Imunitas Ombudsman
Amzulian Rifai ;
Ketua Ombudsman Republik Indonesia
|
KOMPAS, 31 Maret
2016
Baru saja Ombudsman Republik Indonesia mengungkapkan kepada
publik tentang keterlibatan oknum Staf Kantor Presiden dalam suatu kasus yang
ditangani. Ada saja cara untuk membela diri seakan-akan faktanya tidaklah
demikian. Padahal, kalau saja semua fakta diungkap, dapat memojokkan lebih
banyak orang.
Bahkan sudah ada pihak yang mengambil ancang-ancang untuk
mengkriminalisasi Ombudsman, sebagai lembaga pengawas pelayanan publik
tersebut. Mestinya, gaya dan modus
operandi seperti ini, yang sudah terjadi untuk lembaga-lembaga lain,
jangan juga dicoba untuk Ombudsman. Mungkin publik perlu mengetahui adanya
imunitas yang dimiliki insan Ombudsman.
Secara harfiah imunitas dapat diartikan sebagai kebal (immune). Namun, tentu lebih panjang
uraiannya, jika imunitas itu ditujukan kepada suatu profesi. Kata ini dapat
dimaknai bahwa seseorang dalam profesinya tidak dapat dituntut di pengadilan
baik secara pidana, perdata, maupun tata usaha negara karena menjalankan
tugas sesuai kewenangannya. Apalagi jika undang-undang secara tegas
(tersurat) menyatakannya dalam pasal khusus tentang itu.
Urgensi imunitas
Memang ada urgensi perlunya imunitas terhadap jabatan-jabatan
tertentu. Hal itu bertujuan agar mereka yang menjalankan tugas terlindungi,
bukan malah repot menghadapi persoalan hukum justru dikarenakan menjalankan
tugasnya.
Di Indonesia masih banyak pejabat yang melangkah dengan pongah,
belum terbiasa menempatkan dirinya sebagai pelayan publik. Tidak pula
terbiasa diusik, sekalipun dia menyalahgunakan kekuasaan atau jabatannya.
Umumnya para penguasa semacam ini akan melakukan perlawanan dengan berbagai
cara, tak soal berapapun ongkosnya (by any means at all cost) jika terusik.
Di antara cara paling mudah adalah dengan menggunakan pasal karet dalam KUHP,
yaitu pencemaran nama baik. Padahal, tanpa disadari sejak awal nama si
terusik itu memang sudah tidak baik.
Imunitas jabatan juga diperlukan karena terkadang urusan pribadi
malah diseret-seret atas nama institusi. Cukup banyak kejadian yang
sesungguhnya tanggung jawab pribadi malah institusinya diajak serta untuk
membelanya. Padahal, kebetulan saja, misalnya, oknum yang menyalahgunakan
kekuasaannya itu berasal dari institusi yang memang garang dan bisa pula
memenjarakan orang.
Urgensi imunitas itu menjadi relevan karena praktik di Indonesia
sepertinya kriminalisasi terhadap pejabat negara sekalipun, seakan lumrah.
Kita sudah menyaksikan kejadian tragis tiga komisioner Komisi Pemberantasab
Korupsi dan mantan ketua Komisi Yudisial. Publik meyakini ada kriminalisasi
terhadap mereka justru terkait tugasnya.
Memang masih tersisa perdebatan soal ada tidaknya kriminalisasi,
tetapi buktinya Jaksa Agung telah mendeponering (mengenyampingkan) kasus itu.
Di samping memang kewenangannya, tentu deponering
itu hasil kajian mendalam baik secara sosiologis maupun yuridis, meski di
saat yang sama timbul pertanyaan juga, bagaimana dengan status tersangka
Suparman Marzuki, mantan ketua Komisi Yudisial? Mengapa deponering baginya tak satu paket juga dengan tiga komisioner
KPK?
Dasar imunitas
Para perancang UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI paham
benar bahwa Ombudsman ”akan berhadapan” dengan para penguasa. Penyebabnya
karena memang yang diawasi oleh Ombudsman adalah para penyelenggara negara
dan pemerintahan. Artinya, tak ada lembaga negara, termasuk BUMN/ BUMD/BHMN
yang luput dari pengawasan Ombudsman.
Memang sekilas sederhana saja urusan Ombudsman karena hanya
terkait dengan pengawasan pelayanan publik saja. Ada kesan tidak perlu
ditakuti karena Ombudsman tidak serta-merta dapat memenjarakan orang.
Agaknya, lembaga negara itu baru ditakuti jika ada kewenangan memenjarakan.
Padahal, dimensi yang diurusi oleh Ombudsman sangatlah luas. Terkadang
terungkap adanya ”niat jahat” banyak orang, termasuk penguasa, yang justru
ikut merecoki pelayanan publik kita.
Sudah sejak Indonesia merdeka, pelayanan publik kita masih buruk
hingga saat ini. Buruk karena para penyelenggara negara dan pemerintahan,
para birokrat, kebanyakan tidak komit dengan jabatannya. Mereka lupa kepada
hakikat jabatan yang diamanahkan kepadanya.
Pasal 10 UU No 37/2008 tentang Ombudsman menegaskan ”Dalam rangka pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi,
dituntut, atau digugat di muka pengadilan.” Pasal ini tegas sekali, tidak
perlu adanya penafsiran bahwa ada imunitas bagi anggota Ombudsman dalam
menjalankan tugas-tugas mereka. Malah UU yang sama menegaskan bahwa setiap
orang yang menghalangi Ombudsman dalam melaksanakan tugasnya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Tentu saja, imunitas yang dimiliki Ombudsman tak boleh
melahirkan kesewenang-wenangan. Dalam menjalankan tugasnya haruslah atas
dasar kepatutan, keadilan, nondiskriminasi, tak memihak, akuntabilitas,
keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan (sepanjang menyangkut kepentingan
para pihak dalam kasus yang ditangani). Publikasi menjadi penting manakala
Ombudsman menilai untuk kepentingan umum dan demi kebaikan lembaga tersebut.
Sesuai amanat UU dan misi menghadirkan negara di tengah
masyarakatnya untuk membersihkan birokrasi, ke depan sangat mungkin Ombudsman
berhadapan dengan para penguasa yang tak sadar dengan hakikat kekuasaannya.
Sinyal mengkriminalisasi Ombudsman sebagaimana pernah dilakukan terhadap
lembaga lain, sudah ada. Mestinya kita semua juga memahami, sebagaimana
pembentuk UU, bahwa ada imunitas anggota Ombudsman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar