Geger Advokat
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 26 Maret
2016
Kita masing-masing pasti pernah melihat ambiguitas sikap banyak
advokat. Suatu saat, ketika menangani kasus tertentu, ada advokat yang
membela Polri dan memujinya sebagai lembaga penegak hukum yang bagus.
Tapi tak lama setelah itu, setelah menangani kasus lain, dia
menyerang Polri sebagai lembaga yang tidak profesional dan sewenang-wenang.
Ada lagi advokat yang dalam debat di televisi menyerang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebagai perekayasa kasus, tetapi pada saat lain dan dalam kasus
lain advokat yang sama memuji KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang
paling dipercaya..
Ada lagi advokat yang membela Fulan dalam kasus korupsi di suatu
instansi dan menyatakan bahwa yang korupsi adalah Fulanah, tetapi setelah
Fulan dihukum dan Fulanah memintanya menjadi kuasa hukum dalam kasus
berikutnya, sang advokat berbalik mengatakan Fulanah adalah bersih. Banyak
orang menganggap dunia advokat sebagai dunia munafik, padahal masih banyak
advokat yang baik.
Ambiguitas sikap advokat yang seperti itu masih bisa dipahami
dengan jawaban, posisi advokat memang harus berubah-ubah sesuai dengan siapa
yang dibelanya. Tapi yang tak bisa dipahami adalah fakta bahwa advokat selalu
masih ribut di antara para advokat sendiri dalam hal yang tak ada kaitannya
dengan perkara konkret yang sedang ditangani.
Sampai sekarang, dunia advokat masih geger, apakah organisasi
advokat akan diatur dengan sistem multibar (banyak organisasi advokat) atau
sistem singlebar (satu organisasi advokat). Pekan lalu saya diundang ke acara
pelantikan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Surabaya untuk menjadi pembicara
tentang sikap Ikadin menghadapi isu multibar.
Menurut saya adanya pembicaraan kembali tentang itu merupakan
langkah mundur. Itu juga memperkuat bukti bahwa sejarah advokat kita adalah
sejarah perpecahan. Masalah sistem tersebut dulu sudah dibicarakan sampai
berbusa-busa dan akhirnya yang dipilih adalah sistem singlebar. Advokat-advokat senior seperti Adnan Buyung Nasution,
Todung Mulya Lubis, Otto Hasibuan, Trimoelja D Soerjadi sudah berdiskusi
tuntas, membawanya ke DPR, dan lahirlah UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Yang menganut sistem singlebar, artinya hanya ada satu wadah
resmi organisasi advokat yang membina advokat mulai dari perekrutan sampai
pengawasan. Kemudian lahirlah Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) sebagai
wadah tunggal itu. Belum lama Peradi berdiri sudah ada yang menggugat ke MK
melalui permohonan judicial review. Melalui Putusan No 015/ PUU-IV/2006 MK
memutus bahwa Peradi sah sebagai wadah tunggal organisasi advokat. Tapi dunia
advokat terus ribut.
Yang dipersoalkan berikutnya bukan keberadaan Peradi sebagai
wadah tunggal, melainkan pengurusnya yang, katanya dibentuk secara tidak sah.
Adnan Buyung Nasution termasuk yang mempersoalkan kepengurusan Peradi. Kata
dia, seharusnya DPP Peradi dibentuk melalui kongres advokat, bukan berdasar
kesepakatan pimpinan organisasi advokat yang sudah ada.
Mereka pun mengadakan kongres dan terbentuklah Kongres Advokat
Indonesia (KAI). KAI pun mengajukan permohonan judicial review ke MK agar ditetapkan menjadi organisasi tunggal
yang sah, menggantikan Peradi. Melalui Putusan No 101/ PUU-VII/2009 MK
menyatakan Peradi dan KAI diakui sah, tetapi diberi waktu untuk bersatu dalam
waktu dua tahun. Jika dalam dua tahun belum bisa bersatu, mereka bisa
beperkara ke pengadilan untuk menentukan salah satunya sebagai organisasi
tunggal yang sah.
Semula ada secercah harapan ketika pada 24 Juni 2010 Ketua
Peradi Otto Hasibuan dan Ketua KAI Indra Sahnun Lubis menandatangani piagam
bahwa keduanya bersepakat untuk bersatu. Piagam itu ditandatangani di depan
Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa. Menurut MK kesepakatan yang
ditandatangani di depan Ketua MA itu sudah sesuai dengan vonis MK yang
mengharuskan bersatu paling lama dua tahun.
Tapi kemudian Indra Sahnun Lubis menyatakan bahwa KAI tidak
setuju dengan isi piagam itu karena coretan-coretan yang diusulkannya sebagai
revisi tidak ditampung. Dunia advokat geger lagi, apalagi sampai ada yang
menginjak-injak foto Ketua MA di depan publik. Setelah itu Mulya Lubis, Frans
Hendra Winata, dan kawan-kawan ikut mendukung pengajuan judicial review lagi ke MK agar ketentuan singlebar di dalam UU
No 18 Tahun 2003 dibatalkan. Tapi MK menolak permohonan tersebut dengan
alasan, penentuan singlebar atau multibar bagi organisasi advokat adalah soal
pilihan politik hukum DPR dan pemerintah.
Kalau mau diganti dengan multibar bisa saja, tetapi yang
menetapkan penggantian itu bukan MK, melainkan pembentuk UU. Mulailah
lobi-lobi ke DPR untuk itu dan di DPR pun ide itu mendapat sambutan. Dalam
keadaan tarik-menarik seperti itu KAI pecah sendiri setelah kongres di
Palembang pada April 2014. Peradi juga ikut pecah menjadi tiga setelah
kongres di Makassar pada Maret 2015.
Dalam keadaan runyam seperti itu muncullah Surat Ketua MA (KMA)
No 73/ KMA/Hk.01/IX/2015 yang memerintahkan kepada semua pengadilan tinggi
untuk mengambil sumpah calon advokat baik dari Peradi dan KAI maupun dari
delapan organisasi advokat yang ada sebelum lahirnya UU No 18 Tahun 2003.
Surat KMA menimbulkan problem meluas. Secara substansi surat tersebut dapat
dinilai bertentangan dengan UU No 18 Tahun 2003 yang menganut singlebar
,tetapi secara formal jika dilihat bentuknya yang hanya berupa surat Ketua MA
(bukan perma atau sema yang bersifat regelings)
tidak bisa digugat melalui judicial
review.
Kalau akan digugat ke PTUN juga tidak bisa karena isinya
abstrak-umum, bukan konkret individual yang bisa
dijadikanobjeksengketadiPTUN. MA, dengan cerdik, tampaknya
sengajamemilihbentukituagartak bisa digugat-gugat. Runyamlah dunia advokat.
Setelah keluarnya Surat KMA itu sekarang ada 13 organisasi advokat: 8
organisasi sudah ada sebelum lahirnya Peradi dan KAI, 3 pecahan Peradi dan 2
pecahan KAI.
Dalam keadaan begini, penyelesaiannya hanyalah jalur politik
agar bisa lahir politik hukum baru di bidang advokat yang bisa menyelesaikan
pertikaian. Yang paling utama dan terhormat untuk menyelesaikan kerunyaman
tersebut hanyalah para advokat sendiri. Dengan dasar integritas moral dan
kemuliaan profesi, mereka harus ikut membangun politik hukum baru tentang advokat.
Daripada gegeran (ribut-ribut),
lebih baik gergeran (canda tawa). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar