Jumat, 25 Maret 2016

Waspadai Turbulensi Ekonomi

Waspadai Turbulensi Ekonomi

Tri Winarno ;  Peneliti Ekonomi BI;
Pemerhati Masalah Sosial-Ekonomi Domestik dan Internasional
                                                       KOMPAS, 24 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sepanjang tahun 2016,  negara-negara berkembang diperkirakan akan mengalami turbulensi ekonomi yang sangat menegangkan. Menurut PBB dalam laporan bertajuk "World Economic Situation and Prospect 2016", pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang diperkirakan hanya akan mencapai rata-rata 3,8 persen pada 2016, suatu pertumbuhan ekonomi  terendah sejak krisis keuangan global pada 2009. Situasinya dapat disejajarkan dengan kondisi  resesi ekonomi  dunia 2001.

Pelambatan ekonomi di Tiongkok yang dikhawatirkan akan  mengalami pelambatan tajam ekonomi (hard landing), resesi ekonomi yang parah di Rusia dan Brasil- ketiganya merupakan tiga raksasa ekonomi di emerging markets-adalah  beberapa fenomena yang dapat menjelaskan sebagian dari pelambatan ekonomi di negara-negara berkembang.

Jalur transmisi

Turbulensi tersebut transmisinya terutama melalui jalur perdagangan. Turunnya permintaan komoditas sumber daya alam di Tiongkok-di mana setengah dari permintaan dunia akan komoditas logam dasar diserap oleh Tiongkok-menyebabkan penurunan tajam harga komoditas dunia. Fenomena ini sangat memukul perekonomian negara-negara berkembang terutama di Amerika Latin dan Afrika, tidak terkecuali Indonesia.

Laporan PBB menyebutkan terdapat sekitar 29 negara berkembang yang sangat terpukul oleh pelambatan ekonomi Tiongkok. Jatuhnya harga minyak mentah dunia yang mencapai 60 persen sejak Juli 2014, telah membuat negara-negara pengekspor minyak-termasuk Arab Saudi sebagai pengekspor minyak mentah terbesar dunia-sempoyongan. Selain itu, terjadi penurunan tajam remitansi negara-negara berkembang pengekspor tenaga kerja, seperti Filipina, Banglades, Pakistan, dan Indonesia.

Namun, kekhawatiran terbesar tidak terletak pada jalur transmisi perdagangan, tetapi pada jalur transmisi keuangan, yaitu lewat aliran modal asing keluar dari negara-negara berkembang.

Ditengarai telah terjadi aliran modal asing keluar secara masif dari negara-negara berkembang sejak 2015. Selama periode 2009-2014, secara keseluruhan negara-negara berkembang telah menerima aliran modal asing secara neto  sekitar 2,2 triliun dollar AS, yang sebagian dikarenakan adanya kebijakan pelonggaran moneter  di negara-negara maju terutama Amerika Serikat, di mana tingkat suku bunga di negara-negara tersebut berada pada level yang sangat rendah hingga 0 persen.

Dikarenakan mencari imbal hasil (yield) yang lebih tinggi, investor dan spekulan global menanamkan modalnya di negara-negara berkembang, sehingga derasnya aliran modal asing tersebut berakibat pada peningkatan leverage perbankan, kenaikan harga saham di pasar modal, dan sebagian berdampak pada booming harga komoditas. Misalnya, kapitalisasi pasar modal di Mumbai, Johannesburg, Sao Paulo, Shanghai, dan Jakarta hampir tiga kali lipat pada tahun-tahun setelah krisis keuangan global 2008. Pasar modal di negara-negara berkembang yang lain juga menunjukkan peningkatan yang luar biasa selama periode tersebut.

Aliran modal asing

Namun, kini aliran modal asing telah mengalami pembalikan, keluar dari negara-negara berkembang secara signifikan. Aliran modal asing neto telah menunjukkan angka negatif untuk pertama kali sejak 2006, dengan aliran modal asing keluar bersih  dari negara berkembang melebihi 600 miliar dollar AS atau lebih dari seperempat dari modal asing yang masuk ke negara-negara berkembang  selama enam tahun sebelumnya.

Aliran modal asing keluar terbesar  terjadi melalui sistem perbankan. Perbankan internasional telah mengurangi  exposure kreditnya ke negara berkembang lebih dari 800 miliar dollar AS  pada 2015 saja. Diperkirakan pada 2016, angkanya akan melebihi 2015 jika kebijakan Bank Sentral AS masih tetap seperti  target semula.

Jumlah aliran modal asing yang keluar secara masif ini tentu berdampak sangat negatif terhadap perekonomian negara- negara berkembang, di antaranya  mengeringkan likuiditas perekonomian, meningkatkan biaya pinjaman dan cicilan bunga, melemahkan nilai tukar, menguras cadangan devisa serta penurunan yang tajam pada harga aset serta harga saham. Ujung- ujungnya akan memukul sektor riil sehingga prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang akan lebih suram dari tahun-tahun sebelumnya.

Ini bukan kali pertama negara berkembang mengalami pembalikan arus modal asing, tetapi saat ini angkanya sangat fantastis. Selama  krisis keuangan Asia, tahun 1997 aliran modal asing keluar neto dari  negara-negara di Asia Timur hanya  12 miliar dollar AS.

Tentu, kondisi perekonomian negara- negara Asia Timur dewasa ini jauh berbeda daripada 1997. Diperkirakan saat ini negara-negara tersebut lebih tahan terhadap guncangan akibat dari arus modal asing yang  keluar tersebut, mengingat ketersediaan cadangan devisa yang memadai yang dapat digunakan untuk intervensi dalam rangka menstabilkan nilai tukar mata uangnya. Cadangan devisa negara-negara tersebut telah mencapai lebih dari tiga kali lipat dari cadangan devisa sejak krisis keuangan Asia pada 1997.

Posisi cadangan devisa yang memadai telah  menjadi bantalan (shock absorber) bagi negara-negara berkembang, sehingga dampak pembalikan modal asing yang spektakuler tersebut tidak mengakibatkan guncangan yang dahsyat pada perekonomiannya. Namun, tidak semua negara-negara  berkembang begitu mewah memiliki arsenal yang cukup untuk meredam pembalikan arus modal asing tersebut.

Langkah mendesak

Lantas, apa yang harus dilakukan negara-negara  berkembang dalam mengatasi masalah tersebut, sehingga tidak menjadi bencana?

Banyak pemerintahan di negara-negara berkembang gagal belajar dari krisis masa lalu, yang seharusnya menggunakan kewenangannya  baik lewat regulasi maupun perpajakan yang bertujuan membatasi keterpaparan terhadap (exposure) pinjaman dalam mata uang asing terutama yang terkategori hot money.

Sekarang saatnya pemerintah di negara-negara  berkembang harus mengambil langkah yang tepat dan cepat agar dampak turbulensi ini tidak mematikan. Di antaranya bagi negara-negara berkembang  yang mempunyai cadangan devisa yang cukup, dianjurkan melakukan pembelian kembali  obligasinya di pasar internasional mumpung harganya lagi jatuh.

Negara-negara berkembang  dianjurkan untuk tidak  tergoda melakukan kebijakan menaikkan tingkat suku bunga untuk mengerem arus modal asing yang keluar ini, karena dijamin dampaknya tidak efektif dalam memperlambat arus keluar  modal asing tersebut.  Bahkan akan berakibat menghantam ekonomi riil, sehingga mengurangi kemampuan membayar utangnya karena pendapatannya menurun, tingkat bunga yang tinggi jelas kontra produktif.

Makro yang hati-hati

Kebijakan makro yang berhati-hati (macro-prudential) memang dapat menahan laju arus dana keluar, tetapi kebijakan ini saja tidak akan cukup. Dalam beberapa kasus, perlu melakukan kontrol arus dana asing keluar secara selektif dan dengan batas waktu tertentu, khususnya yang melalui sistem perbankan. Misalnya, membatasi transfer modal antara kantor pusat bank asing di negara maju dengan cabang atau perwakilannya di negara-negara berkembang.

Belajar dari kesuksesan Malaysia melakukan kontrol arus modal asing keluar pada 1997, negara-negara berkembang dapat menggunakan kebijakan pembatasan penarikan modal yang ditanam di negara- negara berkembang dalam waktu tertentu dalam rangka menstabilkan arus modal asing dan nilai tukarnya. Begitulah beberapa hal yang dapat menjadi catatan menyikapi perkembangan saat ini agar bencana krisis keuangan  tidak terulang lagi di negara-negara berkembang.

 Langkah ini perlu dilakukan dengan bijak, tepat, dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar