Perang Antargenerasi
Sarlito Wirawan Sarwono ; Psikolog
|
KOMPAS, 21 Maret
2016
Beberapa bulan sebelum
pilkada serentak tahap pertama, 9 Desember 2015, masuk kiriman pesan melalui
WhatsApp ke telepon seluler saya. Isinya: mengajak saya bergabung dalam
”Teman Ahok” dan membantu mengumpulkan tanda tangan untuk pencalonan Basuki
Tjahaja Purnama alias Basuki atau Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam
Pilkada Serentak 15 Februari 2017.
Fenomena ”Teman Ahok”
(TA) ini menarik. Kelompok ini tiba-tiba saja muncul dari perut bumi seperti
zombie, atau datang dari planet lain seperti alien yang mau menyerbu dunia.
Mereka terdiri atas anak-anak muda yang idealis, yang awalnya tidak saling
kenal. Kemudian mereka saling sapa melalui media sosial, yang sering disebut
medianya orang autis, lalu berseliweran di dunia maya dan tahu-tahu sudah
”kopi darat”: membentuk gerakan TA dan mengumpulkan kartu tanda penduduk
(KTP) untuk mendukung Basuki.
Jadi bahan tertawaan
Pada mulanya target
mereka hanya untuk memenuhi persyaratan UU, yaitu cukup dukungan 500.000 KTP
saja. Namun, gerakan ini makin lama makin dahsyat, dan hari ini sudah hampir
mencapai 800.000. Target sejuta KTP tinggal menunggu waktu.
Masalahnya, gerakan TA
ini membuat partai politik gerah, termasuk PDI-P sebagai parpol pemenang
Pemilu 2014. Mereka merasa eksistensinya terancam sehingga TA perlu dilawan
habis-habisan, bahkan dituding anti demokrasi. Padahal, calon
perseorangan—sering dikelirukan sebagai calon ”independen”—sebetulnya sah
menurut UU.
Basuki sendiri, yang
semula tak menyangka bahwa TA akan sebegitu dahsyatnya, mau tak mau harus
lebih mempercayakan keberhasilannya sebagai cagub kepada TA ketimbang kepada
PDI-P yang terus-terusan melambankan diri untuk mengizinkan Djarot Saiful
Hidayat—Wagub DKI saat ini—untuk menemani Basuki maju sebagai cawagub. Maka,
pada saat perwakilan TA mengunjungi rumah Basuki untuk minta kepastian siapa
yang akan jadi pasangannya, Basuki dengan cepat memutuskan Heru Budi Hartono
sebagai mitranya. Heru adalah salah satu bawahannya, PNS biasa yang tidak
terkenal. Jadi, ia bukan memilih Djarot yang juga bereputasi baik, tetapi
belum mendapat izin dari PDI-P untuk maju sebagai cawagub.
Keputusan Basuki yang
mendadak itu bagaikan jurus silat ”ular naga mematok banteng”, yang membuat
sejumlah parpol kelabakan. Maka, keluarlah jurus-jurus balasan dari parpol.
Sebutlah seperti tudingan ”deparpolisasi” yang anti demokrasi; rencana
memanggil Basuki (oleh DPR) untuk kasus RS Sumber Waras; pernyataan kalau
calon ”independen” ternyata tak seperti yang diharapkan lalu siapa yang
tanggung jawab? Bahkan belakangan muncul upaya menjegal Basuki dengan usulan
memperberat ambang batas dukungan bagi calon perseorangan dalam revisi UU
pilkada. Semua itu justru hanya jadi bahan tertawaan karena terlalu banyak
kandungan sesat pikir di dalamnya.
Namun, di balik
adegan-adegan lucu yang sering tidak masuk akal dalam argumentasi pihak
parpol melawan TA, menurut saya sedang terjadi fenomena luar biasa yang
merupakan awal dari perubahan dahsyat yang akan terjadi di Indonesia, atau
bahkan di seluruh dunia, yaitu ”perang antargenerasi”. Pihak parpol (bukan
hanya PDI-P, tetapi juga parpol lain dan selebritas serta artis yang juga
ingin jadi gubernur DKI dengan melawan Basuki dan TA) adalah representasi
dari kelompok umur yang dalam istilah demografi disebut generasi baby-boomer, sedangkan TA dan tentunya
Basuki sendiri adalah representasi dari generasi X dan generasi Y.
Generasi baby-boomer adalah generasi yang lahir
selama dan sesudah Perang Dunia II. Mereka adalah generasi yang bangkit dari
kehancuran perang dan menginginkan negara yang aman, sejahtera, tata-tentrem,
kerta raharja. Mereka mendambakan kemapanan, mencari pekerjaan yang bisa
memberi jaminan sampai pensiun, para politisi pun mengharapkan gaji tetap dan
besar dari pekerjaannya sebagai anggota parlemen atau sebagai menteri,
perubahan harus bertahap. Senioritas sangat dijunjung tinggi; tidak ada
yunior yang bisa naik pangkat sebelum seniornya pensiun atau meninggal dunia.
Mereka sulit menerima hal-hal baru, sangat mengandalkan hukum dan peraturan
yang tidak berubah, dan seterusnya.
Sisa masa lalu
Satu ciri khas dari
generasi ini: mereka gagap teknologi. Jangankan memainkan gadget, memindahkan
saluran TV dengan alat kontrol jarak jauh pun mereka lebih suka minta bantuan
cucu. Karena itu, mereka lebih mengandalkan jaringan dunia nyata yang
dasarnya sejak dulu adalah perkoncoan, kekeluargaan, dan primordialisme yang
dipertahankan melalui tradisi dan penokohan orang-orang tertentu berdasarkan
keturunan yang cenderung feodalistik.
Generasi X dan Y
adalah generasi anak-anak dan cucu-cucu generasi baby-boomer. Di Indonesia, generasi X adalah mereka yang ketika
lahir sudah ada TVRI siaran berwarna, dan generasi Y adalah yang lahir di era
bukan hanya ada satu stasiun TV, tetapi belasan bahkan puluhan. Teknologi
informasi sudah sangat maju sehingga akses terhadap segala macam informasi
bisa dijelajah, diunggah, dan diunduh dengan sangat cepat. Berita dan grafis
beredar real time, dan dunia benar-benar
bukan selebar daun kelor lagi (meminjam kalimat pepatah Melayu lama).
Maka, watak generasi X
dan Y tak sabaran. Mereka bukan hanya mendambakan perubahan, tetapi
betul-betul ditabrak oleh perubahan yang sangat cepat sehingga kalau tidak
ikut berubah mereka akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Generasi X dan Y
sangat lentur, cepat menyesuaikan diri, anti kemapanan, siapa yang mau maju
cepat akan berlari kencang, tidak peduli pada senioritas, kurang peduli pada
sistem, prosedur dan birokrasi, berganti-ganti pekerjaan tidak masalah selama
pendapatannya meningkat terus. Mereka tak lagi percaya pada satu sumber
informasi karena bisa mengakses informasi dari 1001 sumber hanya dengan
memencet tombol-tombol telepon seluler dengan jari jempol. Jaringan mereka
terbangun melalui dunia maya, yang lebih impersonal dan jauh dari primordialisme
dan feodalisme.
Kembali ke Pilgub DKI
2017, Basuki yang didukung TA menurut pendapat saya mewakili generasi X dan
Y, sedangkan parpol mewakili generasi baby-boomer.
Penyanyi kondang dan politisi terkenal (yang pernah jadi menteri) yang juga
ingin jadi gubernur DKI juga tergolong sebagai generasi baby-boomer (dari sudut pandang cara berpikir mereka), walaupun
mungkin dari usia sudah lebih dekat ke generasi X.
Mana di antara kedua
generasi itu yang akan keluar sebagai pemenang? Untuk jangka pendek (2017)
agak sulit menebaknya karena semua faktor pemenangan pemilu masih di tangan
para penguasa sekarang yang rata-rata masih tergolong generasi baby-boomer, termasuk intrik-intrik
dan tipu-tipu politik. Namun, peluang pihak TA yang akan tampil sebagai
pemenang saya kira lumayan tinggi, apalagi untuk jangka panjang. Ini
mengingat TA, terutama Basuki, adalah fenomena masa depan yang sudah hadir
sekarang, sementara generasi baby-boomer
sisa masa lalu yang kebetulan masih hadir sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar