Tak Pilih Ahok, Memilih Ahok
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan
Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 19 Maret
2016
Akhir pekan lalu,
seusai memberi kuliah di Pascasarjana UGM kelas Jakarta, saya turun dengan
satu lift bersama beberapa mahasiswa untuk pulang dari kampus yang terletak
di Jalan Saharjo, Manggarai itu.
Di dalam lift terjadi
pembicaraan. ”Eh, jadi kamu pilih siapa pada Pilgub DKI besok?” tanya seorang
mahasiswa kepada seorang mahasiswi. ”Aku tak pilih Ahok,” jawab mahasiswi yang
ditanya itu. Karena jawaban ”Aku tak pilih Ahok” itu diucapkan dalam bahasa
Jawa maka berarti mahasiswi itu akan memilih Ahok.
Dalam bahasa Jawa kata
”tak” itu berarti akan. Seumpama sang mahasiswi tak mau memilih Ahok, tentu
jawabannya (dalam bahasa Jawa), ”Aku gak tak pilih Ahok”. Mahasiswi itu pun
menjelaskan alasannya dengan penuh semangat. Katanya, Ahok tegas dan berani
melawan korupsi. Seorang mahasiswa lain menimpali.
”Kalau saya akan pilih
Yusril, dia juga antikorupsi dan banyak pengalaman,” katanya dengan tegas.
Yang ini dinyatakan dengan bahasa Indonesia yang jelas sehingga artinya pun
jelas: dia akan memilih Yusril. ”Yusril itu oye, ” tegasnya. ”Loh, Ahok bukan
hanya oye tapi juga ayo,” bantah si mahasiswi. Tiba-tiba seorang mahasiswa
menyeletuk. ”Kalau Pak Mahfud akan memilih siapa?” tanyanya.
Saya agak kaget,
mahasiswa-mahasiswa di lift itu pun melihat saya. Ada yang tampak heran
karena ada mahasiswa menanyakan itu kepada dosen yang baru saja memberi
kuliah Politik Hukum selama 2,5 jam. ”Saya tidak akan memilih Ahok. Tidak
akan,” jawab saya. Mahasiswa-mahasiswa itu berebutan memberondong saya.
”Mengapa? Apakah Bapak
akan memilih Yusril? Apakah Bapak tidak setuju calon independen? Apakah
karena akan terjadi deparpolisasi? Ataukah Bapak akan memilih Ahmad Dhani?”
demikian berondongan mereka. ”Saya tidak akan memilih Ahok. Saya juga tidak
akan memilih Yusril, Dhani, Adhyaksa, Uno, atau siapa pun karena saya orang
Yogya. Saya tak punya hak pilih di Jakarta. Saya ber-KTP Yogya,” kata saya.
Di antara mereka ada
yang tersenyum-senyum, tetapi ada juga yang seperti agak kaget mendengar saya
ber-KTP Yogya, padahal sudah lebih dari 15 tahun bertugas di Jakarta. Lift
berhenti di lobi kampus, kami pun keluar menuju kendaraan masingmasing untuk
pulang. Celotehan-celotehan yang hanya berlangsung beberapa saat itu cukuplah
membawa saya merenung banyak hal.
Ternyata Pilgub DKI
Jakarta bukan hanya ramai di koran, televisi, dan media sosial, tetapi riuh
juga di jalanan, perkuliahan, warung makan, dan tempat-tempat lain. Banyak
juga yang peduli pada soal deparpolisasi versus calon independen. Rasanya
tidaklah perlu kita memperdebatkan, apakah munculnya calon independen harus
berarti deparpolisasi.
Sebagai bagian dari
sistem, keduanya harus dibiarkan berjalan tanpa dipertentangkan karena
keduanya sama-sama konstitusional. Parpol adalah bagian dari sokoguru
demokrasi yang diniscayakan oleh konstitusi kita. UUD Negara Republik
Indonesia 1945 menyebut adanya parpol secara eksplisit, seperti yang dimuat
di dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3). Oleh karena itu, tidak
boleh ada deparpolisasi.
Parpol adalah
instrumen utama demokrasi yang keberadaannya harus disehatkan dan dikuatkan.
Deparpolisasi yang berdempetan dengan kebencian terhadap Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) karena dianggap sebagai sarang korupsi, tidak boleh
diterus-teruskan. Teriakan-teriakan seperti yang muncul dalam berbagai dialog
interaktif dan perang opini, ”bubarkan parpol, bubarkan DPR” harus
dihentikan.
Adalah lebih baik ada
parpol dan DPR yang buruk daripada tidak ada parpol dan DPR. Itu dalilnya.
Tidaklah terbayangkan akan seperti apa negara ini jika tidak ada parpol dan
DPR, sebab bukan hanya kesewenang-wenangan yang akan merajalela, melainkan
juga korupsi dan kolusi yang lebih menggurita.
Maka itu, sudah
tepatlah kita menganut prinsip demokrasi dengan instrumen, antara lain, harus
ada parpol dan DPR menurut konstitusi kita. Sudahlah pasti, dalam keadaan seperti
sekarang ini parpol dan DPR harus membenahi diri agar tidak dibenci oleh
masyarakat.
Memang bukan rahasia,
parpol dan DPR banyak melahirkan koruptor sehingga ada yang mengatakan dengan
kasar bahwa parpol dan DPR itu tempat peternakan koruptor. Banyak yang hafal di
luar kepala, nama parpol dan kadernya di DPR yang dipenjarakan sebagai
koruptor. Semua parpol yang memiliki kursi atau berhasil mengirim wakil di
DPR, sekarang ini telah memiliki wakil koruptor juga di penjara atau di rumah
tahanan KPK. Meski begitu, tetap saja tidak boleh ada deparpolisasi. Pilihan
konstitusional dan rasionalnya adalah menyehatkan parpol, bukan mengerdilkan,
apalagi membunuhnya.
Munculnya calon
independen adalah ihwal lain yang tak bisa dikaitkan dengan deparpolisasi.
Pembukaan peluang bagi calon independen untuk berkontes dalam pilkada
merupakan pintu masuk yang dibuka secara konstitusional bagi tokoh-tokoh
perseorangan yang bagus, namun tidak bisa mendapat tiket dari partai. Hal
seperti itu banyak sekali terjadi, tokoh yang baik dan diinginkan oleh rakyat
ternyata tidak mendapat dukungan parpol.
Maka itu melalui
Putusan No. 5/PUU-V/2007, MK membuka pintu hukum bagi masyarakat untuk
mengajukan calon perseorangan yang tidak diusung oleh parpol, yang kemudian
disebut sebagai calon independen. Ketentuan ini kemudian diadopsi di dalam UU
Pilkada kita. Itu bukan deparpolisasi, tetapi perluasan kanal demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar