Kamis, 24 Maret 2016

Mengapa Perlu Gerakan Literasi Sekolah?

Mengapa Perlu Gerakan Literasi Sekolah?

Sofie Dewayani ;  Satgas Gerakan Literasi Sekolah (GLS); Ketua Yayasan Litara
                                             MEDIA INDONESIA, 21 Maret 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

IT takes a village to raise a child. Pepatah Afrika itu menegaskan tugas pengasuhan anak ialah tanggung jawab masyarakat. Jauh sebelum sekolah melembaga dalam kultur Indonesia, keluarga besar, tetangga, dan lingkungan masyarakat terdekat ikut mengawasi pertumbuhan seorang anak. Tradisi itu membuat halaman rumah menjadi tempat bermain bersama dan ruang pengasuhan komunal. Namun, pada era modern ini, tanggung jawab pengasuhan bergeser ke keluarga inti dan sekolah. Ruang komunal merambah dan difasilitasi ranah daring. Ini terlihat dari sinergi antarelemen masyarakat yang berlangsung dalam ruang chat, media sosial, dan terbentuknya komunitas-komunitas daring yang peduli pendidikan. Kepedulian bersama ini seharusnya menguatkan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan.

Penelitian Alan Barton (2003) membuktikan keterlibatan keluarga dan publik dalam mendukung sekolah mampu meningkatkan motivasi belajar anak, mempertahankan keajegan kehadiran siswa di sekolah, mengurangi tingkat drop out, dan meningkatkan prestasi akademik siswa. Keberhasilan ini dialami siswa dari semua ras minoritas di sana sehingga partisipasi publik dalam pendidikan ditengarai mampu mengurangi kesenjangan pencapaian akademik antara mayoritas dan minoritas yang selalu menjadi momok pendidikan multikultural.

Penelitian ini juga menunjukkan dukungan publik dalam bentuk sumber daya untuk memfasilitasi kegiatan sekolah terbukti dapat meningkatkan kinerja sekolah dan motivasi belajar siswa. Studi itu sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Banyak sekolah negeri berada di daerah terluar, daerah-daerah dengan akses terbatas pada infrastruktur publik, dan mengakomodasi siswa-siswa dari keluarga prasejahtera serta suku minoritas. Fakta itu tentu tidak mengabaikan sekolah-sekolah negeri di kantung kemiskinan perkotaan dan daerah miskin lain yang masih berjibaku dengan kebutuhan mendasar, seperti ruang dan fasilitas belajar yang layak dan aman.

Dengan kompleksitas itu, gerakan literasi sekolah yang mengawal program membaca 15 menit setiap hari di sekolah terlihat seperti kebijakan yang utopis. Bagaimana mungkin sekolah menyediakan ragam bacaan bagi guru dan siswa membaca setiap hari apabila sekolah masih berkutat dengan banyak permasalahan mendasar lainnya? Data statistik menunjukkan hanya 5,7% sekolah di Indonesia--dari jenjang pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas-- yang memiliki perpustakaan. Itu pun dengan kondisi yang bervariasi; dari kondisi ruangan yang kurang memadai, koleksi yang hanya terdiri atas buku-buku teks pelajaran, hingga tiadanya tenaga pengelola perpustakaan atau pustakawan.
Selain itu, penggunaan 5% dana bantuan operasional sekolah (BOS) masih berfokus pada pengadaan buku teks pelajaran dan bukan pada buku bacaan yang mampu menumbuhkan minat baca siswa.

Fenomena itu menunjukkan penguatan budaya literasi di sekolah bukan hanya menjadi tanggung jawab kepala sekolah dan guru, melainkan juga tanggung jawab seluruh elemen publik sebagai 'pengasuh' anak dalam ruang komunal. Dukungan ini menjadi penting karena Indonesia tengah mengalami darurat literasi. Minat baca siswa perlu ditumbuhkan agar mereka mencintai pengetahuan. Kemampuan membaca siswa perlu ditingkatkan bukan hanya untuk meningkatkan keterampilan memahami bacaan siswa Indonesia yang terpuruk pada peringkat 64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes Programme of International Student Assessment (PISA); tapi juga untuk menjadikan siswa sebagai pembelajar sepanjang hayat. Meningkatkan kemampuan literasi siswa menjadi cara yang efektif untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional.

Dukungan publik

Pelibatan publik dalam gerakan literasi sekolah perlu menjadi bagian penting dari visi dan misi sekolah. Praktik di banyak negara maju membuktikan reformasi pendidikan yang hanya mengintervensi siswa dan sekolah tidak akan berlanjut dalam jangka panjang. Pelibatan publik dapat dilakukan melalui antara lain; program-program keayahbundaan (parenting), menyinergikan kegiatan belajar di sekolah dan di rumah, memperkuat komunikasi dan jejaring sekolah dengan pihak eksternal, menggalakkan program relawan, melibatkan elemen masyarakat dalam perencanaan kegiatan-kegiatan literasi sekolah, serta meningkatkan kolaborasi antarsekolah, alumni sekolah, dan komunitas pegiat literasi.

Program keayahbundaan bertujuan meningkatkan kapasitas orangtua sebagai figur teladan literasi. Rumah perlu menjadi lingkungan yang literat dengan figur orangtua dan anggota keluarga yang suka membacakan cerita, bercerita, membaca, berdiskusi dengan anak, dan mendengarkan pendapat mereka. Selain itu, kebijakan pelibatan keluarga dalam sekolah anak perlu mendapatkan dukungan melalui kebijakan-kebijakan yang ramah keluarga. Misalnya, lembaga pemerintahan dan swasta perlu diimbau untuk memberikan izin khusus kepada orangtua yang bekerja untuk mengantar anak pada hari pertama tahun ajaran baru, menghadiri pertemuan-pertemuan orangtua, dan menjadi relawan dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Kesadaran akan pelibatan keluarga perlu menjadi semangat dalam perancangan kebijakan. Misalnya, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, program pelibatan publik dan keluarga menjadi salah satu kriteria agar dana pengembangan pendidikan yang diajukan sekolah dapat disetujui.

Sinergi kegiatan belajar di rumah dan di sekolah bertujuan mencari titik temu kegiatan belajar di rumah dan di sekolah. Sinergi bisa dilakukan dengan dua arah; siswa membawa pekerjaan sekolah untuk dikerjakan di rumah dengan dibantu orangtua, dan guru mengembangkan praktik baik di rumah untuk dilakukan di sekolah. Ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bercerita atau menuliskan kegiatannya di rumah, atau orangtua diundang untuk bercerita dan menjadi relawan membaca di sekolah. Praktik baik di rumah dapat dieksplorasi guru melalui kegiatan kunjungan ke rumah.

Untuk menjalin komunikasi dengan keluarga dan pelaku bisnis serta komunitas pegiat literasi, kapasitas sekolah perlu ditingkatkan. Sekolah perlu menganalisis kebutuhan keluarga, minat, dan ide-ide mereka tentang pengembangan kegiatan literasi, serta mempertimbangkan kendala mereka dalam berpartisipasi di kegiatan sekolah. Informasi ini perlu dipertimbangkan dalam menyusun program literasi sekolah.

Pendidik perlu mampu berkomunikasi dengan efektif, memahami bahasa lokal, dan menghargai latar belakang budaya keluarga. Untuk melibatkan alumni, pelaku bisnis, dan komunitas pegiat literasi, sekolah perlu membangun sistem informasi tentang jejaring potensial dan selalu memublikasikan kegiatan literasi sekolah pada jejaring sosial. Apabila perlu, sekolah dapat menugaskan liaison untuk menjalin relasi dengan pihak eksternal sekolah.

Kebijakan pendidikan perlu lebih memotivasi sekolah untuk melibatkan keluarga dan publik secara lebih kreatif. Tentunya, upaya-upaya sinergis yang sudah berjalan perlu diapresiasi, dijadikan model, dan dikembangkan dengan lebih baik lagi. Gerakan literasi sekolah tidak akan berlangsung dengan efektif tanpa dukungan masif dari publik. ●

1 komentar:

  1. Semoga semua elemen saling bersinergi menciptakan lingkungan dan sekolah giat berliterasi. salam literasi kalbar

    BalasHapus