Pendamping Desa sebagai Orang Luar
Ivanovich Agusta ;
Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS, 29 Maret
2016
Kisruh pendampingan desa mengelompok pada dua persoalan. Pertama,
setelah menabur puluhan ribu konsultan pendamping program pemberdayaan
1998-2014, kini diunduh tuntutan kelanjutan lowongan kerja pendampingan.
Kedua, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
bersikeras menyediakan satu pendamping per desa guna menertibkan implementasi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Meskipun di lapangan kedua
pihak berhadapan demi kepentingan personalia, konsep yang diusung sama-sama
menempatkan pendamping sebagai ”orang dalam” pengaturan desa.
Kini ditemukan akar masalah pendampingan, yaitu justru orang
desa ditempatkan sebagai ”orang luar” dari pagar kebijakan desa. Mengayun
berlawanan dari proyek pemberdayaan dekade sebelumnya, dapat dipahami
ketiadaan pasal pendampingan dalam UU Desa. Namun, berbagai aturan dan desain
implementasinya mengembalikan peran pendamping sebagai penjaga kebijakan
pemerintah pusat di lapangan. Posisi itu menyeret pendamping jadi ”orang
dalam” bagi program pemerintah. Ini yang membuka wajah asli implementasi
secara top down meski berbedak
program pemberdayaan atau kebijakan desa membangun.
Pemberdayaan berbasis keputusan masyarakat (community-driven development/CDD) ciptaan Bank Dunia ini dimulai
dengan membangun pagar negatives list,
buah khuldi yang haram dipilih desa. Berprasangka desa kebablasan, dulu
program pemberdayaan antara lain melarang rehabilitasi bangunan pemerintahan.
Larangan ini diulang dalam Permendesa 21/2015 untuk penggunaan dana desa
2016. Berlanggam partisipasi, pendamping mencipta konsep halus untuk kontrol,
yaitu pengondisian. Musyawarah desa dikondisikan sehingga hasilnya sesuai
aturan jika perlu memutuskan proyek infrastruktur yang mudah dikontrol.
Gampang bagi pendamping mengondisikan desa karena program
pemberdayaan pada masa lalu mengharamkan peran pemerintah desa. Kekosongan
pucuk hierarki desa akhirnya ditempati pendamping. Apalagi, sebagai ”orang
dalam”, pendamping dinilai berkuasa sebagai wakil pemilik dana pemberdayaan.
Saat ini, pendamping ganti mewakili pemerintah pusat dalam mengarahkan dana
desa. Efektivitas pendampingan masih dinilai dari ketepatan pelaksanaan di
desa dengan aturan pemerintah pusat. Meniru program pemberdayaan,
standardisasi dituliskan sebagai petunjuk teknis operasional. Mengulang
sejarah, kontrol atas penerapan standardisasi ditegaskan melalui birokrasi
pendampingan. Gunanya, mengganjar dan menghukum pendamping secara terukur
dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, dan desa.
Mungkin pilihan pendampingan ”orang dalam” ala CDD dahulu tidak
sepenuhnya orisinalitas pemerintah. Sebab, Bank Dunia mengaku menyeragamkan
110 negara pengutang. Dalam 10 tahun terakhir saja berputar 28 miliar dollar
AS (sekitar Rp 364 biliun) pada lebih dari 600 proyek pemberdayaan. Sayang,
hasrat pemerintah menempatkan satu pendamping untuk satu desa periode
2015-2019 mengulang praktik pendamping sebagai ”orang dalam” guna mengetatkan
operasionalisasi UU Desa. Target rekrutmen berlebih 84.000 pendamping bagi
74.754 desa pasti mewujud hierarki pendampingan tingkat pusat, provinsi,
kabupaten, kecamatan, dan desa.
Arah ”orang luar”
Desakan ribuan pendamping agar terus direkrut telah menerbitkan
pertanyaan orang desa, ”Kalau pendamping sendiri tak mandiri, bagaimana mampu
memandirikan desa?” Menyarikan praktik bertahun-tahun, Budi Baik Siregar
menemukan desa-desa mandiri bergerak bersama pendamping sebagai ”orang luar”.
Orang desa sendiri menjadi subyek pengelola penataan hingga pembangunan, maka
berposisi sebagai ”orang dalam”.
Saat mempraktikkannya pada Program Inpres Desa Tertinggal,
Sajogyo dan Mubyarto mengingatkan prasyaratnya, yaitu memercayai aparat dan
warga desa. Termasuk, menghargai seluruh keputusan mereka dalam musyawarah
desa. sekaligus menghilangkan negatives
list, sebagai sisa tanda kecurigaan pada desa.
Menganut posisi pendamping sebagai ”orang luar”, kemandirian
justru diindikasikan lepasnya kebutuhan desa terhadap pendamping. Maka,
pendampingan senantiasa bersifat insidental, yaitu saat desa membutuhkan,
maka akan menggunakannya. Apalagi, UU Desa menjadi tugas rutin bagi
pemerintahan desa, bukan proyek ad hoc
dari pihak luar desa.
Konsekuensinya, jumlah pendamping tak perlu sebanyak desain
pemerintah, apalagi membayar birokrasi pendampingan. APBN dapat dihemat
hingga Rp 15 triliun sampai 2019. Dana desa Rp 600 juta pada 2016 cukup untuk
membayar pendamping. Sebagai perbandingan, rata-rata biaya pendamping program
pemberdayaan Rp 68 juta setahun. Agar pendamping selalu siap menerima
panggilan desa, Badan Pemberdayaan Masyarakat di kabupaten dapat berinisiatif
menyediakan tenaga fungsional pendamping. Hal itu termasuk menguatkan peran
pendampingan pada aparat kecamatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar