R.I.P.
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 27 Maret
2016
Di hari Minggu yang lalu, saya iseng-iseng mencari arti dari
tiga huruf RIP. Requiescat in pace
dijelaskan sebagai sebuah ekspresi atau tulisan singkat di batu nisan yang
menggambarkan harapan akan sebuah kehidupan yang damai dan abadi untuk mereka
yang meninggal.
Damai versi kamus
Saya tidak menyangka bahwa keisengan itu memancing hati nurani
menciptakan sebuah "nyanyian" sengau. "RIP itu adalah ucapan
dari orang lain untuk elo yang meninggal. Masalahnya sekarang, elo meninggal
itu udah ngejalanin hidup yang damai belom? Apakah selama elo ngejalanin
hidup, elo tu udah jadi agen perdamaian? Kalau meninggal dengan damai dalam
artian tidak menderita atau enggak sakit, itu bukan hal yang dimaksud."
Selama ini, sih, saya merasa telah dan masih menjalani kehidupan
yang damai untuk diri sendiri dan orang lain. "Wkwkwkwk.elo memberi
damai ke orang lain? Ngaca kali, bro. Bukannya elo dulu musuhnya banyak.
Sampai bulan lalu aja, masih ada yang nanyain salah satu karyawan elo, kok
bisa-bisanya doi kerja ama elo? Damai apaan? Damai dari mane?"
Saya agak menyesal mengapa saya iseng sekali mencari tahu soal
tiga kata itu. Akan tetapi, karena nurani bawel itulah saya bisa menulis
artikel ini. Damai atau dalam bahasa Inggris, peace, mengandung makna
ketenangan, harmoni, diam, tenteram, keadaan tidak bermusuhan, aman, tidak
ada perang, dan rukun.
Nah, penjelasan soal damai versi kamus itu saya gunakan sebagai
alat untuk menilai apakah nyanyian sengau yang dilantunkan nurani bawel itu
benar adanya. Saya mulai menilai diri saya sendiri. Saya ini orang yang penuh
iri hati. Iri hati itu sejujurnya memberi beban.
Saya merasakan itu bertahun lamanya, bahkan sampai sekarang mau
saya hilangkan susahnya setengah mati. Setiap kali berusaha agar beban itu
lepas, eh, makin lengket, terutama saat melihat ada manusia yang tidak
bekerja, tetapi berkatnya mengalir seperti air bah. Sementara saya kerja
pontang-panting dari dulu, yaaa... cuma segini-segini saja.
Kalau sudah begitu, saya menjadi kesal dan melakukan aksi
protes. Kalau dengan Yang Maha Kuasa melalui doa, kalau sama teman dekat
curhat dengan nada tinggi. Hal yang terakhir ini pernah diabadikan saat saya
lagi emosi. Saya sampai kaget melihat hasil bidikan itu.
Mata saya menyorotkan amarah, urat leher terlihat tegang, air
muka kencang, dan gerakan tangan yang menunjukkan kekesalan yang sangat.
Sebuah foto manusia tanpa kedamaian sama sekali. Saya ini kalau dilihat dari
luarnya saja lumayan seperti orang yang damai, tetapi bagian dalamnya, ya,
seperti foto tadi.
Damai versi saya
Bahkan, sampai sekarang ini, saya masih punya musuh. Dan
keputusan bermusuhan karena saya berpikir itu memberi rasa damai dan
menjauhkan saya dari sumber petaka. Nah, bisakah Anda membayangkan kalau saya
tiba-tiba meninggal dengan hati yang dipenuhi iri hati dan kekesalan yang
sangat, serta bermusuhan dan tidak memaafkan?
Bisakah dibayangkan kalau saya meninggalkan dunia ini dalam
keadaan yang salah mengartikan kata damai itu dan meyakinkan bahwa kesalahan
itu adalah sebuah kebenaran? Bisakah dibayangkan, saya dikubur, tetapi
melencengkan makna kata damai itu berdasarkan versi otak saya sehingga harmonis
itu buat saya adalah menciptakan musuh, mengartikan tidak ada perang itu
adalah dengan menciptakan perang. Bermusuhan di antara dua manusia itu adalah
perang dalam skala yang kecil.
Ironisnya, orang yang melayat atau menuliskan ucapan turut berdukacita
di sosial media menggunakan tiga huruf itu yang diartikan bahwa mereka
berharap saya akan memiliki hidup setelah kematian yang abadi dan damai. Saya
sendiri belum pernah meninggal. Jadi, sungguh saya tidak tahu apakah makna
damai versi saya dan versi yang selama ini kita ketahui mendapatkan ganjaran
yang berbeda atau sama.
Dan sudah barang tentu Anda setuju kalau saya sendiri tidak
mampu menciptakan damai versi kamus, sudah pastinya tak ada damai versi macam
itu yang bisa saya tularkan kepada orang lain, bukan? Yang ada hanya damai
berdasarkan versi saya. Ya, itu tadi, bermusuhan.
Bukti bahwa saya sudah mengerjakan pekerjaan rumah sebagai
penyebar rasa damai adalah dengan memaafkan. Maka, kalaupun saya dimakamkan
di pemakaman super mahal, itu hanya memberi gengsi kepada yang menguburkan
saya, tidak untuk saya. Apalah gunanya saya terbujur di sebuah pemakaman
super mahal dengan hati yang tidak damai dan keliru memaknai kata damai itu?
Sayang tempat pemakamannya. Mahal-mahal, tetapi menguburkan manusia
yang seperti bom yang meluluhlantakkan. Dan lebih tak ada gunanya lagi
mengukir nisan saya dengan Rest in
Peace, la wong sayanya beristirahat dalam kekeliruan memahami perdamaian.
Saya sih belum pernah meninggal, tetapi kok saya yakin ukiran
tiga kata itu tak bisa merayu Tuhan membirukan angka merah di rapor kehidupan
saya. Waktu dan kesempatan untuk menjadi agen perdamaian sudah diberikan.
Selesai, tidak selesai, kumpulkan!
Tiba-tiba terdengar nyanyian lagi yang buat saya lebih dari
sengau. "Oke okelah, elo kalau nulis mang paling bisa. Terus kapan mau
memaafkan musuhmu itu." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar