Hasrat Besar Turunkan Suku Bunga
A Tony Prasetiantono ;
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS, 28 Maret
2016
Hasrat besar pemerintah untuk menurunkan suku bunga bank
tampaknya tengah menemukan momentumnya. Di seluruh dunia, kini tengah terjadi
tren itu secara masif, bahkan mulai masuk era suku bunga negatif di Eropa dan
Jepang. Namun, apakah keinginan untuk membuat suku bunga kredit menjadi di
bawah 10 persen bisa teralisasikan pada akhir tahun 2016? Tantangannya masih
banyak.
Di Amerika Serikat (AS), suku bunga diturunkan tajam dari 5
persen ke 0,25 persen, untuk meredam krisis kredit kepemilikan rumah subprima
(subprime mortgage) periode 2008-2009. Tujuannya adalah mendorong belanja,
baik oleh investor maupun konsumen. Perekonomian akan bergerak jika gairah
belanja kuat. Ben S Bernanke menulis di Brooking Institutions (2015), bahwa
suku bunga AS pernah membubung hingga 15 persen (1981) karena inflasi tinggi
yang disebabkan kenaikan harga minyak dunia, tetapi kemudian berangsur-angsur
dapat diturunkan, seiring dengan keberhasilan AS menurunkan inflasi.
Sementara itu, fenomena suku bunga negatif pertama kali
dilakukan Swedia (2009), tetapi menemukan momentumnya saat Gubernur Bank
Sentral zona euro, Mario Draghi, melakukannya (2014). Tujuannya agar bank
komersial Eropa tidak menaruh dananya di bank sentral. Saat ini, jika menaruh
atau menyimpan uangnya di bank sentral, bank komersial harus membayar bunga
0,4 persen. Perekonomian Eropa memerlukan perbankan yang ekspansif mendorong
kredit kepada masyarakat, bukan malah menyimpannya di bank sentral. Swiss dan
Denmark juga menempuh kebijakan ini. Jepang juga mengikuti jejak ini sejak
Januari 2016.
Sejauh ini, kebijakan ini baru dilakukan pada transaksi
penyimpanan uang oleh bank komersial di bank sentral, biasanya jangka pendek
atau harian (overnight). Hanya sangat sedikit bank komersial yang “berani”
memberlakukan suku bunga negatif kepada nasabahnya. Mereka takut nasabah bisa
kabur.
Menurut Bloomberg, Jumat (18/3), kebijakan ini menyebabkan
sedikitnya 7 triliun dollar AS obligasi pemerintah negara maju dilepas selama
Februari 2016. Terjadilah migrasi dana ke negara yang ekonominya tengah
bertumbuh (emerging markets) yang suku bunganya positif. Indonesia mendapat
manfaat berupa aliran modal masuk sehingga cadangan devisa naik ke 105 miliar
dollar AS, dan rupiah sempat menguat ke Rp 13.000 per dollar AS.
Rupiah terkoreksi sedikit ke Rp 13.150 per dollar AS ketika suku
bunga acuan BI turun ke 6,75 persen. Namun, itu tidak masalah karena kita
juga tidak ingin rupiah menguat terlalu cepat karena rawan spekulasi (aksi
jual rupiah) dan mengganggu kinerja ekspor. Lalu, bagaimana prospek penurunan
suku bunga kita ke depan?
Faktor pertama tentunya adalah inflasi. Selama 2015, inflasi kita
memang rendah 3,35 persen. Dalam dua bulan pertama 2016, inflasi hanya 0,51
persen (Januari) dan deflasi 0,09 persen (Februari). Jadi, inflasi kalender
hanya 0,42 persen. Sementara dalam 12 bulan terakhir, inflasi kita 4,42
persen. Dengan asumsi inflasi rendah bisa kita pertahankan hingga akhir
tahun, serta penurunan suku bunga tidak terlalu elastis terhadap depresiasi
rupiah, suku bunga acuan BI taruhlah masih bisa diturunkan ke 6,25 persen.
Selanjutnya, apakah itu bisa membuat suku bunga kredit menjadi
di bawah 10 persen? Secara garis besar, kredit dibagi jadi beberapa jenis:
(1) kredit korporasi yang skalanya ratusan miliar hingga triliunan rupiah;
(2) kredit komersial yang berada di bawahnya; (3) kredit konsumen yang
peruntukannya belanja nasabah: mobil, apartemen, kartu kredit; dan (4) kredit
menengah, kecil dan mikro.
Yang paling sulit adalah untuk kelompok kredit kecil dan mikro.
Bank harus melayani akun-akun kecil dalam jumlah besar sehingga memerlukan
banyak staf untuk menanganinya. Profil risikonya besar, dan harus bersaing
dengan bank perkreditan rakyat (BPR) serta lembaga-lembaga finansial lain,
baik formal maupun informal, yang memiliki struktur ongkos tinggi.
Terobosan Presiden Joko Widodo dengan Kredit Untuk Rakyat (KUR)
yang berbunga 9 persen, dengan dana sebesar Rp 100 triliun tahun ini,
menimbulkan tanda tanya besar bagi keberlanjutan BPR. Apakah BPR akan bisa
bertahan terhadap “gempuran” KUR?
Di Indonesia saat ini terdapat 1.641 BPR. Kelahirannya dibidani
pemerintah melalui deregulasi 27 Oktober 1987, yang tujuannya untuk
memberikan akses kepada nasabah di pelosok-pelosok agar terjangkau jasa
keuangan formal.
Saat ini BPR mengumpulkan dana nasabah (pihak ketiga) Rp 84
triliun, yang sebagian besar merupakan dana mahal. Deposan mau menyimpan
dananya di BPR karena suku bunganya lebih tinggi daripada bank umum.
Penyaluran kredit BPR mencapai Rp 98 triliun. Berarti jika pemerintah
menggelontorkan KUR Rp 100 triliun, pangsa pasar BPR pun bakal tersapu
bersih.
Kesimpulan, penurunan suku bunga merupakan sebuah keniscayaan di
Indonesia asalkan didukung oleh inflasi rendah dan stabilitas rupiah. Namun,
tidak semua jenis suku bunga dapat diturunkan secara cepat. Suku bunga kredit
korporasi, komersial, dan kredit konsumen rasanya bisa melakukannya. Namun,
untuk UMKM, banyak hal yang mesti dilihat kembali. Jumlah bank yang masih
terlalu banyak (119 bank) juga menjadi salah satu alasan terpenting, mengapa
kita kalah efisien terhadap negara-negara tetangga yang banknya terus
berkonsolidasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar