Ahokisasi
Sasongko Tedjo ;
Wartawan Suara Merdeka
|
SUARA MERDEKA, 21
Maret 2016
SALAH satu trending topic sepekan terakhir di
mediaa termasuk media sosial, adalah keputusan Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok untuk maju dalam pilkada DKI tahun 2017 lewat jalur independen. Gubernur
DKI itu mengaku memilih yang gratisan untuk maju pilgub dengan dukungan
‘Kawan Ahok’ yang sudah menghimpun lebih 759 ribu fotokopi KTP dukungan dan
akan dengan mudah menembus 1 juta. Sudah jauh melebihi syarat bagi calon yang
maju tanpa lewat partai. Sudah menjadi rahasia umum untuk maju lewat jalur
partai sangatlah mahal. Ada mahar politik dan biaya kampanye.
Untuk ongkos saksi di
TPS saja diperkirakan Rp 200 miliar belum yang lainnya. Darimana kelak uang
itu dikembalikan? Belum lagi ikatan dari partai politik yang tentu akan
menjadi beban tersendiri kalau sudah menjadi gubernur atau bupati/wali kota.
Menentukan wakilnya pun tidak bebas. Fenomena ini kemudian ramai
diperbincangkan sebagai upaya deparpolisasi. Sebenarnya lebih tepat dikatakan
sebagai Ahokisasi.
Yakni keberanian untuk
‘meninggalkan parpol’ dalam pilkada. Dan itu dimungkinkan oleh Undang Undang
Pilkada setelah Mahkamah Konstitusi ‘merevisi’nya. Sejarah politik di negeri
ini juga sudah melahirkan kepala daerah yang terpilih lewat jalur independen.
Sesuatu yang beberapa tahun lalu tampak mustahil. Di Jawa Tengah, pasangan Abdul
Hafidz-Bayu Adriyanto memenangkan pilkada Kabupaten Rembang. Di daerah lain
tercatat tidak kurang 15 kepala daerah yang terpilih tanpa melalui parpol.
Maka ini adalah
fenomena baru yang perlu dicermati dalam perpolitikan dan perkembangan
demokrasi di tanah air. Ada beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama
deparpolisasi terjadi akhir akhir ini dalam wujud sikap masyarakat yang tidak
terlalu percaya lagi kepada partai politik. Elit parpol cenderung kurang
aspiratif dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri.
Kedua, elit parpol
seringkali terlalu pragmatis dan lebih suka memilih orang yang bermodal besar
untuk dicalonkan tanpa melihat integritas dan kompetensinya. Atau orang yang
sekadar populer misalnya dari kalangan artis. Dalam konteks ini mereka seperti
menghalalkan politik uang dan akhirnya berujung pada penyuburan praktek KKN.
Ketiga, kekritisan
masyarakat semakin terlihat. Kalau lewat parpol dianggap sudah buntu mereka
berani menyalurkan aspirasi lewat jalur lain untuk memperoleh pemimpin
seperti yang diharapkan. Tidak korup, jujur dan benar-benar memihak kepada
rakyat. Dari sana yang paling berkepentingan untuk melakukan introspeksi
adalah partai politik.
Sikap Ahok yang berani
meninggalkan parpol bisa jadi merupakan cerminan protes masyarakat sehingga
dukungan murni yang mengalir akan sangat sulit dibendung. Partai politik
selama ini kurang cekatan dan transparan dalam melakukan perekrutan calon
pemimpin. Prosedur terlalu panjang justru menampakkan ketidakcerdasan. Bahkan
ada yang masih melakukan tes psikologi dan potensi dasar. Padahal track
record adalah segalanya.
Pemimpin tidak bisa
dicetak dan dilahirkan di bangku pendidikan namun di lapangan dan oleh
serangkaian pengalaman. Pemimpin juga tidak bisa instan namun telah melampaui
berbagai ujian. Integritas, komitmen dan kapasitas bisa dilihat kalau kita
jeli. Dan itulah seharusnya yang dilakukan partai politik. Jangan sampai
mereka justru kalah pintar dari rakyat sehingga ditinggalkan. Sekarang elit
politik sibuk berupaya melakukan revisi UU Pilkada untuk memperberat syarat
calon perseorangan. Semakin banyak diganjal, maka semangat perlawanan itu
justru akan memancar.
Kita masih ingat
bagaimana Tri Rismaharini berusaha digagalkan pencalonannya pada pilkada
Surabaya tahun lalu namun akhirnya tetap melaju. Parpol seharusnya sudah
menerima pelajaran penting dari sana. Menanggapi upaya menaikkan syarat
dukungan calon independen, Ahok dengan tenang mengatakan tidak masalah karena
itu hanya akan membuat ‘Kawan Ahok’ bekerja lebih keras.
Keyakinannya juga
didasarkan pada hasil beberapa survei yang menyebutkan kepuasan warga ibu
kota terhadap gubernurnya meningkat hingga 53 persen. – Keterpilihan Ahok pun
masih jauh meninggalkan nama-nama yang disebut akan maju sebagai cagub DKI
seperti Adyaksa Dault, Sandiaga Uno dan Haji Lulung. Jadi? Tetaplah adagium
lama mengatakan vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Maka parpol
harus bisa “mendeteksi” kemana suara rakyat akan diberikan.
Ahokisasi adalah
pelajaran demokrasi yang hakiki. Walaupun dari kelompok minoritas dari segi
etnis dan agama, tetaplah diberikan kepercayaan karena ukurannya bukan di
sana. Justru itulah tanda kemajuan demokrasi yang sebenarnya. Ini tidaklah
sama dengan deparpolisasi karena sebenarnya kita juga membutuhkan parpol yang
kuat dan calon independen sebenarnya tidaklah ideal dalam sistem
ketatanegaraan kita. Maka anggaplah ini seperti ‘goro-goro’ dalam dunia
pewayangan, untuk mendewasakan parpol kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar