Senin, 28 Maret 2016

Media Siaran Dibredel

Media Siaran Dibredel

Atmakusumah ;  Pengamat Pers;  Ketua Dewan Pers (2000-2003)
                                                       KOMPAS, 28 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sungguh akan sangat mengejutkan apabila benar bahwa Komisi Penyiaran Indonesia ingin menutup stasiun televisi swasta yang memiliki setumpuk kesalahan berupa pelanggaran terhadap Undang-Undang Penyiaran dalam 10 tahun terakhir.

Ini merupakan pembredelan media siaran televisi. Peristiwa ini, jika terjadi, pasti menghebohkan secara internasional sebab belum pernah terjadi baik pada masa Reformasi maupun pada masa Orde Baru.

Ada 10 stasiun televisi swasta yang telah beroperasi selama 10 tahun sehingga perlu memperoleh perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran dari pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005, stasiun televisi itu harus mengajukan permintaan perpanjangan izin secara tertulis kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui KPI.

Seperti dijelaskan Sabam Leo Batubara dalam "Menyoal Perpanjangan Izin Penyiaran" di Kompas (12/3), KPI akan mengevaluasi program siaran ke-10 stasiun televisi itu selama 10 tahun beroperasi. Hasil penilaian KPI merupakan bahan pertimbangan Menteri Kominfo untuk memperpanjang atau, sebaliknya, menolak perpanjangan izin.

Bahan yang dinilai dalam evaluasi ini adalah surat teguran tertulis yang pernah disampaikan KPI kepada setiap stasiun televisi itu. Diberitakan pula bahwa KPI juga akan minta pendapat khalayak umum-tentunya para penonton televisi. Gagasan ini ramai diperdebatkan dan ditentang Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia Ishadi Sutopo Kartosaputro serta Ketua dan Wakil Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq dan Tantowi Yahya.

KPI dilematis

KPI berada dalam posisi dilematis seandainya menyarankan kepada Kementerian Kominfo untuk menutup atau membredel stasiun televisi. Jika alasannya karena pelanggaran yang menyangkut pemberitaan atau karya jurnalistik, jelas bahwa pembredelan terhadap media pers dilarang UU Pers. Jika alasannya karena program bukan-jurnalistik, lalu bagaimana nasib unsur pers dalam media siaran itu?

UU Pers kita yang berlaku sekarang sangat unik karena tidak hanya melindungi kebebasan media pers cetak, tetapi juga kebebasan karya jurnalistik pada media siaran radio dan televisi serta "segala jenis saluran yang tersedia". Dengan demikian, pemberitaan dan pembicaraan-seperti bincang-bincang (talkshow)-yang berkaitan dengan berita dalam siaran radio dan televisi dipersamakan kedudukannya dengan karya jurnalistik yang dimuat dalam media pers cetak, seperti surat kabar, majalah, dan tabloid.

Ini merupakan ketentuan hukum yang tidak lazim karena di negara-negara lain UU Pers biasanya hanya mengatur masalah kebebasan yang luas bagi media pers cetak. Sementara kebebasan media siaran lebih terbatas karena media ini menggunakan spektrum frekuensi radio yang merupakan milik publik.

Penjelasan Pasal 4 UU Pers menyatakan pada Ayat 2 bahwa "Penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik. Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku."

Para perumus UU Pers, baik dari Komisi I DPR maupun dari pemerintah, yaitu dari Departemen Penerangan, menyepakati perluasan makna "pers" dari media pers cetak sampai ke karya jurnalistik media siaran radio dan televisi. Dengan demikian, perlindungan UU Pers terhadap kebebasan pers di negeri ini tidak berakhir pada media pers cetak semata-mata, tetapi meluas sampai ke media elektronik-dan bahkan ke "segala jenis saluran yang tersedia."

Kode Etik Jurnalistik kita, yang berlaku secara nasional sejak awal 2006, juga memuat beberapa pasal etika pers yang dapat digunakan sebagai panduan dalam penyiaran karya jurnalistik untuk media siaran radio dan televisi.

Misalnya, Pasal 2 menyatakan, "Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik." Pasal itu ditafsirkan antara lain: "Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang"; dan "Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara."

Di Australia dan AS

Di Australia, seperti dicatat dalam tulisan Leo Batubara, Australian Broadcasting Authority (ABA) di Sydney tidak pernah menutup media siaran karena sistem kerjanya lebih diarahkan kepada upaya pembinaan agar media itu tidak mengulangi pelanggaran. Akan tetapi, ABA memang sangat selektif dalam memberikan izin bagi penggunaan spektrum frekuensi radio. Umpamanya, ABA tidak memberikan izin kepada media siaran yang akan didirikan dan dikelola kalangan yang diketahui berideologi radikal-yang siarannya dikhawatirkan akan bernada provokatif.

Pada saat rancangan UU Penyiaran tahun 2002 (yang berlaku sekarang) dibahas dalam suatu seminar di Jakarta pada masa awal Reformasi, seorang pengamat media siaran dari Amerika Serikat mengungkapkan, di negeri itu dalam 25 tahun terakhir hanya pernah terjadi penutupan satu media siaran radio.

Itu adalah satu dari antara sekira 25.000 stasiun radio yang ada pada waktu itu di Amerika Serikat. Jika sampai saat ini tidak pernah lagi terjadi penutupan stasiun radio, ini berarti bahwa pembredelan terhadap media siaran di Amerika Serikat hanya pernah terjadi satu kali dalam waktu 40 tahun.

Penyebab pembredelan itu dikategorikan fatal di negeri itu karena siarannya dianggap rasis dan stasiun radio itu sudah dua kali diperingatkan oleh Federal Communication Commission (FCC). FCC lebih memiliki kekuasaan hukum daripada KPI. Walaupun sama-sama lembaga negara, FCC dapat menetapkan sanksi hukum sendiri, sedangkan KPI hanya dapat mengusulkan kepada Kementerian Kominfo untuk menentukan sanksi hukum.

Selama berlangsung pembahasan rancangan UU Penyiaran pada masa awal Reformasi, ada usulan di kalangan para pengamat media siaran untuk menempatkan KPI pada kedudukan dengan kekuasaan seperti FCC. Akan tetapi, para ahli hukum kita mengatakan bahwa dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia hanya instansi pemerintah yang dapat memiliki kekuasaan hukum.

Putusan KPI tidak ditunda

Kedua contoh tentang penyelesaian bagi pelanggaran terhadap peraturan dan pedoman untuk media siaran, yang satu di Australia dan lainnya di Amerika Serikat, tecermin dalam saran kepada KPI dari Leo Batubara dalam tulisannya di Kompas, yaitu KPI sebaiknya melakukan "koreksi seketika" sehingga pelanggaran oleh media siaran dapat diselesaikan dengan cepat dan kebijakan siaran bisa "diluruskan" kembali. Jadi, bukan berlarut-larut menumpukkan surat teguran tertulis selama 10 tahun dan ditambah dengan berderet-deret pendapat khalayak penonton-yang mungkin bisa berakhir pada kesimpulan untuk membredel.

Cara "kerja cepat" ini sudah lazim dilakukan Dewan Pers ketika menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik akibat pemberitaan antara subyek berita atau narasumber dan media pers. Perundingan mediasi di Dewan Pers adakalanya dihadiri belasan redaktur penanggung jawab sampai ke pemimpin tertinggi, seperti pemimpin redaksi dan pemimpin umum. Yang dibahas mulai dari masalah penggunaan bahasa yang kasar sampai ke pemberitaan yang tidak benar bahwa dua jenderal terlibat dalam pengeboman oleh teroris yang mengakibatkan 200 jiwa menjadi korban.

Benar, seperti dikatakan Leo Batubara, KPI sepatutnya dihargai sebagai mitra yang membantu dan melindungi industri penyiaran agar menjadi sehat dan bertanggung jawab. Saya percaya, tak ada kalangan yang ingin melihat wibawa KPI terjerembap. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar