Membanding-bandingkan Diri
Kristi Poerwandari ;
Penulis Kolom PSIKOLOGi Kompas Sabtu
|
KOMPAS, 26 Maret
2016
Menarik mengikuti isu "reshuffle" kabinet. Sebagian
menteri sibuk menilai dan mengomentari kinerja menteri lain. Tentang ini,
seorang menteri berkomentar, "Saya
tidak pantas memberi penilaian ke menteri lain sebab saya juga sama posisinya
dengan menteri lain. Saya adalah pihak yang dievaluasi oleh presiden."
Kita akan membandingkan diri dengan orang lain ketika memerlukan
standar dari luar untuk menilai diri. Jika melihat orang lain dapat
menyelesaikan tugasnya, mungkin kita jadi lebih terpacu untuk menyelesaikan
tugas kita sendiri. Atau, orang lain bisa memperoleh jabatan dan gaji tinggi,
masa kita tidak bisa? Ada fungsi yang positif dari perilaku membandingkan
diri, di antaranya untuk meningkatkan kualitas diri. Meski begitu, banyak
membandingkan diri dengan orang lain ternyata ada dampak negatifnya juga.
Membandingkan diri dan
sikap defensif
White, Langer, Yariv, dan Welch (2006) dalam artikel "Frequent Social Comparisons and
Destructive Emotions and Behaviors: The Dark Side of Social Comparisons"
melaporkan penelitian menarik yang tampaknya penting bagi kita sebagai bahan
refleksi diri.
White dkk mendekati sejumlah orang di ruang tunggu bandara dan
meminta mereka mengisi kuesioner. Responden diminta menjawab seberapa sering
mereka membandingkan diri dengan orang lain dalam lima dimensi: daya tarik,
kepintaran, kesuksesan ekonomi, kebugaran fisik, dan kepribadian.
Pertanyaannya misalnya "seberapa seringkah Anda menyadari bahwa Anda
lebih atau kurang (menarik) dibandingkan orang-orang lain".
Responden juga ditanya mengenai emosi dan perilaku negatif,
antara lain seberapa sering mereka merasa iri, menyesal, defensif, berbohong
untuk melindungi diri sendiri, punya keinginan besar yang belum tercapai, dan
menyalahkan orang lain. Pertanyaan lain adalah untuk menilai seberapa positif
mereka melihat diri sendiri ("sejauh mana Anda menyukai diri
sendiri", "secara umum seberapa bahagiakah Anda"). Untuk semua
pertanyaan disodorkan pilihan jawaban dalam skala (misal: mulai dari
"tidak pernah" sampai "sangat sering" atau
"selalu").
Penelitian menemukan bahwa orang yang sering
membanding-bandingkan diri akan berisiko menghayati lebih banyak rasa iri,
penyesalan, dan bersikap defensif. Mereka juga lebih mungkin berbohong,
menyalahkan pihak lain, dan terus menyesali adanya keinginan yang tidak
berhasil dicapai.
Sebaliknya, yang banyak menghayati emosi positif ternyata tidak
terlalu peduli apakah orang lain tampil lebih baik atau lebih buruk darinya.
Atau dengan kata lain: orang dengan emosi positif cenderung tidak tertarik
untuk membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Mereka tidak terlalu
ingat atau tidak terlalu peduli apakah orang yang ditemuinya lebih cantik
atau kurang cantik, lebih pandai atau kurang pandai, dibandingkan dirinya.
Meragukan diri sendiri
Membanding-bandingkan diri, terutama jika yang kita temui adalah
orang yang kita nilai lebih rendah (misal: gajinya masih lebih rendah), dapat
memantapkan keyakinan diri. Namun, itu temporer saja. Untuk meyakinkan diri,
individu mungkin jadi terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain dan
akhirnya sibuk dengan standar luar. Tanpa disadari ia mengembangkan
kecenderungan untuk iri hati dan bersikap defensif jika yang ditemuinya lebih
baik atau tidak sesuai harapan.
White dkk juga mengecek kaitan perilaku membandingkan diri
dengan kepuasan kerja. Mereka menggunakan sampel polisi yang ditanyai
mengenai bagaimana penilaian mereka tentang kelompok sendiri (polisi)
dibandingkan dengan petugas keamanan lain. Yang dinilai, antara lain, adalah
kesigapan fisik, kepintaran, kejujuran, kesukarelaan, dan profesionalisme.
Kelompok ini juga diminta mengisi kuesioner mengenai kepuasan kerja.
Penelitian mereka menemukan bahwa orang yang sibuk membandingkan
diri dengan orang lain akan cenderung punya bias untuk menilai kelompoknya
sendiri lebih baik daripada kelompok lain. Mereka sekaligus menunjukkan
kepuasan kerja yang lebih rendah.
Sumber perilaku membanding-bandingkan diri barangkali adalah
perasaan kurang yakin dan kebutuhan untuk mengatasi perasaan terancam terkait
harga diri. Individu terobsesi untuk memenuhi kebutuhan lain (yang
tersembunyi), misalnya untuk meyakinkan dirinya dan orang-orang lain bahwa ia
lebih menarik, bahwa ia diterima dan dicintai, bahwa ia sosok lebih penting,
hebat, lebih benar, dan lebih baik daripada orang-orang lain.
Sesekali membandingkan diri untuk dapat meningkatkan kualitas
diri itu baik-baik saja, tetapi tidak perlu dilakukan berlebihan. Kalau
berlebihan, ada implikasi negatif pada kesejahteraan psikologis diri dan pada
hubungan dengan orang lain.
Orang yang banyak menghayati emosi negatif akan merasa lebih
baik jika berhadapan dengan orang lain yang dinilai lebih rendah darinya dan
cenderung merasa lebih buruk jika menghadapi orang lain yang dinilainya lebih
baik. Karena ia harus membuat dirinya merasa lebih baik, perasaan buruk
diatasi dengan-kalau perlu-berbohong, merendahkan, atau menyerang pihak lain
itu. Akhirnya, bukan saja kesejahteraan psikologis diri berkurang, hubungan
dengan orang lain juga menjadi tegang dan tidak harmonis.
Ternyata, dipikir-pikir, orang yang sibuk menilai orang lain itu
sebenarnya sedang menilai dan meragukan dirinya sendiri. Berarti yang kita
perlukan cukuplah mengusahakan yang terbaik dan menampilkan kualitas diri
yang terbaik. Sudah itu saja. Selanjutnya, kita tidak perlu terlalu repot
apakah orang-orang yang kita hadapi lebih kaya, lebih hebat, atau sebaliknya,
kurang pandai dan kurang keren dibandingkan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar