Waspadai Turbulensi Ekonomi
Tri Winarno ;
Peneliti Ekonomi BI;
Pemerhati Masalah Sosial-Ekonomi
Domestik dan Internasional
|
KOMPAS, 24 Maret
2016
Sepanjang tahun
2016, negara-negara berkembang
diperkirakan akan mengalami turbulensi ekonomi yang sangat menegangkan.
Menurut PBB dalam laporan bertajuk "World
Economic Situation and Prospect 2016", pertumbuhan ekonomi
negara-negara berkembang diperkirakan hanya akan mencapai rata-rata 3,8
persen pada 2016, suatu pertumbuhan ekonomi
terendah sejak krisis keuangan global pada 2009. Situasinya dapat
disejajarkan dengan kondisi resesi
ekonomi dunia 2001.
Pelambatan ekonomi di
Tiongkok yang dikhawatirkan akan
mengalami pelambatan tajam ekonomi (hard landing), resesi ekonomi yang parah di Rusia dan Brasil-
ketiganya merupakan tiga raksasa ekonomi di emerging markets-adalah beberapa fenomena yang dapat menjelaskan
sebagian dari pelambatan ekonomi di negara-negara berkembang.
Jalur transmisi
Turbulensi tersebut
transmisinya terutama melalui jalur perdagangan. Turunnya permintaan
komoditas sumber daya alam di Tiongkok-di mana setengah dari permintaan dunia
akan komoditas logam dasar diserap oleh Tiongkok-menyebabkan penurunan tajam
harga komoditas dunia. Fenomena ini sangat memukul perekonomian negara-negara
berkembang terutama di Amerika Latin dan Afrika, tidak terkecuali Indonesia.
Laporan PBB
menyebutkan terdapat sekitar 29 negara berkembang yang sangat terpukul oleh
pelambatan ekonomi Tiongkok. Jatuhnya harga minyak mentah dunia yang mencapai
60 persen sejak Juli 2014, telah membuat negara-negara pengekspor
minyak-termasuk Arab Saudi sebagai pengekspor minyak mentah terbesar
dunia-sempoyongan. Selain itu, terjadi penurunan tajam remitansi
negara-negara berkembang pengekspor tenaga kerja, seperti Filipina,
Banglades, Pakistan, dan Indonesia.
Namun, kekhawatiran
terbesar tidak terletak pada jalur transmisi perdagangan, tetapi pada jalur
transmisi keuangan, yaitu lewat aliran modal asing keluar dari negara-negara
berkembang.
Ditengarai telah
terjadi aliran modal asing keluar secara masif dari negara-negara berkembang
sejak 2015. Selama periode 2009-2014, secara keseluruhan negara-negara
berkembang telah menerima aliran modal asing secara neto sekitar 2,2 triliun dollar AS, yang
sebagian dikarenakan adanya kebijakan pelonggaran moneter di negara-negara maju terutama Amerika
Serikat, di mana tingkat suku bunga di negara-negara tersebut berada pada
level yang sangat rendah hingga 0 persen.
Dikarenakan mencari
imbal hasil (yield) yang lebih
tinggi, investor dan spekulan global menanamkan modalnya di negara-negara
berkembang, sehingga derasnya aliran modal asing tersebut berakibat pada
peningkatan leverage perbankan,
kenaikan harga saham di pasar modal, dan sebagian berdampak pada booming
harga komoditas. Misalnya, kapitalisasi pasar modal di Mumbai, Johannesburg,
Sao Paulo, Shanghai, dan Jakarta hampir tiga kali lipat pada tahun-tahun
setelah krisis keuangan global 2008. Pasar modal di negara-negara berkembang
yang lain juga menunjukkan peningkatan yang luar biasa selama periode
tersebut.
Aliran modal asing
Namun, kini aliran
modal asing telah mengalami pembalikan, keluar dari negara-negara berkembang
secara signifikan. Aliran modal asing neto telah menunjukkan angka negatif
untuk pertama kali sejak 2006, dengan aliran modal asing keluar bersih dari negara berkembang melebihi 600 miliar
dollar AS atau lebih dari seperempat dari modal asing yang masuk ke negara-negara
berkembang selama enam tahun
sebelumnya.
Aliran modal asing
keluar terbesar terjadi melalui sistem
perbankan. Perbankan internasional telah mengurangi exposure kreditnya ke negara berkembang
lebih dari 800 miliar dollar AS pada
2015 saja. Diperkirakan pada 2016, angkanya akan melebihi 2015 jika kebijakan
Bank Sentral AS masih tetap seperti
target semula.
Jumlah aliran modal
asing yang keluar secara masif ini tentu berdampak sangat negatif terhadap
perekonomian negara- negara berkembang, di antaranya mengeringkan likuiditas perekonomian,
meningkatkan biaya pinjaman dan cicilan bunga, melemahkan nilai tukar,
menguras cadangan devisa serta penurunan yang tajam pada harga aset serta
harga saham. Ujung- ujungnya akan memukul sektor riil sehingga prospek
pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang akan lebih suram dari
tahun-tahun sebelumnya.
Ini bukan kali pertama
negara berkembang mengalami pembalikan arus modal asing, tetapi saat ini
angkanya sangat fantastis. Selama
krisis keuangan Asia, tahun 1997 aliran modal asing keluar neto
dari negara-negara di Asia Timur
hanya 12 miliar dollar AS.
Tentu, kondisi
perekonomian negara- negara Asia Timur dewasa ini jauh berbeda daripada 1997.
Diperkirakan saat ini negara-negara tersebut lebih tahan terhadap guncangan
akibat dari arus modal asing yang
keluar tersebut, mengingat ketersediaan cadangan devisa yang memadai
yang dapat digunakan untuk intervensi dalam rangka menstabilkan nilai tukar
mata uangnya. Cadangan devisa negara-negara tersebut telah mencapai lebih
dari tiga kali lipat dari cadangan devisa sejak krisis keuangan Asia pada
1997.
Posisi cadangan devisa
yang memadai telah menjadi bantalan (shock absorber) bagi negara-negara
berkembang, sehingga dampak pembalikan modal asing yang spektakuler tersebut
tidak mengakibatkan guncangan yang dahsyat pada perekonomiannya. Namun, tidak
semua negara-negara berkembang begitu
mewah memiliki arsenal yang cukup untuk meredam pembalikan arus modal asing
tersebut.
Langkah mendesak
Lantas, apa yang harus
dilakukan negara-negara berkembang
dalam mengatasi masalah tersebut, sehingga tidak menjadi bencana?
Banyak pemerintahan di
negara-negara berkembang gagal belajar dari krisis masa lalu, yang seharusnya
menggunakan kewenangannya baik lewat
regulasi maupun perpajakan yang bertujuan membatasi keterpaparan terhadap (exposure) pinjaman dalam mata uang
asing terutama yang terkategori hot
money.
Sekarang saatnya
pemerintah di negara-negara berkembang
harus mengambil langkah yang tepat dan cepat agar dampak turbulensi ini tidak
mematikan. Di antaranya bagi negara-negara berkembang yang mempunyai cadangan devisa yang cukup,
dianjurkan melakukan pembelian kembali
obligasinya di pasar internasional mumpung harganya lagi jatuh.
Negara-negara
berkembang dianjurkan untuk tidak tergoda melakukan kebijakan menaikkan
tingkat suku bunga untuk mengerem arus modal asing yang keluar ini, karena
dijamin dampaknya tidak efektif dalam memperlambat arus keluar modal asing tersebut. Bahkan akan berakibat menghantam ekonomi
riil, sehingga mengurangi kemampuan membayar utangnya karena pendapatannya
menurun, tingkat bunga yang tinggi jelas kontra produktif.
Makro yang hati-hati
Kebijakan makro yang
berhati-hati (macro-prudential) memang dapat menahan laju arus dana keluar,
tetapi kebijakan ini saja tidak akan cukup. Dalam beberapa kasus, perlu
melakukan kontrol arus dana asing keluar secara selektif dan dengan batas
waktu tertentu, khususnya yang melalui sistem perbankan. Misalnya, membatasi
transfer modal antara kantor pusat bank asing di negara maju dengan cabang
atau perwakilannya di negara-negara berkembang.
Belajar dari
kesuksesan Malaysia melakukan kontrol arus modal asing keluar pada 1997,
negara-negara berkembang dapat menggunakan kebijakan pembatasan penarikan modal
yang ditanam di negara- negara berkembang dalam waktu tertentu dalam rangka
menstabilkan arus modal asing dan nilai tukarnya. Begitulah beberapa hal yang
dapat menjadi catatan menyikapi perkembangan saat ini agar bencana krisis
keuangan tidak terulang lagi di
negara-negara berkembang.
Langkah ini perlu dilakukan dengan bijak,
tepat, dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar