Bukan Mantan Terindah
M Subhan SD ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 24 Maret
2016
Joko Widodo dan Susilo
Bambang Yudhoyono pernah bertemu empat mata di Nusa Dua, Bali, 27 Agustus
2014. Suasananya terlihat relaks meskipun membicarakan transisi kepemimpinan.
Tak pelak, pertemuan itu menjadi tradisi baru yang baik. Namun, sejak pekan
lalu, hubungan Jokowi dan SBY tampak menegang. SBY menyindir pemerintah agar
tidak terlalu ngotot membangun infrastruktur di kala ekonomi lesu.
Jokowi memang getol
ingin membangun jalan tol, waduk, dermaga, transportasi massal, dan
lain-lain. Kritik itu terbilang keras dan menusuk. Ibarat tinju, SBY
melancarkan pukulan jab dari Pati, Jawa Tengah, 16 Maret 2016, sewaktu safari
temu kader Tour de Java. Namun, Jokowi tidak bereaksi. Tak ada jumpa pers
untuk membalas atau sekadar klarifikasi. Jokowi memang bukan tipikal pemimpin
yang suka berwacana. Jokowi lebih berkomunikasi secara nonverbal.
Dua hari kemudian,
Jokowi mendadak meninjau megaproyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Olahraga
Nasional Hambalang di Bogor. Hambalang adalah proyek di era SBY. Proyek itu
hancur sejak dikorupsi, termasuk oleh petinggi Partai Demokrat. Dan Jokowi
melihat bagaimana proyek Rp 1,2 triliun itu telantar.
Kunjungan Jokowi itu
simbolis sekali. Barangkali Jokowi lebih suka model komunikasi interaksi
simbolis ketika simbol, tafsir, dan makna menjadi pesannya. Gestur politik
Jokowi menusuk tajam. Jokowi seakan mengayunkan long hook dari Hambalang. Di
media massa dan media sosial, ramailah Jokowi versus SBY.
Komunikasi Jokowi dan
pendahulunya itu kian memperkuat dugaan bahwa mengapa hubungan presiden
dengan mantan presiden (atau sebaliknya) di Indonesia hampir selalu tidak
akur. Hubungan Soekarno dan Soeharto seperti langit dan bumi. Setelah
disingkirkan, Soekarno bahkan dijadikan tahanan rumah.
Soeharto juga menolak
bertemu BJ Habibie, presiden pengganti yang ditunjuknya sendiri saat
gelombang reformasi tahun 1998. Megawati Soekarnoputri juga tak
"berbaikan" dengan SBY yang mengalahkan dirinya dalam dua kali
pilpres berturut-turut. Inikah yang namanya kutukan politik? Membayangkan
presiden dan mantan presiden duduk bersama satu meja dan berbincang santai
barangkali ide yang sulit terwujud. Terkadang iri juga melihat para mantan
Presiden Amerika Serikat yang masih akur. Mereka masih bisa duduk bersama
dalam forum sama.
Misalnya saja, pada 25
April 2013, lima Presiden AS terakhir berkumpul di kampus Southern Methodist
University di Dallas, Texas. Mereka hadir saat peresmian Perpustakaan dan
Museum George W Bush. Kelima presiden itu adalah Barack Obama (presiden
ke-44), George W Bush (presiden ke-43), Bill Clinton (presiden ke-42) George
HW Bush (presiden ke-41), dan Jimmy Carter (presiden ke-39). Presiden ke-40,
yaitu Ronald Reagan, telah meninggal pada tahun 2004.
Memang ada yang
namanya "klub presiden" (the
president club). Namun, lebih berwujud ide ketimbang institusi. Bukan
entitas resmi, lebih berupa "ikatan". Nancy Gibbs dan Michael
Duffy, duo penulis The President Club:
Inside The World's Most Exclusive Fraternity (2012), melukiskan bagaimana
hubungan di antara Presiden AS yang sering kali juga diwarnai persaingan dan
persekongkolan. "Klub" itu muncul saat pelantikan Dwight Eisenhower
(presiden ke-34), 20 Januari 1953, ketika Herbert Hoover (presiden ke-31)
bercanda pada Harry Truman (presiden ke-33), "Saya kira kita harus
mengatur klub mantan presiden." "Oke," jawab Truman,
"Anda presiden klub, saya sekretarisnya."
Itu kisah di benua
Amerika. Di negeri kita ini, presiden dan penggantinya (bisa dibaca
sebaliknya) kerap tidak akur. Dua peristiwa kenegaraan-peringatan 17 Agustus
di Istana dan Sidang MPR di parlemen- yang selalu mengundang para mantan
presiden dan wapres, tidak selalu lengkap. Sepuluh tahun SBY berpidato di
parlemen dan memimpin upacara di Istana, tak sekalipun Megawati hadir. Gus
Dur pernah hadir satu kali. Para mantan wapres-lah yang sering kali hadir
lengkap.
Setelah Jokowi menjadi
presiden, baru Megawati mau kembali ke Istana. Namun, SBY memilih
memperingati Agustusan 2015 di kampung halaman di Pacitan, Jawa Timur. Apa
mau dikata, meminjam pendapat ahli politik dan komunikasi Harold Lasswell
(1902-1978), para mantan itu belum dapat menjalankan salah satu fungsi
komunikasi, yaitu transmisi warisan sosial dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Barangkali seperti lagu biduanita Raisa yang nge-hit, tetapi
mereka bukanlah "Mantan Terindah". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar