Minggu, 27 Maret 2016

Rezim Pers Vs Rezim Penyiaran

Rezim Pers Vs Rezim Penyiaran

Agus Sudibyo ;  Anggota Dewan Pers 2010-2013
                                                       KOMPAS, 26 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu masalah yang perlu dipecahkan dalam pembahasan Revisi UU Penyiaran di DPR saat ini adalah bagaimana menemukan titik temu antara regulasi tentang penyiaran dan regulasi tentang pers. Titik tolaknya adalah fakta bahwa setiap stasiun televisi menjalankan fungsi media hiburan sekaligus media jurnalistik. Bahkan, tiga stasiun televisi mendeklarasikan diri sebagai televisi berita. Persoalannya kemudian, jika muatan atau perilaku jurnalistik stasiun televisi dianggap bermasalah, regulasi mana yang menjadi acuan? Regulasi tentang pers atau tentang penyiaran? Merujuk kepada UU Pers atau UU Penyiaran?

Keselarasan pengaturan segi-segi jurnalisme dalam UU Pers dan UU Penyiaran perlu menjadi perhatian serius dalam revisi UU Penyiaran. Keselarasan itu sejauh ini belum sepenuhnya terwujud, baik dalam pengaturan di undang-undang, peraturan-peraturan di bawahnya, maupun dalam teknis pelaksanaannya oleh Dewan Pers ataupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Perbedaan yang amat menonjol adalah ketentuan sanksi bagi stasiun televisi yang melanggar perintah undang-undang. Kontroversi yang muncul belakangan adalah dapatkah izin siaran stasiun televisi dicabut atau dibatalkan karena pelanggaran berkategori berat, seperti penggunaan siaran televisi untuk kampanye politik reguler dan intensif?

Dalam penafsiran beberapa pihak, pencabutan atau pembatalan izin siaran ini sama artinya dengan pemberedelan. Padahal, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan jelas menyatakan: terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan siaran. Karena memiliki program jurnalistik dan struktur keredaksian, stasiun televisi adalah bagian dari pers dan harus dilindungi dari semua bentuk sensor, beredel, dan pelarangan siaran.

Pada sisi lain, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengatur sanksi pelarangan siaran dan pencabutan izin untuk media penyiaran. Pasal 55 Undang-Undang Penyiaran mengatur sanksi untuk media penyiaran sebagai berikut "pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran." Sanksi ini, misalnya, diterapkan untuk media penyiaran yang tidak menjaga netralitas dan terbukti berpihak kepada kepentingan tertentu (Pasal 36 Ayat 4 UU Penyiaran).

Beda cukup jelas

Cukup jelas di sini perbedaan sanksi maksimal yang bisa diterapkan untuk pelanggaran jurnalistik di media penyiaran. UU Penyiaran melembagakan sanksi maksimal berupa pencabutan izin siaran. UU Pers melembagakan sanksi maksimal berupa pidana denda. UU Penyiaran bertolak dari prinsip bahwa ruang publik penyiaran harus dilindungi dari praktik-praktik siaran yang merugikan masyarakat. Sementara UU Pers bertolak dari prinsip kebebasan pers yang tak menoleransi beredel dan pelarangan siaran.

Persoalan berikutnya, jika ada sengketa jurnalistik televisi, siapakah yang otoritatif menangani? Karena wujudnya sengketa jurnalistik, semestinya Dewan Pers yang menangani. Namun, karena sengketa itu terjadi melalui media penyiaran, KPI juga berwenang menanganinya. Dualitas otoritas penanganan sengketa jurnalistik media penyiaran ini perlu dipecahkan agar ada kepastian hukum tentang sengketa-sengketa jurnalistik di media penyiaran yang sering terjadi belakangan ini.

Pengalaman penulis sebagai anggota Dewan Pers periode 2010-2013 menunjukkan, dualitas ini sering dimanfaatkan media penyiaran. Jika KPI hendak menjatuhkan sanksi tegas untuk pelanggaran etika penyiaran tertentu, media penyiaran meminta perlindungan Dewan Pers. Demikian juga sebaliknya. Beberapa kali terjadi, KPI dan Dewan Pers berbeda pendapat tentang ada-tidaknya pelanggaran etika jurnalistik oleh media penyiaran, sanksi apa yang layak diterapkan, dan bagaimana pelaksanaan sanksi itu.

Penyelarasan itu perlu

Perlu diketahui, dalam menangani kasus sengketa jurnalistik televisi, Dewan Pers merujuk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Di sisi lain, KPI merujuk kepada UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Pasal 42 UU Penyiaran sebenarnya telah menyatakan, "Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Dengan membaca pasal ini, semestinya sengketa jurnalistik televisi menjadi ranah UU Pers dan Dewan Pers. Masalahnya, Pasal 42 ini hanya mengatur kewajiban wartawan, dan tidak secara eksplisit mengatur kewajiban institusi media. Hal itu membuka peluang bagi KPI ikut campur tangan jika muncul permasalahan pada aras yang sama dengan fokus pada penanganan institusi medianya.

Penyelarasan antara rezim pers dan rezim penyiaran mutlak diperlukan dalam regulasi tentang penyiaran ke depan. Perlu dipertimbangkan penyatuan regulasi tentang jurnalisme penyiaran (televisi dan radio) dalam satu undang-undang saja, apakah UU Penyiaran atau UU Pers. Hal ini penting untuk menjamin soliditas regulasi dan menghindari tumpang-tindih otoritas.

Jika pengaturan itu dilakukan melalui UU Pers, mungkin ada baiknya dalam rangka mengintegrasikan regulasi tentang jurnalisme pada tiga platform sekaligus: cetak, elektronik, dan digital. Akan sangat problematis jika tiga platform jurnalisme menuntut tiga regulasi yang terpisah.

Meskipun demikian, alternatif itu juga memiliki kelemahan. Jika undang-undang yang mengintegrasikan pengaturan tentang pers itu bermasalah, kita kehilangan alternatif undang-undang yang lain. Dengan kata lain, ada baiknya juga regulasi tentang jurnalisme penyiaran diatur dalam dua undang-undang dan dilaksanakan dua lembaga sekaligus, KPI dan Dewan Pers seperti saat ini. Jika salah satu lembaga terkooptasi kepentingan tertentu, masyarakat masih bisa berharap kepada lembaga yang lain untuk melakukan koreksi. Jika ternyata amandemen UU Pers tidak memenuhi prinsip-prinsip kebebasan pers, kita bisa berharap pada UU Penyiaran. Demikian juga sebaliknya. Dilema seperti inilah yang harus dipecahkan dalam amandemen UU Penyiaran mempertimbangkan pilihan-pilihan yang ada secara hati-hati dan saksama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar