Senin, 28 Maret 2016

Membanding-bandingkan Diri

Membanding-bandingkan Diri

Kristi Poerwandari ;  Penulis Kolom PSIKOLOGi Kompas Sabtu
                                                       KOMPAS, 26 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menarik mengikuti isu "reshuffle" kabinet. Sebagian menteri sibuk menilai dan mengomentari kinerja menteri lain. Tentang ini, seorang menteri berkomentar, "Saya tidak pantas memberi penilaian ke menteri lain sebab saya juga sama posisinya dengan menteri lain. Saya adalah pihak yang dievaluasi oleh presiden."

Kita akan membandingkan diri dengan orang lain ketika memerlukan standar dari luar untuk menilai diri. Jika melihat orang lain dapat menyelesaikan tugasnya, mungkin kita jadi lebih terpacu untuk menyelesaikan tugas kita sendiri. Atau, orang lain bisa memperoleh jabatan dan gaji tinggi, masa kita tidak bisa? Ada fungsi yang positif dari perilaku membandingkan diri, di antaranya untuk meningkatkan kualitas diri. Meski begitu, banyak membandingkan diri dengan orang lain ternyata ada dampak negatifnya juga.

Membandingkan diri dan sikap defensif

White, Langer, Yariv, dan Welch (2006) dalam artikel "Frequent Social Comparisons and Destructive Emotions and Behaviors: The Dark Side of Social Comparisons" melaporkan penelitian menarik yang tampaknya penting bagi kita sebagai bahan refleksi diri.

White dkk mendekati sejumlah orang di ruang tunggu bandara dan meminta mereka mengisi kuesioner. Responden diminta menjawab seberapa sering mereka membandingkan diri dengan orang lain dalam lima dimensi: daya tarik, kepintaran, kesuksesan ekonomi, kebugaran fisik, dan kepribadian. Pertanyaannya misalnya "seberapa seringkah Anda menyadari bahwa Anda lebih atau kurang (menarik) dibandingkan orang-orang lain".

Responden juga ditanya mengenai emosi dan perilaku negatif, antara lain seberapa sering mereka merasa iri, menyesal, defensif, berbohong untuk melindungi diri sendiri, punya keinginan besar yang belum tercapai, dan menyalahkan orang lain. Pertanyaan lain adalah untuk menilai seberapa positif mereka melihat diri sendiri ("sejauh mana Anda menyukai diri sendiri", "secara umum seberapa bahagiakah Anda"). Untuk semua pertanyaan disodorkan pilihan jawaban dalam skala (misal: mulai dari "tidak pernah" sampai "sangat sering" atau "selalu").

Penelitian menemukan bahwa orang yang sering membanding-bandingkan diri akan berisiko menghayati lebih banyak rasa iri, penyesalan, dan bersikap defensif. Mereka juga lebih mungkin berbohong, menyalahkan pihak lain, dan terus menyesali adanya keinginan yang tidak berhasil dicapai.

Sebaliknya, yang banyak menghayati emosi positif ternyata tidak terlalu peduli apakah orang lain tampil lebih baik atau lebih buruk darinya. Atau dengan kata lain: orang dengan emosi positif cenderung tidak tertarik untuk membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Mereka tidak terlalu ingat atau tidak terlalu peduli apakah orang yang ditemuinya lebih cantik atau kurang cantik, lebih pandai atau kurang pandai, dibandingkan dirinya.

Meragukan diri sendiri

Membanding-bandingkan diri, terutama jika yang kita temui adalah orang yang kita nilai lebih rendah (misal: gajinya masih lebih rendah), dapat memantapkan keyakinan diri. Namun, itu temporer saja. Untuk meyakinkan diri, individu mungkin jadi terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain dan akhirnya sibuk dengan standar luar. Tanpa disadari ia mengembangkan kecenderungan untuk iri hati dan bersikap defensif jika yang ditemuinya lebih baik atau tidak sesuai harapan.

White dkk juga mengecek kaitan perilaku membandingkan diri dengan kepuasan kerja. Mereka menggunakan sampel polisi yang ditanyai mengenai bagaimana penilaian mereka tentang kelompok sendiri (polisi) dibandingkan dengan petugas keamanan lain. Yang dinilai, antara lain, adalah kesigapan fisik, kepintaran, kejujuran, kesukarelaan, dan profesionalisme. Kelompok ini juga diminta mengisi kuesioner mengenai kepuasan kerja.

Penelitian mereka menemukan bahwa orang yang sibuk membandingkan diri dengan orang lain akan cenderung punya bias untuk menilai kelompoknya sendiri lebih baik daripada kelompok lain. Mereka sekaligus menunjukkan kepuasan kerja yang lebih rendah.

Sumber perilaku membanding-bandingkan diri barangkali adalah perasaan kurang yakin dan kebutuhan untuk mengatasi perasaan terancam terkait harga diri. Individu terobsesi untuk memenuhi kebutuhan lain (yang tersembunyi), misalnya untuk meyakinkan dirinya dan orang-orang lain bahwa ia lebih menarik, bahwa ia diterima dan dicintai, bahwa ia sosok lebih penting, hebat, lebih benar, dan lebih baik daripada orang-orang lain.

Sesekali membandingkan diri untuk dapat meningkatkan kualitas diri itu baik-baik saja, tetapi tidak perlu dilakukan berlebihan. Kalau berlebihan, ada implikasi negatif pada kesejahteraan psikologis diri dan pada hubungan dengan orang lain.

Orang yang banyak menghayati emosi negatif akan merasa lebih baik jika berhadapan dengan orang lain yang dinilai lebih rendah darinya dan cenderung merasa lebih buruk jika menghadapi orang lain yang dinilainya lebih baik. Karena ia harus membuat dirinya merasa lebih baik, perasaan buruk diatasi dengan-kalau perlu-berbohong, merendahkan, atau menyerang pihak lain itu. Akhirnya, bukan saja kesejahteraan psikologis diri berkurang, hubungan dengan orang lain juga menjadi tegang dan tidak harmonis.

Ternyata, dipikir-pikir, orang yang sibuk menilai orang lain itu sebenarnya sedang menilai dan meragukan dirinya sendiri. Berarti yang kita perlukan cukuplah mengusahakan yang terbaik dan menampilkan kualitas diri yang terbaik. Sudah itu saja. Selanjutnya, kita tidak perlu terlalu repot apakah orang-orang yang kita hadapi lebih kaya, lebih hebat, atau sebaliknya, kurang pandai dan kurang keren dibandingkan kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar