Herakleitos
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO, 28 Maret
2016
"Semua hubungan yang tetap, yang cepat membeku, beserta
deretan prasangka dan opininya yang kuno, disapu hanyut. Semua hal yang baru berbentuk
dengan segera jadi usang…. Semua hal yang solid meleleh ke udara…."
Di tahun 1848, dengan kalimat
yang dramatis itu, Manifesto Komunis menggambarkan datangnya zaman ketika
modal memasuki kehidupan sosial. Marx dan Engels tak meramal ke masa depan;
mereka hanya memaparkan betapa menakjubkannya kaum borjuis mengubah dunia.
Dan mengguncang-guncangnya.
Tapi di abad ke-21, kalimat itu
jadi mirip nujum.
Setelah satu abad merupakan
sistem yang kukuh (yang disebut Werner Sombart sebagai
"kapitalisme"), menjelang akhir abad ke-20, gerak modal, yang kini
ada di mana-mana, kembali ditandai ketidakstabilan: kapital jadi global,
bergerak dalam "deteritorialisasi", batas wilayah raib. Ada yang
menyebutnya sebagai "modal yang tak sabar". Nilai saham,
perpindahan milik, perpindahan tempat dan tenaga kerja, arus jasa dan benda,
tak pernah bisa ajek. Bung Karno pernah menggambarkan revolusi sebagai
dinamika "menjebol dan membangun", tapi sebenarnya kapitalisme yang
pada akhirnya demikian. Tema guncangan hari ini tak jauh berbeda dari masa
Manifesto Komunis.
Kita tengah terseret hidup ke
dalam kondisi Herakleitosian. Kata-kata Herakleitos, pemikir Yunani
pra-Sokrates yang hidup 500 tahun sebelum Masehi, ini berlaku sekarang:
"Panta rhei… tiap hal berubah
dan tak ada yang tetap", dan "kita tak pernah bisa masuk ke dalam
arus yang sama". Atau: "Semua entitas bergerak dan tak ada yang
berhenti". Satu-satunya yang permanen adalah perubahan itu sendiri.
Sosok kapitalisme sendiri
mengalami mutasi, seperti organisme yang berubah dalam lingkungan yang
berbeda. Ketika teknologi digital masuk ke dalam kehidupan, para kapitalis
terkadang seperti tak mengenali posisi mereka sendiri lagi. Kini semboyan
lama "pembeli adalah raja" bukan lagi menghadirkan konsumen sebagai
konsep yang abstrak. Dengan pelbagai instrumen interaktif, konsumen—sang
"raja"—adalah orang seorang yang konkret, mirip pelanggan di kedai
kecil di masa lalu. Pemilik modal tak bisa sewenang-wenang mengarahkan pasar.
Dan pasar dan persaingan pun berubah jadi sangat heterogen, dengan cepat.
Kini ada yang melihat munculnya distributed
capitalism—yang belum disadari pengusaha taksi Blue Bird, misalnya.
Perubahan kendali modal tak
hanya di sana. Di masa lalu, kerja diorganisasi dalam piramida yang kukuh,
dengan struktur terpusat; waktu kerja buruh dihitung dengan standar yang
tetap. Kini apa yang disebut "kerja imaterial" mulai memimpin
dinamika produksi: menghasilkan ide-ide, survei, program, teks, desain,
konsultasi psikologis, layanan medis....
Hasilnya bukan cuma benda dan jasa,
tapi juga komunikasi dan kerja sama, bahkan gaya hidup. Waktu kerja tak dapat
dibakukan (berapa harga desain sebuah logo jika dihitung dengan jam kerja?),
kendali manajemen tak bisa jadi linear. Pengawasan institusional atas arus
hasil kerja dan informasi tak bisa lagi utuh terpadu.
Satu dasawarsa yang lalu ada
yang melihat perubahan ini dengan optimisme. Antonio Negri dan Michael Hardt
menulis Empire (2000) dan Multitude (2004) untuk memperlihatkan,
dengan bergelora, bahwa pekerja di bawah kapitalisme yang Herakleitosian ini
akan jadi kekuatan alternatif. Mereka bukan proletar, karena hubungan dan
sifat kerja sudah berubah.
Mereka bukan bangsa, karena negara-bangsa jadi tak
relevan dalam hubungan modal-dan-pekerja ini. Mereka adalah multitude. Mereka, tanpa rencana tanpa
organisasi, muncul sebagai semacam sosok, Gestalt,
dari arus deras informasi, jaringan antarmanusia, dengan hierarki yang tak
menentu, dengan pelbagai kontradiksi dan dikotomi yang menyebar—sebagaimana
kontak yang tak selamanya disadari antara buruh di Cengkareng dan desainer di
Milan. Mereka merupakan sumber demokratisasi yang sekarang sedang menjalar.
Menarik bahwa disuarakan dari
semangat yang antikapitalisme, Empire
dan Multitude menghasilkan
optimisme yang sama dengan apa yang disuarakan Thomas Friedman yang datang
dari sisi lain: The Lexus and the Olive
Tree berbicara bukan tentang pekerja, melainkan konsumen dan perannya
dalam demokratisasi.
Bisakah kita berharap? Lebih
dari satu dasawarsa kemudian, belum ada tanda yang meyakinkan bahwa optimisme
itu berdasar. Demokratisasi yang terjadi di Dunia Arab, misalnya, punya sisi
buruk dan baik. Dalam zaman Herakleitosian ini, kita toh tak bisa melupakan
apa yang dikatakan sang filosof kuno: alam semesta yang paling apik (kallistos kosmos) pun hanya
"sebuah onggokan sampah yang acak". Kita hidup dalam keadaan serba
mungkin, tidak ditentukan sebuah kodrat. Dengan kata lain, sebuah keadaan
yang acak, tak berarah.
Mungkin itu nasib yang
buruk—atau justru dasar kemerdekaan manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar