Pendidikan Menuju Kematangan Emosi
Nurul Lathiffah ;
Peminat Kajian Psikologi Pendidikan
|
MEDIA INDONESIA,
28 Maret 2016
MASIH begitu mengemuka dalam benak, berbagai kasus dan
kriminalitas yang dilakukan kalangan terdidik. Ibarat gunung es, fenomena
kejahatan yang dilakukan kaum terdidik lebih bisa tersembunyi dengan aman. Namun,
efeknya lebih keras dan dahsyat.
Melompat pada beberapa peristiwa sebelumnya, dunia pendidikan
sempat dientakkan dengan kasus narkotika yang menjerat dosen sekaligus guru
besar. Tidak bisa ditampik bahwa narkotika juga telah banyak dikonsumsi
mahasiswa, bahkan siswa. Realitas ini sungguh menyesakkan dada. Tak hanya
mencederai kemuliaan profesi, pelaku juga mencoret wajah pendidikan. Peserta
didik dan pendidik yang seharusnya berada pada zona perilaku yang sehat
mental justru terlempar dan terjerumus pada pelanggaran.
Kejahatan yang dilakukan kalangan terdidik sangatlah ironis. Bukankah
pendidikan semestinya bermuara pada sikap yang baik dan cerdas? Akan tetapi,
mengapa pada titik-titik tertentu, kalangan yang berpendidikan tinggi justru
tak memiliki kendali diri yang baik? Rupanya, kita harus mengakui dengan
lapang dada bahwa pendidikan kita belum mampu mengantarkan seseorang pada
kematangan emosi.
Kejahatan dalam derivasi apa pun sesungguhnya bermula dari
hasrat yang meletup-letup hingga mencederai hak orang lain. Dalam paradigma
ilmu kejiwaan, setiap perasaan selalu diizinkan untuk tumbuh. Kenyataannya,
sering seseorang memiliki keinginan untuk marah, membalas keburukan dengan
hal yang lebih buruk, dan mencapai keinginan yang 'wah'. Pun begitu, tidak
semua hasrat harus diluapkan sebab sikap humanis diperlukan untuk mewujudkan
keserasian dan keharmonisan. Konsekuensinya, pengendalian diri sangat
diperlukan.
Hakikatnya, para founding
fathers dunia pendidikan sudah merumuskan visi pendidikan yang
berorientasi pada pengendalian diri. Dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.
Tidak matang
Cita-cita pendidikan tersebut tidak berangkat dari ruang hampa.
pengendalian diri merupakan elemen penting untuk mencapai kesuksesan, baik
dalam tataran intrapersonal maupun interpersonal.
Pada gilirannya, hal itu juga akan membimbing seseorang untuk
mengasah kecerdasan emosi, sosial, dan bermuara pada kematangan emosi. Ratnawati
(2005), mengemukakan bahwa kematangan emosi sebagai suatu kemampuan untuk
mengarahkan emosi dasar yang kuat ke penyaluran yang mencapai tujuan, tujuan
ini memuaskan diri sendiri dan dapat diterima di lingkungan.
Jika ditelusuri lebih saksama, kalangan berpendidikan yang
menjadi pelaku kejahatan merupakan sosok yang tidak matang dalam aspek emosi.
Bahkan, bisa jadi, mereka masih memiliki usia mental yang jauh lebih dini
jika dibandingkan dengan usia kronologisnya. Membebaskan diri untuk melanggar
norma dan hak orang lain merupakan ciri primer dari anak usia dini. Kalangan
berpendidikan yang masih mau melakukan kejahatan pada hakikatnya merupakan
produk dari pendidikan yang belum bermuara pada kematangan emosi. Meski
terlihat sederhana, nyatanya mengarahkan pendidikan yang bermuara pada
kematangan emosi pendidik dan peserta didik tidaklah mudah. Di samping
pendidikan di Indonesia masih cenderung berorientasi pada aspek kognitif an sich, orientasi pendidikan pada
aspek kematangan emosi belum terlihat nyata.
Sebuah kisah dalam khazanah keislaman klasik dapat menjadi
metafora, betapa kesuksesan dalam menuntut ilmu tidak hanya menuntut pembuktian
gelar dan sejumlah prestasi. Dikisahkan bahwa seorang ibunda ulama memberikan
petuah, "Anakku, jika engkau menulis 10 huruf, lihatlah! Apakah kau
jumpai dalam dirimu bertambah rasa takutmu (kepada Tuhan),
kelemah-lembutanmu, dan ketenanganmu? Jika tidak kau dapati hal itu,
ketahuilah ilmu yang kau catat berakibat buruk bagimu. Ia tidak bermanfaat
untukmu."
Kisah tersebut dapat menjadi kunci penting dalam menjawab
permasalahan pendidikan di negeri ini. Maraknya sikap negatif yang dilakukan
para pendidik bahkan peserta didik bermula dari hilangnya esensi dari ilmu
pengetahuan. Pengetahuan hanya ditakar dari kemampuan hafalan dan kognitif
tanpa menilik aspek afektif. Pelan tapi pasti, jika pendidikan terus menerus
mengalami disorientasi, dunia pendidikan ibarat menjejalkan ilmu pengetahuan
pada anak balita.
Secara kognitif, ilmu dapat terserap dengan cepat. Namun, secara
afektif dan esensial, ilmu justru hanya dianggap sebagai simbol kegagahan
tanpa peran apa-apa.
Becermin dari kenyataan tersebut, hal yang paling mendasar yang
begitu darurat dilakukan demi menyelamatkan pendidikan ialah dengan cara
membekali keterampilan pengendalian diri. Pengendalian diri akan menjadi
kontrol yang paling efektif ketika hasrat kemanusiaan atau bahkan
kebinatangan mengemuka. Pada poin inilah pendidikan harus mampu mendewasakan
individu tidak hanya dalam tataran kognitif, tetapi juga emosi. Tanpa visi
yang berorientasi pada kematangan emosi, pendidikan akan semakin hampa dari
nilai-nilai kemanusiaan.
Cak Nun pernah menuturkan, yang disebut dengan orang dewasa
adalah manusia dengan hati selesai, yaitu hati yang atas bangunan akalnya
sanggup menaklukkan keinginan (Agus NC, 2016). Mestinya, tapak demi tapak
jenjang pendidikan mampu mengantarkan peserta didik pada kedewasaan yang
ditandai dengan kematangan emosi. Ini sangat mendesak sebab di zaman yang
serbainstan ini, manusia dewasa banyak yang bertindak hanya berdasarkan
prinsip kesenangan (the pleasure
principle). Bagaimanapun, kejahatan yang dilakukan sivitas akademik
merupakan hasil dari kegagalan mengendalikan diri dan hanya mendasarkan pada
kesenangan semata.
Pengendalian diri
Langkah yang paling memungkinkan untuk mengembalikan citra
positif dunia pendidikan ialah membekali peserta didik dengan keterampilan
pengendalian diri. Seiring dengan meningkatnya kontrol diri, diharapkan
kematangan emosi akan semakin meningkat. Sejak usia dini, Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) dan TK memiliki peran dalam membentuk pengendalian diri pada
anak didik. Pada titik inilah, pendidik PAUD hendaknya mampu menjadi role
model pengasuhan dan pendidikan anak.
Pada perkembangan usia dini, anak membutuhkan ruang dan waktu
untuk mengalami berbagai perasaan.
Sejak dini, anak-anak harus mendapatkan pelajaran menunda
keinginan.
Hal ini merupakan fondasi bagi terbangunnya sikap positif untuk
beradaptasi dengan berbagai situasi pada tahap perkembangan berikutnya. Dalam
tataran praktis, anak usia dini sebaiknya mulai mengembangkan kemandirian.
Lima tahun awal perkembangan masa anak-anak diyakini merupakan
fase penting yang menentukan pembentukan karakter seseorang. Hal tersebut
merupakan isyarat halus, bahwa fondasi kematangan emosi terletak pada
pendidikan formal jenjang PAUD. Jika anak-anak gagal belajar kontrol diri
pada usia dini, tanpa penanganan tepat, mereka akan menjadi pribadi yang
terhambat dan terbiasa dengan prinsip kesenangan. Dikhawatirkan, prinsip
kesenangan yang terus menerus dipegang tanpa diimbangi dengan pengendalian
diri akan mengantarkan seseorang pada berbagai perilaku menyimpang.
Permasalahannya kini, sudahkan PAUD menjadi lembaga pendidikan
yang berkualitas dan memfokuskan diri pada kapasitas pengendalian diri anak
didiknya? Jika kita masih mendambakan pendidikan yang bermuara pada
kematangan emosi, kini saatnya menguatkan fondasi dari jenjang awal
pendidikan di negeri ini. Dunia pendidikan pun semakin produktif melahirkan
insan Indonesia yang matang, cerdas pikir, dan cerdas hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar