiap orang harus selalu siap-siap
”dicek”, secara kasat- mata dengan alat pemindai logam ataupun secara
diam-diam lewat perangkat intelijen, untuk alasan-alasan yang tidak terlalu
jelas. Ujung-ujungnya individualisasi perang melumpuhkan demokrasi karena
negara sering kali memilih beraliansi dengan negara lainnya untuk memusuhi
warga negaranya sendiri (yang selalu dicurigai sebagai sumber pelaku teror).
Akibat lainnya adalah pembedaan antara perang
dan damai, menyerang dan membela diri, menjadi tidak valid. Sebab keberadaan
(calon) tersangka teroris yang bisa berada di mana saja membuat konstruksi
tentang musuh menjadi urusan yang fleksibel. Seperti halnya korporasi besar
yang bisa memproduksi barang di mana pun dan kapan pun ia mau, negara-negara
kuat juga bisa menciptakan beragam musuh baru sebanyak yang mereka suka.
Di sini, ”musuh” tidak lagi dipahami sebagai
sebuah aktor yang memulai penyerangan, tetapi ditentukan secara sepihak oleh
negara yang (merasa dirinya) terancam sekalipun tanpa bukti-bukti konkret
tentang ancaman tersebut. Konsepsi musuh yang fleksibel yang mengalami proses
deteritorialisasi ini memungkinkan negara-negara kuat mengoperasikan
peralatan tempurnya secara sepihak atas nama keamanan dalam negeri dan
mendeklarasikan perang tanpa harus diserang lebih dahulu.
Lebih penting lagi, konstruksi musuh yang bersifat
fleksibel telah menormalkan dan melembagakan ”situasi darurat” yang
menangguhkan pemberlakuan kerangka legal terhadap bukan saja teroris,
melainkan juga terhadap warga negara sendiri dan penduduk negara lain. Ketika
ini terjadi perang menjadi absolut dan memiliki karakter ontologis.
Etika dan politik
perang
Dalam modernitas perang tidak pernah menempati
posisi absolut sekalipun diakui sebagai elemen mendasar dari kehidupan
sosial. Para pemikir militer modern, misalnya, melihat perang sebagai sumber
kehancuran, tetapi menerima perang sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan.
Bahkan, para filosof modern menemukan sisi
positif dari perang sebagai bagian dari upaya mencari kemasyhuran dan
pembentukan solidaritas sosial. Meski demikian, tidak satu pun yang memberikan
karakter ontologis kepada perang yang menempatkannya sebagai kekuatan yang
mengatur kehidupan.
Perang dalam semangat modernitas selalu
bersifat dialektis. Setiap momen negatif berupa kehancuran selalu disertai
momen positif berupa penciptaan orde sosial. Dalam konteks ini gagasan
Clausewitz bahwa perang adalah pengecualian yang terpaksa ditempuh setelah
jalan politik menemui kebuntuan menjadi logis. Sebab perang adalah
abnormalitas yang bisa dibenarkan oleh alasan-alasan moral ataupun alasan-alasan
legal.
Akan tetapi, dalam perang melawan terorisme
yang dipimpin negara-negara besar, argumen Clausewitz harus dibaca secara
terbalik. Perang adalah kondisi permanen yang berlaku, sedangkan politik
adalah perang dengan cara yang lain. Sudah tentu Mao Zedong pernah
mengungkapkan argumen terbalik ini. Bagi Mao, politik adalah perang tanpa
pertumpahan darah.
Gramsci juga menggunakan ”bahasa perang” dalam
menjelaskan strategi politiknya ketika ia mengusulkan wars of
position dan wars of maneuver dalam melawan
hegemoni. Akan tetapi, bahkan kedua aktivis ini berteori tentang perang dalam
kondisi darurat, yakni situasi pemberontakan bagi Mao dan revolusi bagi
Gramsci. Apa yang baru dan melampaui modernitas adalah perang melawan
terorisme telah membuat perang menjadi semacam meta-matriks bagi seluruh
hubungan kekuasaan dan teknik-teknik dominasi terlepas ada tidaknya
pertumpahan darah.
Perang telah menjadi sebuah bentuk pengaturan
yang bukan saja mengendalikan masyarakat, melainkan juga memproduksi dan
mereproduksi semua aspek kehidupan. Perang seperti ini bukan hanya membawa
kematian, melainkan ironinya juga menciptakan kehidupan.
Dekat dengan itu, etika penggunaan kekerasan
oleh suatu negara, seperti just war sekalipun, tidak lagi
ditentukan secara apriori oleh pertimbangan hukum dan moral, tetapi
dibenarkan secara posteriori berdasarkan hasilnya. Serbuan Amerika Serikat
dan sekutunya ke Irak tidak lagi dipersoalkan sebagai aksi sepihak yang
melanggar konvensi internasional. Akan tetapi,perang itu harus dibenarkan
karena telah berhasil menyingkirkan kekuasaan otoriter dan membangun
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar