Mengapa Bung Karno ”Takluk” di Wisma Yaso?
Reza Indragiri Amriel ; Psikolog Forensik; Penikmat Bacaan tentang Bung Karno
|
KORAN SINDO, 19 Maret
2016
”...the mouth of a wise man is in his heart.” (Benjamin Franklin)
Pada Maret 1966, Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar) keluar. Supersemar laksana pengabsahan
bagi Soeharto untuk melakukan pengabaian terhadap sang presiden.
Pada 12 Maret 1967,
MPR mengadakan Sidang Istimewa yang menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden.
Menyusul penunjukan itu, Presiden Soekarno yang akrab disapa Bung Karno sudah
harus angkat kaki dari Istana Negara. Bung Karno diasingkan sesaat di Istana
Bogor, dan tak lama kemudian menetap di Wisma Yaso di kawasan Gatot Subroto,
Jakarta.
Sejak turun dari
singgasananya, kehidupan Bung Karno di Wisma Yaso begitu nelangsa. Sakit
fisik, tekanan batin, dan terkucil dari kehidupan sosial. Pertanyaannya,
mengapa Bung Karno tidak mendobrak gerbang Wisma Yaso? Mengapa ia tidak
melawan rezim Soeharto yang diyakini banyak kalangan sebagai otak pengasingan
Sang Proklamator itu?
Persatuan Bangsa
Sekian sejarawan
meyakini Bung Karno sesungguhnya masih memiliki kemampuan untuk melakukan
perlawanan. Ada kisah tentang aksi evakuasi yang dilancarkan oleh sebuah tim
elite militer guna membebaskan Bung Karno, namun justru Pemimpin Besar
Revolusi itu sendiri yang menolaknya.
Beberapa angkatan
ketentaraan juga disebut-sebut masih menunjukkan kepatuhan dan kesiapan
mereka untuk mengeluarkan Bung Karno dari situasi yang menyakitkan di Wisma
Yaso. Namun, Bung Karno juga tidak memberikan aba-aba untuk itu. Beberapa
penulis sejarah menilai, Bung Karno memilih untuk bertahan melalui masa
senjanya dengan sedemikian getir guna mencegah baku bunuh sesama anak bangsa.
Asumsi tersebut masuk
akal. Karena selaku orang yang sudah membubuhkan tanda tangannya selaku ”atas
nama bangsa Indonesia”, tentu sangat ironis jika Bung Karno pula yang menekan
tombol meletusnya senjata api dari dua kubu.
Komitmen demi satu
Indonesia itu juga tercermin pada penolakan Bung Karno untuk menghentikan
impian utopisnya tentang penyatuan kelompok nasionalis, agama, dan
komunis—terlepas apakah penolakan itu dilatari oleh alasan ideologis atau
lebih untuk menyelamatkan reputasinya pribadi. Begitulah spekulasi pertama.
Perlawanan dalam Diam
Kemungkinan kedua,
berangkat dari pemahaman akan watak Bung Karno yang pantangditantang.
Bertahannya Bung Karno di Wisma Yaso dipandang mirip dengan taji yang Bung
Karno pertontonkan. Antara lain, saat ia diancam oleh Sukarni dan kawan-kawan
(dalam peristiwa Rengasdengklok) pada hari-hari menjelang Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Suatu malam pada
Agustus 1945 para pemuda yang sudah kehilangan kesabaran mendesak Bung Karno
untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno menolak. Dua
kepala mendidih. Bung Karno bersikukuh, sampai kemudian menyodorkan lehernya
ke lawan bicaranya yang ia anggap mengancam membunuhnya dengan badik.
Persoalannya, benarkah
Bung Karno sama sekali tidak pernah menunjukkan perilaku lemah di hadapan
lawan? Bung Karno bisa tetap kokoh ditodong senjata. Dipenjara pun tidak
membuatnya rapuh. Tapi, Bung Karno akui ia sangat tersiksa oleh hukuman
berupa pengasingan.
Terdapat catatan bahwa
saat diinternir di Ende misalnya, Bung Karno mengiba-iba kepada Pemerintah
Belanda agar dipindah dari lokasi pembuangannya di pedalaman Nusa Tenggara
Timur (NTT) itu. Inggit, istri kedua Bung Karno, menolak mentah-mentah kemungkinan
bahwa Bung Karno pernah memosisikan diri sedemikian rendah di depan
pemerintah kolonial. ”Pamali!” tegas Inggit.
Apabila catatan di
atas benar adanya, masuk akal untuk menduga bahwa pengisolasian yang
diberlakukan rezim Orde Baru juga memunculkan penderitaan tak terperi pada
diri Bung Karno. Dikurung di paviliun Istana Bogor pun sesungguhnya sudah
membuat Bung Karno teraniaya. Bung Karno memang diam menerima perlakuan
penguasa.
Tetapi, saat itu ada
Rahmawati, salah satu putri Bung Karno, yang menemui Pejabat Presiden
Soeharto agar ayahnya dipindah ke Jakarta. Permintaan itu diajukan dengan
harapan bahwa kondisi fisik dan sosial Bung Karno akan lebih terawat di Ibu
Kota. Masih tanda tanya apakah lobi yang dilakukan Rahmawati ke Pejabat
Presiden itu diketahui oleh Bung Karno.
Kalau Bung Karno tetap
dipandang sebagai sosok yang pantang mengharap belas iba dari lawan, ada
dasar kuat untuk menduga bahwa langkah Rahmawati itu jauh dari pengetahuan
Bung Karno. Jika reaksi Bung Karno terhadap para pemuda menjelang Proklamasi
Kemerdekaan dianggap sebagai purwarupa watak aslinya, keputusan Bung Karno
untuk tidak melakukan perlawanan sesungguhnya bisa disimpulkan sebagai bentuk
perlawanannya terhadap penguasa Orde Baru. Perlawanan paling realistis yang
bisa dilakukan oleh seseorang berusia lanjut dengan sakit kronis sangat
parah.
Tahu Diri
Salah satu tokoh
kemerdekaan, Sutan Sjahrir, wafat pada 9 April 1966. Bisa dibilang tidak
diketahui banyak orang. Walau bergelar Pahlawan Nasional, mantan Perdana Menteri
Sjahrir wafat dalam kondisi sangat memprihatinkan. Sjahrir mengembuskan napas
terakhirnya di Zurich, Swiss, setelah mengalami pendarahan berat di otak.
Namun, yang membuat
kematian Sjahrir menjadi sangat memilukan adalah ia pergi selamanya dalam
status sebagai tahanan politik. Selama tiga tahun (sejak 1962), Sjahrir
dijebloskan ke penjara tanpa didahului proses peradilan. Siapa lagi yang
mengeluarkan kebijakan ekstrayudisial tersebut kalau bukan rival politik
Sjahrir:
Bung Karno!
Sesungguhnya Sjahrir bukan satu-satunya nama besar dalam sejarah Indonesia
yang pernah mengalami perlakuan keras dari Sang Presiden Seumur Hidup.
Kendati sudah menjadi rekan seperjuangan sejak era prakemerdekaan, Bung Karno
tidak ragu menjebloskan Sjahrir dan sederet tokoh lainnya ke balik jeruji
besi.
Bung Karno bahkan kian
gamblang menunjukkan keakuannya, tidak ikut melepas sahabat sekaligus
pengkritik nomor wahidnya itu ke pemakaman. Betapa pun demikian, Bung Karno
tetap menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Ketua Partai
Sosialis Indonesia itu.
Apabila Bung Karno
beranggapan bahwa menghukum lawan politik tanpa proses pengadilan merupakan
tindakan wajar, Bung Karno tidak memiliki justifikasi untuk melawan
pengisolasian dirinya di Wisma Yaso, dan diterimanya tanpa proses hukum.
Memobilisasi dukungan
guna melepaskan diri dari tahanan rumah akan menjadi manuver yang tidak lucu,
bahkan memalukan, ketika Bung Karno sendiri nyatanyata pernah mengangkangi
hukum demi supremasi politik. Atas dasar itu, juga tidak tertolak kemungkinan
bahwa sikap diam Bung Karno di Wisma Yaso—paling tidak—bukan semata- mata
akibat oleh kebijakan penguasa Orde Baru.
Bung Karno sendiri,
suka tidak suka, memang harus berpasrah diri dalam kepahitan masa tua sebagai
wujud sikap konsekuen atas kebijakan politik yang pernah ia ambil pada
waktu-waktu sebelumnya. Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar