Kita dan Wajah Suram Arab
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
UIN Syarif Hidayatullah
|
KOMPAS, 28 Maret
2016
Sehabis menyaksikan gerhana matahari total di Palu, 9 Maret
lalu, saya makan siang satu meja di rumah dinas gubernur Sulawesi Tengah
bersama Jusuf Kalla dan Imam Daruquthny, intelektual Muhammadiyah; serta
Farid Masdar Mas'udi, kiai intelektual Nahdlatul Ulama.
Jusuf Kalla (JK) mengatakan, para ilmuwan jauh-jauh hari sudah
bisa menghitung, tanggal, jam, dan tempat kapan dan di mana gerhana matahari
total bisa disaksikan. Ratusan ilmuwan asing berdatangan ke Palu untuk
menyaksikan fenomena alam langka ini. Ternyata perhitungannya tepat. Jarak
putar bulan dan matahari bisa dihitung secara ilmiah.
Lalu, dia bertanya kepada dua intelektual Muhammadiyah dan NU
itu, apakah susahnya umat Islam Indonesia menentukan datangnya Ramadhan dan
Idul Fitri? Tolonglah Muhammadiyah dan NU bermusyawarah mencari titik temu.
Tentu masing-masing harus saling mengalah untuk memperoleh kesepakatan.
Bukankah masalah khilafiah hukum selalu memungkinkan ditafsir ulang karena
masuk wilayah ijtihadi? Anehnya, meskipun Muhammadiyah dan NU berbeda dalam
menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, mereka sepakat kembali merayakan
tahun baru Hijriah. Ini tidak konsisten.
Dunia Arab
Menurut JK, kita mesti bersyukur, perbedaan dalam menentukan
awal Ramadhan di Indonesia tentu saja tidak separah perbedaan yang terjadi di
dunia Arab yang mengarah pada peperangan sesama Muslim. Jangankan bagi orang
awam, para pengamat ahli Timur Tengah pun merasa kesulitan meramalkan kapan
dunia Arab akan meraih kedamaian. Infrastruktur dan kebudayaan Arab yang
dibangun ratusan tahun hancur hanya dalam hitungan dekade dan akan memakan
waktu lama untuk memulihkan kembali. Itu pun kalau bisa.
Begitu banyak variabel yang membuat suasana politik Timur Tengah
kian semrawut dan menyedihkan. Sedikitnya, menurut JK, terdapat tujuh akar
persoalan pokok yang saling berkaitan yang tak mudah diselesaikan bersamaan.
Pertama, sentimen sukuisme yang mengakar kuat di dunia Arab
sejak ratusan tahun lalu yang sewaktu-waktu berpotensi menimbulkan konflik
dan peperangan. Kedua, kemunculan konflik baru gerakan rakyat
pseudo-demokrasi versus penguasa tiran. Gerakan rakyat ini berhasil
menumbangkan Presiden Tunisia Zainuddin bin Ali, disusul jatuhnya Presiden
Mesir Hosni Mubarak, lalu pemimpin Libya Moammar Khadafy, Presiden Yaman Ali
Abdullah Saleh, dan sebelumnya dengan sebab yang berbeda didahului kejatuhan
penguasa Irak Saddam Hussein. Semua itu merupakan tsunami politik di Arab
yang membuat wajah Timur Tengah dan Islam semakin suram, menakutkan, dan
sekaligus mengenaskan.
Ketiga, konflik kelompok Sunni dan Syiah juga telah memicu
krisis politik yang berkepanjangan di Timur Tengah, yang diwakili terutama
oleh Arab Saudi dan Iran, yang hal ini juga menambah runcing fraksi di
Palestina, antara Fatah dan Hamas. Keempat, ditemukannya sumber minyak tidak
saja menjadi sumber kemakmuran, tetapi juga sumber konflik, baik sesama
negara di Timur Tengah maupun kekuatan luar yang ikut berebut ladang minyak.
Kelima, konflik historis antara keluarga Hasyimiyah di Jordan
yang dikalahkan keluarga Saudi setelah bubarnya Kerajaan Usmani, yang
sekarang menjadi penguasa dua kota suci Mekkah dan Madinah. Keenam, kehadiran
dan peran Israel yang didukung Barat, terutama Amerika Serikat, telah menjadi
bisul yang selalu membuat suhu politik dunia Arab panas serta mengakibatkan
derita berkepanjangan rakyat Palestina. Ketujuh, tidak adanya pemimpin kuat
yang disegani di dunia Arab yang mampu menjembatani dan mendamaikan konflik
sesama mereka serta memiliki lobi dan pengaruh kuat dalam panggung
internasional.
Setelah keruntuhan Kesultanan Usmani akibat kalah dalam Perang
Dunia I, dunia Islam Arab mengalami krisis kepemimpinan politik dan
peradaban. Wilayah Arab dikapling-kapling oleh Inggris dan Perancis dengan
batas wilayah yang tidak solid karena kebanyakan merupakan padang pasir.
Namun, setelah tahun 1930-an ditemukan ladang-ladang minyak, perbatasan
antarnegara berubah menjadi sangat penting. Meskipun mayoritas masyarakat
Arab berbicara dengan bahasa yang sama, memeluk agama yang sama, ternyata
kesamaan bahasa, agama, dan daratan tidak bisa menjadi pemersatu. Kabah di
Mekkah yang menjadi kiblat sembahyang dan pusat umrah serta haji seluruh umat
Islam belum mampu menjadi pemersatu masyarakat Arab. Fanatisme etnis dan
kepentingan dinasti tetap saja memunculkan persaingan sengit.
Krisis Suriah yang berlangsung lima tahun terakhir kian menambah
suram wajah Arab. Lebih dari 5 juta jiwa warga Suriah eksodus ke luar negeri,
mayoritas ke Turki. Sekitar 300.000 jiwa tewas akibat konflik bersenjata.
Ironisnya lagi, ratusan ribu imigran ini sebagian justru ditampung di
negara-negara Eropa non-Muslim, korban dari peperangan sesama Muslim. Di
tempat yang baru ini, tak mudah bagi mereka untuk beradaptasi dengan budaya
dan hukum setempat sehingga menimbulkan masalah sosial.
Selama ini, keberadaan negara Israel saja sudah cukup membuat
gaduh dunia Arab, kini ditambah lagi dengan kelahiran NIIS yang seakan
menjadi saudara kandung Israel dalam membuat babak belur dunia Timur Tengah.
NIIS tidak pernah menyerang Israel yang jelas-jelas melakukan agresi terhadap
Palestina.
Mengakhiri bincang-bincang seputar kegaduhan yang terjadi di
Timur Tengah, JK mengutip tulisan George Friedman dalam bukunya, The Next 100 Years, ketika terjadi
kekacauan di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, pemenangnya tetap saja
Amerika Serikat.
Muslim non-Arab
Baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam, ketika ketiga agama itu
berkembang di luar ranah kelahirannya, telah mendorong lahirnya budaya dan
peradaban baru, produk akulturasi dan sinkretisme antara nilai keagamaan dan
budaya lokal. Sejarah mencatat, puncak peradaban Islam di abad tengah justru
tumbuh berkembang di Iran, Irak, Spanyol, dan Turki. Di empat wilayah ini,
Islam bertemu terutama dengan filsafat Yunani yang sangat menekankan
pemikiran rasional, termasuk masalah ketuhanan dan kenegaraan.
Merasa tertantang oleh pendekatan filosofis-rasional dan radikal
warisan Aristotelianisme, lahirlah pemikir-pemikir Muslim bintang zaman,
misalnya Farabi, Alkindi, Ibnu Sina, Imam Ghozali, Ibnu Rusyd, dan beberapa
nama lain. Mereka bersikap kritis apresiatif terhadap peradaban non-Arab yang
pada urutannya melahirkan peradaban sintetik dengan basis keislaman. Zaman
itu sering dipandang sebagai masa keemasan peradaban Islam. Jadi, yang
dinamakan peradaban Islam sarat dengan muatan unsur peradaban non-Arab dan
non-Islam, dengan cirinya yang humanis, rasional, dan universal.
Kehadiran Islam ke Indonesia yang kemudian dipeluk mayoritas
rakyat sungguh merupakan keajaiban sejarah. Banyak teori yang memberikan
penjelasan rasional mengapa wilayah Nusantara menjadi kantong umat Islam
terbesar di dunia. Salah satunya adalah melalui jalur perdagangan.
Rempah-rempah menjadi daya tarik pedagang Muslim dari Timur Tengah datang ke
Nusantara sambil menyebarkan agama. Jika teori ini betul, faktor anugerah
alam memiliki peran signifikan dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Sesungguhnya tak hanya Islam, agama lain dan ideologi dunia pun
berkembang subur di bumi Nusantara ini. Dengan kata lain, sejak dulu bumi
Nusantara ini telah menarik orang luar datang ke sini terutama dengan motif
ekonomi yang diikuti penyebaran agama, entah Hindu-Buddha, Islam, atau
Kristen. Bahkan, sekarang Konghucu pun ditetapkan sebagai agama. Yang juga
fenomenal, ideologi komunisme yang anti agama pun pernah berkembang luas di
Indonesia yang kini digantikan oleh ideologi kapitalisme global.
Jadi, di bumi Nusantara ini sejak ratusan tahun memang telah
terjadi kontestasi antar-agama dan ideologi asing. Dalam hal agama, Islam
tampil sebagai pemenangnya. Namun, dalam panggung ekonomi, posisi Islam
tergeser. Meskipun demikian, jangan sampai kontestasi antar-komunitas agama dan
ideologi lalu mengarah pada konflik dan saling menghancurkan seperti yang
terjadi di dunia Arab. Sekali perang dan saling bunuh dimulai, tak pernah
akan dilupakan oleh masing-masing pihak serta sulit untuk dihentikan. Berarti
kita menciptakan neraka untuk diri kita sendiri. Sebaliknya, mari menjadikan
kehidupan beragama di Indonesia yang menempuh jalan moderat dan damai menjadi
inspirasi dan kontribusi pada dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar