Mengapa Perlu Gerakan Literasi Sekolah?
Sofie Dewayani ;
Satgas Gerakan Literasi Sekolah (GLS); Ketua Yayasan Litara
|
MEDIA INDONESIA,
21 Maret 2016
IT takes a village to raise a child. Pepatah Afrika itu
menegaskan tugas pengasuhan anak ialah tanggung jawab masyarakat. Jauh
sebelum sekolah melembaga dalam kultur Indonesia, keluarga besar, tetangga,
dan lingkungan masyarakat terdekat ikut mengawasi pertumbuhan seorang anak. Tradisi
itu membuat halaman rumah menjadi tempat bermain bersama dan ruang pengasuhan
komunal. Namun, pada era modern ini, tanggung jawab pengasuhan bergeser ke
keluarga inti dan sekolah. Ruang komunal merambah dan difasilitasi ranah
daring. Ini terlihat dari sinergi antarelemen masyarakat yang berlangsung
dalam ruang chat, media sosial, dan terbentuknya komunitas-komunitas daring
yang peduli pendidikan. Kepedulian bersama ini seharusnya menguatkan peran
sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Penelitian Alan Barton
(2003) membuktikan keterlibatan keluarga dan publik dalam mendukung sekolah
mampu meningkatkan motivasi belajar anak, mempertahankan keajegan kehadiran
siswa di sekolah, mengurangi tingkat drop
out, dan meningkatkan prestasi akademik siswa. Keberhasilan ini dialami
siswa dari semua ras minoritas di sana sehingga partisipasi publik dalam
pendidikan ditengarai mampu mengurangi kesenjangan pencapaian akademik antara
mayoritas dan minoritas yang selalu menjadi momok pendidikan multikultural.
Penelitian ini juga
menunjukkan dukungan publik dalam bentuk sumber daya untuk memfasilitasi
kegiatan sekolah terbukti dapat meningkatkan kinerja sekolah dan motivasi
belajar siswa. Studi itu sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan di
Indonesia. Banyak sekolah negeri berada di daerah terluar, daerah-daerah
dengan akses terbatas pada infrastruktur publik, dan mengakomodasi
siswa-siswa dari keluarga prasejahtera serta suku minoritas. Fakta itu tentu
tidak mengabaikan sekolah-sekolah negeri di kantung kemiskinan perkotaan dan
daerah miskin lain yang masih berjibaku dengan kebutuhan mendasar, seperti
ruang dan fasilitas belajar yang layak dan aman.
Dengan kompleksitas
itu, gerakan literasi sekolah yang mengawal program membaca 15 menit setiap
hari di sekolah terlihat seperti kebijakan yang utopis. Bagaimana mungkin
sekolah menyediakan ragam bacaan bagi guru dan siswa membaca setiap hari
apabila sekolah masih berkutat dengan banyak permasalahan mendasar lainnya? Data
statistik menunjukkan hanya 5,7% sekolah di Indonesia--dari jenjang
pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas-- yang memiliki perpustakaan. Itu
pun dengan kondisi yang bervariasi; dari kondisi ruangan yang kurang memadai,
koleksi yang hanya terdiri atas buku-buku teks pelajaran, hingga tiadanya
tenaga pengelola perpustakaan atau pustakawan.
Selain itu, penggunaan
5% dana bantuan operasional sekolah (BOS) masih berfokus pada pengadaan buku
teks pelajaran dan bukan pada buku bacaan yang mampu menumbuhkan minat baca
siswa.
Fenomena itu
menunjukkan penguatan budaya literasi di sekolah bukan hanya menjadi tanggung
jawab kepala sekolah dan guru, melainkan juga tanggung jawab seluruh elemen
publik sebagai 'pengasuh' anak dalam ruang komunal. Dukungan ini menjadi
penting karena Indonesia tengah mengalami darurat literasi. Minat baca siswa
perlu ditumbuhkan agar mereka mencintai pengetahuan. Kemampuan membaca siswa
perlu ditingkatkan bukan hanya untuk meningkatkan keterampilan memahami
bacaan siswa Indonesia yang terpuruk pada peringkat 64 dari 65 negara yang
berpartisipasi dalam tes Programme of
International Student Assessment (PISA); tapi juga untuk menjadikan siswa
sebagai pembelajar sepanjang hayat. Meningkatkan kemampuan literasi siswa
menjadi cara yang efektif untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan
nasional.
Dukungan publik
Pelibatan publik dalam
gerakan literasi sekolah perlu menjadi bagian penting dari visi dan misi
sekolah. Praktik di banyak negara maju membuktikan reformasi pendidikan yang
hanya mengintervensi siswa dan sekolah tidak akan berlanjut dalam jangka
panjang. Pelibatan publik dapat dilakukan melalui antara lain;
program-program keayahbundaan (parenting),
menyinergikan kegiatan belajar di sekolah dan di rumah, memperkuat komunikasi
dan jejaring sekolah dengan pihak eksternal, menggalakkan program relawan,
melibatkan elemen masyarakat dalam perencanaan kegiatan-kegiatan literasi
sekolah, serta meningkatkan kolaborasi antarsekolah, alumni sekolah, dan
komunitas pegiat literasi.
Program keayahbundaan
bertujuan meningkatkan kapasitas orangtua sebagai figur teladan literasi. Rumah
perlu menjadi lingkungan yang literat dengan figur orangtua dan anggota
keluarga yang suka membacakan cerita, bercerita, membaca, berdiskusi dengan
anak, dan mendengarkan pendapat mereka. Selain itu, kebijakan pelibatan
keluarga dalam sekolah anak perlu mendapatkan dukungan melalui
kebijakan-kebijakan yang ramah keluarga. Misalnya, lembaga pemerintahan dan
swasta perlu diimbau untuk memberikan izin khusus kepada orangtua yang
bekerja untuk mengantar anak pada hari pertama tahun ajaran baru, menghadiri
pertemuan-pertemuan orangtua, dan menjadi relawan dalam kegiatan-kegiatan
sekolah. Kesadaran akan pelibatan keluarga perlu menjadi semangat dalam
perancangan kebijakan. Misalnya, di beberapa negara bagian di Amerika
Serikat, program pelibatan publik dan keluarga menjadi salah satu kriteria
agar dana pengembangan pendidikan yang diajukan sekolah dapat disetujui.
Sinergi kegiatan
belajar di rumah dan di sekolah bertujuan mencari titik temu kegiatan belajar
di rumah dan di sekolah. Sinergi bisa dilakukan dengan dua arah; siswa membawa
pekerjaan sekolah untuk dikerjakan di rumah dengan dibantu orangtua, dan guru
mengembangkan praktik baik di rumah untuk dilakukan di sekolah. Ini bisa
dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bercerita atau
menuliskan kegiatannya di rumah, atau orangtua diundang untuk bercerita dan
menjadi relawan membaca di sekolah. Praktik baik di rumah dapat dieksplorasi
guru melalui kegiatan kunjungan ke rumah.
Untuk menjalin
komunikasi dengan keluarga dan pelaku bisnis serta komunitas pegiat literasi,
kapasitas sekolah perlu ditingkatkan. Sekolah perlu menganalisis kebutuhan
keluarga, minat, dan ide-ide mereka tentang pengembangan kegiatan literasi,
serta mempertimbangkan kendala mereka dalam berpartisipasi di kegiatan
sekolah. Informasi ini perlu dipertimbangkan dalam menyusun program literasi
sekolah.
Pendidik perlu mampu
berkomunikasi dengan efektif, memahami bahasa lokal, dan menghargai latar
belakang budaya keluarga. Untuk melibatkan alumni, pelaku bisnis, dan
komunitas pegiat literasi, sekolah perlu membangun sistem informasi tentang
jejaring potensial dan selalu memublikasikan kegiatan literasi sekolah pada
jejaring sosial. Apabila perlu, sekolah dapat menugaskan liaison untuk menjalin relasi dengan pihak eksternal sekolah.
Kebijakan pendidikan
perlu lebih memotivasi sekolah untuk melibatkan keluarga dan publik secara
lebih kreatif. Tentunya, upaya-upaya sinergis yang sudah berjalan perlu
diapresiasi, dijadikan model, dan dikembangkan dengan lebih baik lagi. Gerakan
literasi sekolah tidak akan berlangsung dengan efektif tanpa dukungan masif
dari publik. ●
|
Semoga semua elemen saling bersinergi menciptakan lingkungan dan sekolah giat berliterasi. salam literasi kalbar
BalasHapus