Taksi
Toriq Hadad ;
Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
KORAN TEMPO, 26 Maret
2016
PADA musim liburan akhir tahun
lalu, saya dan rombongan keluarga pergi ke Canggu, di Kuta bagian utara,
Bali. Dari Bandara Ngurah Rai, kami pakai Uber, mobil sewaan yang dipesan
lewat aplikasi online. Berkendara sekitar sejam, saya membayar Rp 93 ribu.
Anggota rombongan lainnya yang pakai taksi biasa membayar Rp 175 ribu. Hampir
dua kali lebih mahal. Tentu saja saya menyebarkan kabar baik itu kepada
setiap orang. Agaknya, promosi "mulut ke mulut" inilah yang membuat
Uber, Grab, dan sejenisnya tumbuh luar biasa pesat.
Pengalaman itu membuat saya
paham motif demonstrasi besar sopir taksi biasa, Selasa yang lalu. Pendapatan
mereka anjlok drastis—walaupun perusahaan taksi tempatnya bekerja ada yang
tetap menikmati pendapatan tahunan lebih dari Rp 4 triliun, dengan laba
bersih lebih dari Rp 700 miliar. Dari demo anarkistis yang diwarnai
gebuk-menggebuk pengendara Go-Jek—yang membuat pengemudi motor yang dipesan
lewat aplikasi itu sampai sekarang tak berani memakai jaket hijaunya—yang
paling dirugikan adalah sopir taksi biasa.
Pada saat demo, tentu sopir
taksi biasa kehilangan pendapatan—dan saya tak berburuk sangka, apalagi
menuduh, perusahaan taksi tempatnya bekerja "mengganti" kerugian
itu. Perusahaan taksi biasa Blue Bird esok harinya menggratiskan armadanya
sehari penuh, promosi simpatik untuk mengobati kekecewaan orang akibat demo.
Tapi yang terjadi malah kontra-produktif: lihat saja komentar-komentar Twitter
#percumagratis yang lebih banyak menyuarakan protes dan caci-maki. Sentimen
negatif begini jelas semakin menjauhkan taksi biasa dari konsumennya.
Debat dan diskusi pun meledak.
Di media sosial, di grup WhatsApp, semua orang tiba-tiba menjadi "cerdik
pandai" dalam urusan transportasi. Ini lumrah saja, mengikuti anggota
kabinet yang juga tak satu suara tentang "barang baru", yakni taksi
aplikasi ini. Yang satu bilang Uber itu perusahaan taksi, yang lain bilang
itu bisnis aplikasi. Nyatanya, Uber memang tak memiliki satu buah taksi pun.
Satu pakar bilang "predatory pricing" yang
murah dari Uber hanyalah taktik pemodal raksasa mematikan pesaing. Di
kemudian hari, ketika pesaing tamat, Uber akan memonopoli bisnis taksi. Kata
sang pakar, ini bentuk awal monopoli yang harus dibasmi sejak dini dengan
aturan pemerintah. Satu lagi mengutip konsep "economic sharing", Uber dan Grab serta Go-Jek itu
merupakan bentuk ekonomi berbagi: kelebihan waktu pemakaian kendaraan pribadi
disewakan kepada yang membutuhkan, dengan harga lebih murah.
Mungkin yang terjadi nyaris
sama dengan sekitar 200 tahun silam pada masa Revolusi Industri. Kaum
Luddites menghancurkan mesin-mesin industri, dan mereka dituduh
anti-teknologi. Padahal, menurut mereka, mesin-mesin itu lebih
mengeksploitasi ketimbang menyejahterakan buruh. Barangkali para biliuner
Silicon Valley merancang aplikasi mahal yang sepertinya menguntungkan
pengemudi taksi tapi ujung-ujungnya membuat kekayaan mereka bertambah luber.
Saya setuju menolak eksploitasi buruh: di industri apa pun, di bisnis taksi
aplikasi maupun di bisnis taksi biasa.
Saya pun setuju pada peraturan
pemerintah yang tetap memberikan hak hidup perusahaan aplikasi seperti Uber,
dengan catatan pengemudi harus bergabung dengan koperasi agar pemerintah bisa
melindungi keselamatan rakyat. Dan mereka wajib bayar pajak.
Tapi tarif jangan diatur,
apalagi ditentukan lewat kartel. Serahkan kepada mekanisme pasar. Perusahaan
yang efisien, mampu memberikan tarif murah kepada rakyat, bayar pajak, itu
yang harus dibela. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar