Sesat Pikir Kebijakan Sapi
Rochadi Tawaf ;
Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran;
Anggota Perhimpunan Ilmuwan Sosek
Peternakan Indonesia
|
KOMPAS, 28 Maret
2016
Pertengahan tahun 2015 pemerintah dinilai "gagal
paham" terhadap fenomena naiknya harga daging sapi yang spektakuler
sebagai akibat pemangkasan kuota impor. Dampaknya adalah karut-marutnya
bisnis daging sapi.
Kini pemerintah dinilai "sesat pikir" atas kebijakan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 yang baru diluncurkan. Peraturan
pemerintah itu tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal
Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal
Pemasukan. Dikhawatirkan kebijakan ini
akan berdampak buruk bagi peternakan sapi potong dalam negeri.
Peraturan Pemerintah No 4/2016 itu merupakan salah satu paket
kebijakan ekonomi IX yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 8
Maret 2016. Namun, kebijakan ini telah direspons masyarakat peternakan sapi,
khususnya di Malang, Jawa Timur, dan Jakarta, pada 17 Maret 2016. Mereka
menolak kehadiran daging sapi dari India di pasar tradisional.
Dalam pengantar yang disampaikan Menko Perekonomian, dijelaskan
bahwa secara khusus kebijakan itu mengarah kepada pembukaan impor ternak dan
produk ternak berdasarkan zona (zona
base), bukan lagi mengacu negara (country
base). Pemerintah hanya membuka impor dalam bentuk daging saja untuk
mengurangi risiko dari penyakit mulut dan kuku (PMK).
Langkah pembukaan keran impor daging, diambil untuk
mengendalikan harga yang kerap tidak stabil. Kebijakan ini merupakan amanat
sebagai produk turunan dari UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (PKH), atas dasar hal tersebut keberadaannya sah secara yuridis. Selain
itu, dalam batang tubuh PP tersebut materinya pun berisi pengaturan
pelaksanaan importasi daging dan sapi yang berasal dari negara berdasarkan
zona yang dilaksanakan oleh BUMN/BUMD.
Apabila kita kaji lebih dalam dari pengantar Menko Perekonomian,
jelas-jelas bahwa kebijakan ini bisa kita sebut sebagai "sesat pikir
pemerintah". Pasalnya, kebijakan ini sesungguhnya lebih merupakan
kebijakan teknis pemasukan ternak sapi/daging yang tak memiliki pengaruh
langsung dan bukannya kebijakan penurunan harga daging sapi.
Aspek yuridis
Jika dicermati dari aspek yuridis terbitnya perpres ini, di mana
cantolannya UU No 41/2014 tentang PKH yang sejatinya masih dilakukan uji
materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dalam implementasinya, tentu akan
atau masih harus menunggu keputusan MK.
Seperti diketahui, frasa zona base yang diuji pada Pasal 59 UU
No 18/2009 tentang PKH pada 2009, MK telah memutus melalui Keputusan Nomor
137/PUU- VII/2009, bahwa materi pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Materi yang sama muncul kembali dalam UU No 41/2014 tentang PKH pada Pasal
36, yang sedang dalam proses uji materi ulang di MK. Jika saja MK mengabulkan
permohonan uji materi tersebut, dengan sendirinya PP ini tidak akan berlaku.
Selanjutnya, secara sosiologis dan teknis materi dari batang
tubuh PP ini, ternyata hanya mengatur dari aspek teknis tata cara masuknya
komoditas sapi/ daging sapi serta proses distribusinya diatur oleh
kelembagaan yang diserahkan kepada BUMN/BUMD. Apabila materi ini dianalisis,
penulis sangat yakin kebijakan tersebut tidak akan memberikan dampak langsung
atau pengaruh terhadap perubahan harga daging sapi.
Pasalnya, harga daging sapi dapat terbentuk atas tiga hal pokok.
Pertama, dalam situasi pasar persaingan sempurna, harga terbentuk melalui
mekanisme pasar, di mana kekuatannya tergantung kepada ketersediaan dan
kemampuan daya beli konsumen.
Kedua, harga dapat dikendalikan atas dasar intervensi kebijakan
pemerintah. Jika kebijakan kedua ini akan digunakan sebagai pengendali harga
daging, seharusnya PP tersebut mengatur dengan jelas mengenai pola
intervensinya.
Ketiga, bahwa harga dapat dibentuk dengan kekuatan penentuan
kebijakan pemerintah, seperti contoh kebijakan Pemerintah Malaysia yang
membuat harga daging sapi murah, yang selama ini diacu Presiden Jokowi.
Kenyataannya, harga daging sapi di Indonesia sepenuhnya diserahkan kepada
mekanisme pasar.
Kebijakan impor
Apabila dilihat materi distribusi selanjutnya terhadap upaya impor daging, hal ini
ternyata akan terkendala oleh kebijakan impor daging yang telah ada, yaitu
bahwa importasi daging hanya untuk daging industri yang boleh masuk ke pangsa
pasar hotel, restoran, dan katering (horeka)
dan industri daging, sementara pasar tradisional yang merupakan pasar
konsumen rumah tangga dilindungi Permendag No 46/2013 Pasal 17.
Sesungguhnya, kebijakan perlindungan pasar becek bagi pangsa
pasar daging lokal sudah tepat. Jika kebijakan itu diintervensi tentu yang
akan dirugikan adalah peternak sapi potong rakyat. Hal inilah yang mengundang respons negatif
dari para peternak sapi potong rakyat, yang merasa khawatir bahwa pangsa
pasarnya akan didistorsi oleh kebijakan impor tersebut.
Sesungguhnya kebijakan penurunan harga daging sapi, harus
dimulai dengan upaya peningkatan produksi dalam negeri, bukannya hanya
mengutak-atik kebijakan importasi. Kebijakan ini harus dituangkan melalui
grand strategy yang jelas terukur direalisasikan dalam program operasional
yang terstruktur dan komprehensif.
Selain itu, akar masalah
karut-marut kebijakan pengembangan sapi selama ini sesungguhnya berawal dari
data yang tidak akurat, karenanya perlu pendekatan metodologi analisis yang
mampu mengeliminasi kelemahan data tersebut. Dengan demikian, kebijakan yang dilahirkan
sesuai dengan harapan dan tujuan pembangunan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar