Ekonomi Pasca-Boom Komoditas
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI
|
KORAN SINDO, 21 Maret
2016
Hampir semua negara
berkembang dan emerging, yang
proporsi ekspor komoditasnya sangat tinggi, saat ini sedang merumuskan ulang
sumber pertumbuhan ekonomi mereka.
Ini seiring dengan
penurunan tajam baik harga maupun permintaan komoditas dunia dalam empat
tahun terakhir. Bank Dunia dalam laporan Commodity Market Outlook di
Januari 2016 menurunkan proyeksi harga minyak mentah dunia 2016 menjadi
USD37/barel dari prakiraan sebelumnya yang dibuat pada Oktober 2015 sebesar
USD51/barel.
Proyeksi ini secara
tidak langsung menggambarkan masih lesunya perekonomian dunia di 2016 setelah
sepanjang tahun lalu harga minyak mentah dunia turun tajam sebesar 47%.
Sementara itu, harga komoditas nonenergi seperti produkproduk mineral dan
logam diproyeksikan turun 10% di 2016 setelah tercatat turun 21% tahun lalu.
Penurunan terbesar diprediksi terjadi di biji besi sebesar 25% seiring dengan
perlambatan pertumbuhan ekonomi China dan sejumlah negara manufaktur lain.
Proyeksi penurunan
komoditas juga akan terjadi di produkproduk pertanian. Dalam laporannya, Bank
Dunia memproyeksikan harga komoditas pertanian dunia akan turun 1,4% di 2016,
sedikit lebih besar penurunannya dari perkiraan Oktober 2015 yang sebesar
1,3%. Sejumlah faktor diidentifikasi sebagai penyebab penurunan harga
komoditas pertanian dunia seperti terjaganya produk dan hasil panen,
terjaminnya stok pangan dunia, rendahnya harga minyak mentah dunia, dan
stagnasi pertumbuhan permintaan biodiesel.
Penurunan harga
tertajam diproyeksi akan dialami produk biji-bijian yang diperkirakan melemah
3,4%. Selanjutnya harga produk jenis minyak nabati dan produk daging dunia
diproyeksikan turun 2,2% sepanjang tahun ini. Tidak hanya Bank Dunia, lembaga
internasional lainnya seperti OECD, IMF, dan WTO di sejumlah publikasi juga
mengindikasikan hal yang sama.
Era boom komoditas
telah berakhir setelah selama kurang lebih satu dekade (2000-2010) mengalami
tren kenaikan harga dan permintaan dunia yang sangat signifikan. Namun
setelahnya, tren penurunan terjadi. Hal inilah yang membuat banyak negara
berkembang dan emerging baik di Asia, Amerika Latin maupun Afrika sedang
merumuskan strategi dan kebijakan ekonomi baru.
Strategi baru
ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tren penurunan harga
dan permintaan komoditas dunia. Terlebih bagi sejumlah negara yang proporsi
ekspor komoditas di atas 60%. Kondisi ini tentu saja menurunkan secara
drastis penerimaan pajak ekspor, penerimaan negara lainnya, dan laba
korporasi. Masalah ini mengakibatkan aktivitas ekonomi di negara berkembang
dan emerging menurun, belanja pemerintah dipangkas, pengangguran dan
kemiskinan meningkat serta utang pemerintah membengkak.
Negara-negara di
Amerika Latin seperti Brasil, Venezuela, Argentina, dan Ekuador mengalami
kesulitan ekonomi setelah harga dan permintaan komoditas dunia melemah. Bahkan
negara seperti Venezuela menghadapi guncangan stabilitas makroekonomi karena
hampir 95% penerimaan valuta asing dari aktivitas ekspor minyak mentah.
Negara lain seperti
Brasil dan Argentina juga sedang mengalami kesulitan ekonomi akibat turunnya
permintaan biji besi dan kedelai dari China serta menguatnya dolar AS. Tidak
hanya negara-negara Amerika Latin, banyak negara di Afrika juga mengalami
perlambatan ekonomi akibat jatuhnya harga komoditas dunia.
Negara seperti
Nigeria, Zambia, Senegal, Mauritania, Ghana, dan Gabon berjuang untuk tetap
bertahan di tengah rendahnya harga komoditas yang selama ini menjadi penopang
utama ekspor dan penerimaan devisa negara. Bahkan sejumlah negara di Timur
Tengah diperkirakan mengalami kesulitan fiskal apabila harga minyak mentah
dunia terus berada di bawah USD50/barel.
IMF melakukan
kalkulasi dan mengestimasi bahwa apabila harga minyak mentah dunia tetap
berada di bawah USD50/barel, banyak negara di kawasan Timur Tengah yang akan
mengalami kesulitan likuiditas dalam lima tahun ke depan atau bahkan lebih
cepat, tidak terkecuali Arab Saudi, Oman, dan Bahrain. Rendahnya harga minyak
mentah dunia telah menghilangkan potensi pendapatan di kawasan Timur Tengah
tidak kurang dari USD360 miliar.
Negara lain seperti
Rusia, Australia, dan Asia Tengah juga mengalami tekanan perlambatan ekonomi
ketika pendapatan ekspor dari komoditas, baik minyak mentah, gas, mineral
maupun tambang turun tajam. Merosotnya pendapatan negara dan korporasi besar
telah berdampak pada menurunnya kinerja ekonomi di tiap negara, kawasan, dan
dunia.
Bank Dunia baru-baru
ini merevisi turunnya pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,9% di 2016.
Sementara itu IMF juga merevisi turunnya pertumbuhan ekonomi dunia pada 2016
menjadi 3,1%. Revisi oleh dua lembaga tersebut dipicu melambatnya ekonomi
negara berkembang dan emerging yang selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan
ekonomi dunia.
Adapun perekonomian
Amerika Serikat yang menunjukkan tanda-tanda pemulihan ternyata berdasar
sejumlah indikator makro terbaru kondisinya tidak seoptimistis perkiraan
awal. Adapun ekonomi Eropa dan Jepang juga terus mengalami deflasi. Bagi
Indonesia, melemahnya harga dan permintaan komoditas dunia sangat berdampak
pada kinerja ekonomi nasional.
Harga komoditas yang
turun tajam, baik energi maupun nonenergi, telah membuat ekonomi nasional
hanya mampu tumbuh sebesar 4,79% pada 2015. Bila kita melihat produk domestik
bruto regional, terlihat dampak penurunan aktivitas daerah akibat melemahnya
permintaan komoditas ekspor nasional. Misalnya saja, PDB Sumatera tumbuh di
2015 sebesar 3,5% lebih rendah bila dibandingkan dengan 2014 yang mampu
tumbuh 4,6%.
Kalimantan juga
menunjukkan tren yang sama, yaitu sepanjang 2015 tumbuh 1,3% lebih rendah
dari 2014 yang tumbuh 3,3%. Tren rendahnya harga dan permintaan komoditas
dunia perlu kita antisipasi bersama agar ekonomi Indonesia tetap bisa tumbuh
dan resilient terhadap perlambatan ekonomi dunia. Di tengah ekonomi dunia
yang melambat, ekonomi domestik menjadi tumpuan utama.
Dari sisi pengeluaran,
konsumsi domestik berkontribusi paling besar terhadap pembentukan PDB
nasional. Secara ratarata sektor ini berkontribusi 54- 56% terhadap
perekonomian. Menjaga daya beli masyarakat serta konsumsi domestik secara
baik otomatis akan menjaga pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu,
pembangunan infrastruktur yang sedang dilakukan saat ini menjadi salah satu
faktor penting untuk menarik sekaligus mendorong bergeraknya sektor swasta.
Mendorong investasi
terus mengalir ke Indonesia dan diarahkan untuk sektor-sektor produktif dan
bernilai tambah tinggi sangat kita butuhkan agar ekspansi dunia usaha terus
tumbuh dan berkembang. Meningkatkan aksesibilitas keuangan, teknologi
produksi, dan pemasaran sektor UMKM juga tidak kalah penting untuk membuat
ekonomi domestik terus bergeliat.
Sektor lain seperti
farmasi, pariwisata, jasa dan perdagangan, keuangan, properti, industri
pengolahan dan konstruksi perlu terus didorong sebagai sumber alternatif di
tengah lesunya permintaan ekspor. Kebijakan moneter dan fiskal yang lebih
proekspansi dunia usaha menjadi sangat penting sebagai kebijakan
countercyclical. Penurunan BI Rate secara berturut-turut di kuartal I- 2016
perlu kita apresiasi bersama.
Penurunan GWM juga
dilakukan agar likuiditas semakin besar di pasar domestik. Hal ini
menunjukkan otoritas moneter sejalan dengan otoritas fiskal dalam mendorong
berkembangnya sektor riil di Tanah Air. Tidak kalah penting juga koordinasi
pemerintah pusatdaerah dan dunia usaha perlu terus diintensifkan.
Hanya melalui
langkah-langkah ini kebijakan nasional untuk mencari sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi baru selepas era boom komoditas dapat kita rumuskan
bersama sehingga ekonomi Indonesia akan tetap dapat tumbuh positif dan
relatif terjaga di tengah penurunan harga komoditas dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar