Mengelola Pengetahuan
Akh Muzakki ;
Guru Besar Sosiologi Pendidikan UIN Sunan Ampel;
Anggota Dewan Pendidikan Jawa
Timur
|
KOMPAS, 26 Maret
2016
Memproduksi itu lebih mudah daripada mengelola hasil produksi
hingga memasarkannya. Prinsip ini berlaku tak hanya pada praktik bisnis,
tetapi juga keilmuan. Sama halnya dengan praktik bisnis, memproduksi
pengetahuan perlu energi besar. Terlebih berkaitan dengan perihal
memasarkannya.
Prinsip itulah yang jadi dasar pentingnya mengelola pengetahuan.
Kasus dimusnahkannya ribuan skripsi dan tesis oleh Unit Perpustakaan UIN
Alauddin Makassar (3/3/2016) selayaknya jadi momentum penguatan pengelolaan
pengetahuan, lebih-lebih di perguruan tinggi. Kontroversi besar terkait kasus
itu seharusnya memberikan kesadaran baru bahwa betapa strategisnya mengelola
pengetahuan itu.
Bagaimanapun, harus disadari, skripsi, tesis, disertasi, dan
jenis karya penelitian lain adalah kekayaan intelektual bangsa ini. Apalagi,
karya akademik semacam itu telah melalui proses uji standar akademik.
Memang, urusan manajemen karya akademik tak terlepas dari
persoalan administratif. Format karya akademik, seperti skripsi hingga
disertasi, dalam bentuk dokumen
cetakan memang masih menjadi semacam ritual wajib, lebih-lebih di kampus-kampus
negeri. Pasalnya, pemeriksaan oleh auditor, seperti irjen kementerian dan
BPK, terhadap proses kelulusan mahasiswa, di antaranya dikaitkan dengan
bukti-bukti dokumen. Misalnya, pemeriksaan lazim dilakukan hingga pada
dokumen cetakan sebagai bukti fisik.
Di sinilah awal mengapa setiap mahasiswa diwajibkan menyetorkan
dokumen cetakan skripsi, tesis, dan disertasi masing-masing ke perpustakaan
kampus. Meski perpustakaan berbagai kampus sudah mulai memperkuat koleksi
dokumen elektronik (soft copy)
melalui layanan digitalnya, penyerahan dokumen cetakan tetap wajib dilakukan.
Dalam konteks administrasi keilmuan inilah, kasus pemusnahan
skripsi di atas muncul. Memang, pertanyaan yang penting untuk dijawab adalah
apakah karena keterbatasan ruang penyimpanan lalu harus dilakukan pemusnahan
terhadap skripsi, tesis, disertasi hingga karya-karya penelitian lainnya itu?
Jawaban sederhananya tentu saja tidak. Sebab, ada cara yang
lebih elegan dengan nilai manfaat yang lebih tinggi. Yakni, hibah ilmu.
Bentuknya adalah menghibahkan atau menghadiahkan cetakan karya-karya akademik
dan karya penelitian lainnya ke perpustakaan-perpustakaan sekolah ataupun
umum di daerah lain yang lebih membutuhkan.
Hibah ilmu
Dengan model hibah atau hadiah seperti itu, ilmu lalu bisa ditransfer
ke daerah-daerah atau mereka yang masih butuh pencerahan melalui serah-terima
dokumen cetakan itu. Di sinilah akan terjadi proses alih pengetahuan dari
masyarakat kampus ke masyarakat luas melalui perpustakaan sekolah dan umum di
daerah-daerah itu.
Lebih dari itu, model hibah ilmu di atas menjadi pintu masuk
bagi penguatan penunaian tanggung jawab sosial perguruan tinggi kepada
masyarakat luas. Bagaimanapun, kampus sebagai kawah candradimuka pendidikan
tinggi memiliki tanggung jawab besar untuk mencerdaskan bangsa ini. Apalagi,
hingga 2015 lalu, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia
baru 35 persen. Dibandingkan negara-negara di Asia, angka ini jauh di bawah
Malaysia (60 persen) dan Korea Selatan (90 persen).
Maka, model hibah ilmu di atas sangat membantu untuk turut
mencerdaskan bangsa ini. Pasalnya, dengan APK yang masih 35 persen itu,
perguruan tinggi cenderung dan berpotensi menjadi sangat elitis. Layanan
pendidikan tinggi cenderung hanya bisa dinikmati sebagian kecil warga masyarakat.
Karena itu, model hibah karya akademik bisa menjauhkan perguruan
tinggi dari "menara gading". Lebih dari itu, program dimaksud bisa
mendorong kontribusi perguruan tinggi yang lebih besar dalam membantu
melakukan alih pengetahuan ke masyarakat luas.
Materi yang ada di karya akademik, seperti skripsi, tesis,
disertasi, dan penelitian lainnya, memang merupakan ilmu atau pengetahuan
berupa pemahaman, wawasan, atau pengalaman subyektif yang diperoleh
seseorang. Tugas perguruan tinggi adalah mengelola semua bentuk produk
pengetahuan tersebut secara baik, rapi, dan terukur.
Melalui pengelolaan yang baik, rapi, dan terukur, pengetahuan
yang diproduksi perguruan tinggi itu bisa dibakukan dalam bentuk dokumentasi,
peraturan, ataupun bisnis akademik. Dengan demikian, akan terjadi proses
tukar-menukar pengetahuan. Ujung dari proses itu memungkinkan terjadi
percepatan alih pengetahuan dari yang bersifat individual menjadi pengetahuan
bersama. Di sinilah model hibah atau hadiah karya akademik di atas lebih bermanfaat
dibanding pemusnahan begitu saja.
Tentu, model hibah ilmu hanya contoh kecil-komparatif saja
(dibandingkan pemusnahan karya akademik) dari praktik pengelolaan
pengetahuan. Sebab, substansi pengelolaan pengetahuan pada hakikatnya
mencakup sejumlah strategi dan praktik yang digunakan untuk mengidentifikasi,
menciptakan, menggambarkan, menyebarluaskan, serta membantu teradopsinya
pemahaman, wawasan, serta pengalaman yang baru, termasuk dari yang bersifat
individual ke kolektif seperti uraian di atas.
Bila berfungsi dengan baik, pengelolaan pengetahuan bisa
berkontribusi untuk memperlancar proses pembelajaran organisasi-kelembagaan.
Proses itu difasilitasi praktik berbagi atau tukar-menukar pengetahuan yang
membuat pengetahuan itu menjadi aset strategis bersama.
Sejatinya, mengelola pengetahuan adalah perihal bisnis keilmuan.
Gagal mengelola pengetahuan akan menjadikan bisnis keilmuan mengalami
kebangkrutan substantif. Jika ini terjadi, peradaban sebuah bangsa akan sulit
menjauh dari titik nadir. Sebab, meminjam ungkapan Kidwell, Vander Linde, dan
Johnson (2001:3), "mengelola pengetahuan" pada prinsipnya adalah
"mengubah informasi dan aset intelektual ke dalam nilai abadi."
Maka, tidak berlebihan jika mengelola pengetahuan selayaknya mengalami
pengarusutamaan yang berarti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar