Rezim Pers Vs Rezim Penyiaran
Agus Sudibyo ;
Anggota Dewan Pers 2010-2013
|
KOMPAS, 26 Maret
2016
Salah satu masalah yang perlu dipecahkan dalam pembahasan Revisi
UU Penyiaran di DPR saat ini adalah bagaimana menemukan titik temu antara regulasi
tentang penyiaran dan regulasi tentang pers. Titik tolaknya adalah fakta
bahwa setiap stasiun televisi menjalankan fungsi media hiburan sekaligus
media jurnalistik. Bahkan, tiga stasiun televisi mendeklarasikan diri sebagai
televisi berita. Persoalannya kemudian, jika muatan atau perilaku jurnalistik
stasiun televisi dianggap bermasalah, regulasi mana yang menjadi acuan?
Regulasi tentang pers atau tentang penyiaran? Merujuk kepada UU Pers atau UU
Penyiaran?
Keselarasan pengaturan segi-segi jurnalisme dalam UU Pers dan UU
Penyiaran perlu menjadi perhatian serius dalam revisi UU Penyiaran.
Keselarasan itu sejauh ini belum sepenuhnya terwujud, baik dalam pengaturan
di undang-undang, peraturan-peraturan di bawahnya, maupun dalam teknis
pelaksanaannya oleh Dewan Pers ataupun Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Perbedaan yang amat menonjol adalah ketentuan sanksi bagi
stasiun televisi yang melanggar perintah undang-undang. Kontroversi yang
muncul belakangan adalah dapatkah izin siaran stasiun televisi dicabut atau
dibatalkan karena pelanggaran berkategori berat, seperti penggunaan siaran
televisi untuk kampanye politik reguler dan intensif?
Dalam penafsiran beberapa pihak, pencabutan atau pembatalan izin
siaran ini sama artinya dengan pemberedelan. Padahal, Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan jelas menyatakan: terhadap pers
nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan siaran.
Karena memiliki program jurnalistik dan struktur keredaksian, stasiun
televisi adalah bagian dari pers dan harus dilindungi dari semua bentuk
sensor, beredel, dan pelarangan siaran.
Pada sisi lain, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran mengatur sanksi pelarangan siaran dan pencabutan izin untuk media
penyiaran. Pasal 55 Undang-Undang Penyiaran mengatur sanksi untuk media
penyiaran sebagai berikut "pembekuan kegiatan siaran untuk waktu
tertentu, tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran,
pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran." Sanksi ini, misalnya,
diterapkan untuk media penyiaran yang tidak menjaga netralitas dan terbukti
berpihak kepada kepentingan tertentu (Pasal 36 Ayat 4 UU Penyiaran).
Beda cukup jelas
Cukup jelas di sini perbedaan sanksi maksimal yang bisa
diterapkan untuk pelanggaran jurnalistik di media penyiaran. UU Penyiaran
melembagakan sanksi maksimal berupa pencabutan izin siaran. UU Pers
melembagakan sanksi maksimal berupa pidana denda. UU Penyiaran bertolak dari
prinsip bahwa ruang publik penyiaran harus dilindungi dari praktik-praktik
siaran yang merugikan masyarakat. Sementara UU Pers bertolak dari prinsip
kebebasan pers yang tak menoleransi beredel dan pelarangan siaran.
Persoalan berikutnya, jika ada sengketa jurnalistik televisi,
siapakah yang otoritatif menangani? Karena wujudnya sengketa jurnalistik,
semestinya Dewan Pers yang menangani. Namun, karena sengketa itu terjadi
melalui media penyiaran, KPI juga berwenang menanganinya. Dualitas otoritas
penanganan sengketa jurnalistik media penyiaran ini perlu dipecahkan agar ada
kepastian hukum tentang sengketa-sengketa jurnalistik di media penyiaran yang
sering terjadi belakangan ini.
Pengalaman penulis sebagai anggota Dewan Pers periode 2010-2013
menunjukkan, dualitas ini sering dimanfaatkan media penyiaran. Jika KPI
hendak menjatuhkan sanksi tegas untuk pelanggaran etika penyiaran tertentu,
media penyiaran meminta perlindungan Dewan Pers. Demikian juga sebaliknya.
Beberapa kali terjadi, KPI dan Dewan Pers berbeda pendapat tentang
ada-tidaknya pelanggaran etika jurnalistik oleh media penyiaran, sanksi apa
yang layak diterapkan, dan bagaimana pelaksanaan sanksi itu.
Penyelarasan itu perlu
Perlu diketahui, dalam menangani kasus sengketa jurnalistik
televisi, Dewan Pers merujuk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Di
sisi lain, KPI merujuk kepada UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran. Pasal 42 UU Penyiaran sebenarnya telah menyatakan,
"Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media
elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku."
Dengan membaca pasal ini, semestinya sengketa jurnalistik
televisi menjadi ranah UU Pers dan Dewan Pers. Masalahnya, Pasal 42 ini hanya
mengatur kewajiban wartawan, dan tidak secara eksplisit mengatur kewajiban
institusi media. Hal itu membuka peluang bagi KPI ikut campur tangan jika
muncul permasalahan pada aras yang sama dengan fokus pada penanganan
institusi medianya.
Penyelarasan antara rezim pers dan rezim penyiaran mutlak
diperlukan dalam regulasi tentang penyiaran ke depan. Perlu dipertimbangkan
penyatuan regulasi tentang jurnalisme penyiaran (televisi dan radio) dalam
satu undang-undang saja, apakah UU Penyiaran atau UU Pers. Hal ini penting
untuk menjamin soliditas regulasi dan menghindari tumpang-tindih otoritas.
Jika pengaturan itu dilakukan melalui UU Pers, mungkin ada
baiknya dalam rangka mengintegrasikan regulasi tentang jurnalisme pada tiga
platform sekaligus: cetak, elektronik, dan digital. Akan sangat problematis
jika tiga platform jurnalisme menuntut tiga regulasi yang terpisah.
Meskipun demikian, alternatif itu juga memiliki kelemahan. Jika
undang-undang yang mengintegrasikan pengaturan tentang pers itu bermasalah,
kita kehilangan alternatif undang-undang yang lain. Dengan kata lain, ada
baiknya juga regulasi tentang jurnalisme penyiaran diatur dalam dua
undang-undang dan dilaksanakan dua lembaga sekaligus, KPI dan Dewan Pers
seperti saat ini. Jika salah satu lembaga terkooptasi kepentingan tertentu,
masyarakat masih bisa berharap kepada lembaga yang lain untuk melakukan
koreksi. Jika ternyata amandemen UU Pers tidak memenuhi prinsip-prinsip
kebebasan pers, kita bisa berharap pada UU Penyiaran. Demikian juga
sebaliknya. Dilema seperti inilah yang harus dipecahkan dalam amandemen UU
Penyiaran mempertimbangkan pilihan-pilihan yang ada secara hati-hati dan
saksama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar